Setidaknya hingga dua dekade lalu, kawan kerap kali diartikan kedekatan yang bisa disentuh. Pertemanan remaja dibangun di lapangan ujung kampung, halaman sekolah seusai bel, maupun kebun kosong yang tiba-tiba menjadi arena bermain. Permainan tradisional pun melibatkan banyak pemain sebagaimana petak umpet, bentengan, gobak sodor, hingga lompat karet.
Itu semua bukan sekadar hiburan melainkan ruang mekanisme sosial tempat remaja tumbuh. Persinggungan dengan kawan sepermainan membuat remaja menguji solidaritas, merawat reputasi, mengelola konflik, termasuk mendefenisikan siapa ”kita” di antara teman sebaya.
Dalam permainan tradisional turun-menurun ritme tubuh pun dibangun. Mulai dari berlari, berjalan mengendap, menunggu giliran, adu tawa, hingga letupan perselisihan kecil.
Di saat itu pula, remaja belajar untuk kapan harus jujur, mengalah, minta maaf, dan juga melerai kawan. Di sinilah keterhubungan sosial itu terbentuk.
Sebagai proses sosial, mekanisme untuk terhubung dan terikat dengan teman sebaya terus terjadi dalam diri remaja kendati masa berganti. Kini, keterhubungan sosial itu tumbuh dalam ruang yang berbeda, yakni layar yang selalu menyala. Pertemanan dibangun tidak lagi menunggu perjumpaan fisik, tetapi lewat komentar, kiriman video, stiker, maupun react.
Artinya, meskipun perjumpaan fisik tetap terjadi di lingkungan rumah maupun sekolah, aktivitas online kini dirawat oleh remaja dan menjadikannya ruang mekanisme sosial baru. Sebab, rasa solidaritas, menjaga reputasi, mengalami konflik, hingga mendefinisikan kelompok terjadi di media sosial itu juga.
Begitu terikatnya remaja kini dengan ruang keterhubungan media sosial ini tergambar dalam data Pew Reseach Center. Sekurangnya satu dari lima remaja Amerika Serikat mengatakan berada di Tiktok dan Youtube hampir terus-menerus.
Laporan Pew Reseach Center bulan Desember ini berdasarkan survei daring terhadap 1.458 remaja AS (13-17 tahun) dalam kurun waktu 25 September hingga 9 Oktober 2025. Dilihat berdasarkan platform, Youtube menjadi yang paling populer dengan digunakan oleh 92 persen responden.
Berikutnya, Tiktok menjadi platform favorit kedua yang digunakan oleh 68 persen responden. Di urutan ketiga, Instagram digunakan oleh 63 persen responden. Selanjutnya, berturut-turut muncul Snapchat (55 persen), Facebook (31 persen), WhatsApp (24 persen), Reddit (17 persen), serta X (16 persen).
Internet pun layaknya udara menjadi kondisi wajib bagi remaja AS. Hampir semua (97 persen) mengaku menggunakan internet setiap hari. Bahkan, empat dari 10 menyatakan diri mereka hampir terus-menerus online.
Tidak hanya itu, muncul fenomena baru, yakni penggunaan AI chatbot. Sebanyak 64 persen remaja AS mengatakan pernah menggunakan chatbot AI seperti ChatGPT, Copilot, dan Character.ai. Dari sisi frekuensi, sekitar tiga dari 10 responden menggunakan chatbot setiap hari.
Angka-angka ini menunjukkan tren digital terus meningkat di kalangan remaja. Pertemanan pun akhirnya terjadi dalam ekologi digital yang padat bahkan melibatkan percakapan dengan AI.
Indonesia memang bukan Amerika Serikat, tetapi apa yang terjadi di sana dapat berimplikasi global bagaimana remaja dewasa ini bertumbuh dalam ruang digital. Kendati lanskap budaya, pola asuh, infrastruktur, hingga kelas sosial berpengaruh, tetap ada pengaruh global yang dapat diproyeksikan.
Pasalnya, logika platform cenderung universal, yakni bekerja lewat atensi, visibilitas, dan menguatnya kebiasaan. Platform-platform populer di kalangan remaja AS sebagaimana disebutkan di atas pun sudah tidak ada yang asing lagi di Indonesia.
Artinya, pergeseran mekanisme sosial remaja menuju ruang online—mungkin dengan kadar yang berbeda—tetap terjadi di pergaulan remaja Indonesia.
Namun, apabila berbicara dalam konteks Indonesia secara nasional, platform daring sangat ditentukan aksesnya oleh kualitas sinyal, harga kuota, hingga kualitas perangkat. Jika tren pertemanan media sosial terus meningkat, mereka yang aksesnya tersendat dapat terdorong ke pinggir.
Hal ini terjadi bukan karena niat tidak mau berteman, melainkan ketidakmampuan untuk selalu hadir di ruang yang sama. Artinya, rentan terjadi pengotakan jaringan sosial dengan saringan pertama mereka yang ”mampu” selalu online dan yang tidak.
Risiko berikutnya, bagi mereka yang bisa selalu online, yakni ekspresi diri yang berubah akibat tekanan jumlah views, likes, share, dan komentar. Di satu sisi, kreativitas akan diperkaya.
Di sisi lain, tumbuh kecemasan sosial dalam diri remaja, ”apakah aku cukup menarik atau tidak?” Ini pun dapat memunculkan tekanan mental ketika upaya keras tidak mendapatkan penghargaan online yang memadai.
Ditambah lagi, mekanisme sosial di ruang media sosial bisa sangat liar. Dalam permainan tradisional kurasi komunitas dilakukan oleh mereka yang lebih tua, guru, orang tua, hingga norma kampung. Kurator media sosial berbeda, yakni algoritma.
Lebih lagi, dasar algoritma bukanlah penilaian baik buruknya sesuatu bagi perkembangan remaja, melainkan apa yang membuat remaja bisa bertahan lama di layar.
Di negara berkembang seperti Indonesia, membatasi waktu layar hingga melarang akses media sosial bisa jadi terlalu naif. Bagaimana pun arus zaman membuat media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan remaja.
Tantangan mendasarnya, yaitu memastikan bahwa keterhubungan digital yang seimbang keterhubungan sosial yang sehat, yakni rasa aman, pengakuan, dan ruang tumbuh.
Sayangnya, sering terlupakan keseriusan untuk menyediakan ruang aman dan menyenangkan di luar paltform. Dalam banyak keluarga dan komunitas, ruang ini menyempit.
Arena bermain menghilang, ruang publik yang tidak ramah remaja, dan waktu bersama yang tidak lagi diupayakan. Hal ini dapat membuat remaja beranggapan tidak ada tempat menyenangkan lagi baginya untuk tumbuh selain di ruang digital.
Rasa aman yang ditawarkan oleh lingkungan pun sepatutnya melawan tuntutan performatif ala algoritma. Pertemanan tidak harus dipotret, diunggah, dan divalidasi lewat likes atau komentar. Ini tawaran yang bisa jadi lebih menarik ketika remaja kelelahan secara emosional mengikuti logika algoritma.
Oleh karena itu, tantangan bagi Indonesia dalam menjaga pertumbuhan remaja bukan perkara memilih digital atau fisik, melainkan menjaga keseimbangan keduanya.
Bagaimana pun media sosial dapat memperluas jejaring, peluang, dan ekspresi diri. Namun, itu perlu dilengkapi dengan ruang sosial fisik yang aman tanpa algoritma, penilaian instan, dan tuntutan untuk terus menerus online setiap saat. (LITBANG KOMPAS)
Serial Artikel
Media Sosial dan Kebebasan Berbicara
Dua perusahaan media sosial, X dan Telegram, menghadapi masalah yang tak mudah. Keduanya dinilai melanggar hukum.




