Fajar.co.id, Jakarta — Di balik sorotan kamera dan citra glamor dunia hiburan, tersimpan kisah-kisah sunyi yang jarang terungkap ke publik. Perselingkuhan di kalangan selebriti Indonesia, yang kerap dianggap sekadar gosip atau “khilaf sesaat”, ternyata memiliki pola yang jauh lebih kompleks dan terstruktur.
Fakta ini diungkap langsung oleh Detektif Jubun, detektif swasta profesional ternama di Indonesia.
Detektif Jubun dikenal sebagai pimpinan Aman Sentosa Investigation Agency (ASIA), lembaga investigasi swasta yang kerap menangani kasus perselingkuhan, pencarian orang hilang, hingga penipuan, termasuk yang melibatkan figur publik dan artis papan atas.
Dengan integritas tinggi, penguasaan teknologi investigasi, serta pendekatan manusiawi, Jubun sering menjadi rujukan media nasional dalam mengulas kasus-kasus sensitif.
Menurut Jubun, dalam beberapa tahun terakhir, kasus perselingkuhan yang melibatkan selebriti memang tidak dominan secara jumlah. Namun, yang meningkat signifikan adalah konsistensi dan kerumitan penanganannya.
“Yang naik bukan cuma frekuensi, tetapi kompleksitas dan sensitivitasnya. Ada tekanan citra, sorotan publik, dan banyak kepentingan yang ikut bermain,” ungkapnya.
Bukan Spontan, Tapi Dirancang
Berbeda dengan kasus perselingkuhan di masyarakat umum yang sering dipicu kedekatan emosional tanpa perencanaan, Jubun menyebut perselingkuhan selebriti cenderung terencana dan berlapis.
“Ada pengaturan waktu, tempat, bahkan komunikasi yang rapi. Tidak sedikit yang berlangsung lama, bertahun-tahun, dan menyerupai hubungan paralel. Ini bukan sekadar khilaf, tapi keputusan sadar yang diulang,” tegasnya.
Relasi terlarang tersebut kerap bermula dari hal yang tampak wajar—urusan kerja, pesan singkat di media sosial, lokasi syuting, atau lingkar pertemanan profesional—sebelum perlahan berubah menjadi hubungan personal.
Popularitas dan Godaan Tanpa Batas
Menurut Jubun, popularitas menciptakan peluang yang nyaris tak terbatas. Akses mudah, validasi publik, dan perhatian berlebih hadir bersamaan. Sayangnya, kontrol diri tidak selalu sejalan dengan naiknya popularitas.
Dalam banyak kasus, pihak selebriti disebut membuka ruang lebih dulu, sementara pihak ketiga merespons. Namun, ada pula hubungan yang sejak awal dibangun secara mutual.
Ironisnya, meski selebriti lebih rapi menyembunyikan perselingkuhan—menggunakan akun cadangan, asisten, hingga jadwal tertutup—jejak digital justru sering menjadi petunjuk utama. Pola komunikasi dan kehadiran fisik yang konsisten sulit sepenuhnya dihapus.
Tekanan dan Pengendalian Citra
Saat kasus menyentuh nama besar, tekanan hampir selalu muncul. Jubun mengakui adanya pendekatan damai, permintaan penghentian penyelidikan, hingga upaya mengaburkan fakta.
Di sisi lain, peran manajemen selebriti kerap lebih fokus pada pengendalian narasi ketimbang menyelesaikan substansi masalah. Tak sedikit kasus akhirnya berakhir secara tertutup demi menjaga citra publik, membuat masyarakat hanya melihat “akhir yang tenang” tanpa mengetahui proses panjang di baliknya.
Luka yang Tak Pernah Viral
Di balik hiruk-pikuk pemberitaan, dampak terberat justru ditanggung oleh pasangan sah dan keluarga. Rasa dipermalukan di ruang publik, trauma sosial, hingga runtuhnya kepercayaan diri menjadi luka yang bertahan lama.
“Sanksi sosial ada, tapi sering sementara. Popularitas bisa pulih cepat, tapi kepercayaan tidak,” kata Jubun.
Ia pun mengingatkan publik agar tidak mudah terbuai citra manis selebriti di media sosial.
“Media sosial itu etalase, bukan ruang sidang kebenaran.”
Menurut Detektif Jubun, fakta paling pahit dari perselingkuhan selebriti adalah satu hal: yang paling menderita sering kali bukan mereka yang viral, melainkan pasangan sah, anak, dan keluarga yang memilih diam dan menanggung dampaknya jauh lebih lama dari satu siklus pemberitaan.


/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fphoto%2Fori%2F2025%2F12%2F08%2F8be1798d-707e-46a6-b9a0-cd8d1be9c955.jpg)

