SEMARANG, KOMPAS — Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 di wilayahnya sebesar Rp 2.327.386,07 atau naik sebesar 7,28 persen dari UMP tahun lalu. Meski ada kenaikan, besaran UMP tersebut dinilai para buruh masih di bawah kebutuhan hidup layak.
UMP dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) itu ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nomor 100.3.3.1/504. UMP Jateng ditetapkan sebesar Rp2.327.386,07 atau naik sebesar Rp 158.037,07 dari UMP 2025. Kenaikannya sekitar 7,28 persen.
Luthfi menyebut, penetapan UMP dihitung sesuai formula pengupahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dengan mempertimbangkan inflasi provinsi sebesar 2,65 persen, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15 persen, serta nilai alfa 0,90.
"Nilai alfa sebesar 0,90 ini tidak ditentukan secara sembarangan, tetapi melalui perhitungan dan parameter yang jelas," kata Luthfi.
Sementara itu, UMSP tahun 2026 ditetapkan pemerintah pada 11 sektor industri. Beberapa di antaranya industri tepung terigu, industri gula pasir, industri alas kaki, industri kosmetik, dan industri produk farmasi untuk manusia.
Luthfi mengatakan, besaran UMSP lebih tinggi dari UMP serta sesuai karakteristik dan kemampuan sektor terkait. Di samping UMP dan UMSP, Luthfi juga menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur Nomor 100.3.3.1/505.
UMK 2026, dihitung berdasarkan inflasi provinsi, pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota, serta nilai alfa. Nilai alfa untuk penentuan UMK ini bervariasi, sesuai dengan kabupaten/kota masing-masing.
UMK tertinggi berada di Kota Semarang, yaitu sebesar Rp 3.701.709,00. Adapun UMK terendah di Kabupaten Banjarnegara, yakni sebesar Rp 2.327.813,08.
Adapun UMSK 2026 ditetapkan pemerintah pada 33 sektor di lima daerah, yakni Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Tegal.
Luthfi mengatakan, kebijakan pengupahan, khususnya penetapan upah minimum, merupakan bagian dari program strategis nasional. Oleh karena itu, dalam penetapannya, pemerintah daerah wajib berpedoman pada kebijakan pengupahan dari pemerintah pusat. Hal itu untuk memberikan perlindungan bagi pekerja, dan memberi kepastian hukum bagi dunia usaha.
Menurut Luthfi, upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Tujuannya agar pekerja baru memperoleh penghasilan yang layak, sesuai standar yang ditetapkan pemerintah.
Bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih, pengusaha wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala upah. Kebijakan tersebut disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain masa kerja, kompetensi, jabatan, serta kinerja.
“Kebijakan (UMP, UMSP, UMK dan UMSK) ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026. Kami berharap seluruh perusahaan dapat mematuhi dan melaksanakan ketentuan ini, sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan," ucap Luthfi.
Luthfi berharap, penetapan upah minimum mampu meningkatkan kesejahteraan buruh sekaligus menjaga kondusivitas wilayah dan iklim investasi di Jateng.
Selain kebijakan pengupahan, Pemprov Jateng juga menyiapkan sejumlah kebijakan pendukung, antara lain penyusunan Peraturan Gubernur tentang Koperasi Buruh, penguatan akses transportasi pekerja, penyediaan daycare di lingkungan perusahaan, serta dukungan program perumahan buruh yang terjangkau.
Sementara itu, elemen buruh mengaku bersyukur dengan adanya kenaikan UMP di Jateng. Meskipun demikian, kenaikan UMP itu dinilai masih jauh di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Berdasarkan hasil surivei Badan Pusat Statistik, KHL di Jateng pada 2026 serendah-rendahnya Rp 3,4 juta dan setinggi-tingginya Rp 4,1 juta.
"Walaupun memang ada kenaikan, tentu ini tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup layak untuk buruh dalam waktu sebulan. Kalau kondisi upahnya seperti ini, daya beli masyarakat akan lemah karena buruh akan berhati-hati untuk mengeluarkan uang," ujar anggota Dewan Pengupahan sekaligus Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Karmanto.
Karmanto mengatakan, selain berharap agar UMP disesuaikan dengan KHL, para buruh juga mengharapkan penetapan UMSK di daerah-daerah industri seperti di Jepara. Namun, pemerintah justru menghapuskan UMSK di Jepara.
"Tahun lalu sudah ditetapkan UMSK di Jepara. Tapi tahun ini hilang total. Kemudian, di Kota Semarang, ada beberapa sektor yang juga dihilangkan UMSK-nya, seperti konveksi, furnitur, dan garmen. Ini kan berarti mengalami degradasi upah atau kemunduran," kata Karmanto.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi mengatakan, para pengusaha kecewa dengan keputusan Gubernur Jateng menetapkan alfa sebesar 0,90. Angka itu dinilai Frans terlalu besar.
"Kondisi dunia usaha kita saat ini belum baik-baik amat. Kondisi geopolitik juga belum mendukung. Belum lagi nanti ada tarif Trump. Kami berharap, supaya industri tetap berjalan, buruh juga tetap punya pekerjaan dengan peningkatan pendapatan, dan pemerintah juga bisa tetap mendapatkan pajak," ucap Frans.
UMP Jateng yang dinilai Frans tinggi itu dikhawatirkan menurunkan minat investasi, terutama industri padat karya di wilayah tersebut. Sebab, dalam industri padat karya, salah satu komponen pembiayaan yang dinilai Frans tinggi adalah upah.
Menurut Frans, para pengusaha masih mengkaji besaran UMP yang ditentukan pemerintah. Jika ada temuan pelanggaran peraturan, pihaknya bakal menempuh jalur hukum dengan cara menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kalau kondisi upahnya seperti ini, daya beli masyarakat akan lemah karena buruh akan berhati-hati untuk mengeluarkan uang



:strip_icc()/kly-media-production/medias/4980269/original/004433200_1729872086-WhatsApp_Image_2024-10-25_at_22.52.27_5a303ac7.jpg)
