Menuju Era Pusat Data di Luar Angkasa

kompas.id
18 jam lalu
Cover Berita

Pembangunan pusat data di Bumi menghadapi tantangan besar, terutama terkait masalah sumber energi dan pendinginan. Menyikapi keterbatasan tersebut, sejumlah raksasa teknologi dan perusahaan rintisan berencana mengembangkan pusat data di luar angkasa. Jika rencana ambisius ini berhasil, maka infrastruktur kecerdasan buatan (AI) masa depan akan ditata ulang.

Google pada November 2025 lalu meluncurkan Project Suncatcher, sebuah program penelitian yang bertujuan untuk membangun pusat data di luar angkasa. Perusahaan ini berencana untuk meluncurkan dua satelit purwarupa bertenaga surya yang membentuk konstelasi pada 2027. Data antarsatelit itu akan dikirim menggunakan laser.

Masing-masing satelit akan mengoperasikan cip buatan Google sendiri, yaitu Tensor Processing Units (TPU). Seperti ditulis peneliti sistem cerdas dan ilmu data dari Universitas Anglia Ruskin Inggris Domenico Vicinanza di The Conversation, 3 Desember 2025, cip TPU itu dirancang khusus untuk pembelajaran mesin (ML) yang sudah mendukung model akal imitasi (AI) terbaru Google, yaitu Gemini 3.

Baca JugaGoogle Operasikan Pusat Data di Indonesia

Dalam proyek riset ini, Google akan menguji apakah cip TPU yang dirancang untuk bekerja di Bumi itu mampu beradaptasi di luar angkasa yang memiliki gravitasi mikro serta radiasi dan temperatur ekstrem. Bukan hanya sekadar beroperasi, tetapi cip itu juga dituntut memberikan keandalan kinerja yang sama meski bergerak dalam kecepatan tinggi di orbit pada ketiggian 650 km dari Bumi.

Tak hanya Google, perusahaan raksasa teknologi lain juga menjajaki pengembangan komputasi berbasis luar angkasa. Pemilik SpaceX Elon Musk, seperti dikutip dari Data Center Dynamics, 3 November 2025, juga sudah menyatakan keinginannya untuk membangun pusat data di luar angkasa.

SpaceX akan menggunakan satelit Starlink V3 generasi terbaru yang telah ditingkatkan skalanya untuk melakukan pemrosesan data. Satelit dengan komputasi AI terlokalisasi itu akan memiliki orbit yang sikron dengan Matahari, latensi (jeda pengiriman sinyal) yang rendah, serta mampu memancarkan kembali hasil pemrosesannya ke Bumi.

“Ini akan menjadi cara berbiaya rendah untuk menghasilkan aliran bit AI dalam waktu kurang dari 3 tahun (dari sekarang),” cuit Musk di akun X-nya pada 7 Desember 2025.

Sejumlah perusahaan kecil, termasuk perusahaan rintisan asal Amerika Serikat, Starcloud, juga telah mengumumkan rencana meluncurkan satelit yang dilengkapi dengan cip Graphics Processing Units (GPU) yang jamak digunakan pada sebagian besar sisem AI.

Ada pula perusahaan Aetherflux, yang seperti dikutip dari Space, 9 Desember 2025, tengah menjalankan proyek Galactic Brain untuk mempercepat proses di pusat data AI. Mereka berencana mengirimkan konstelasi satelit bertenaga surya pada kuartal pertama 2027 yang mampu melakukan proses komputasi tanpa membutuhkan infrastruktur yang besar.

Baca JugaPusat Data Nasional Terganggu, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Keinginan sejumlah perusahaan membangun pusat data di luar angkasa itu untuk menghindari berbagai persoalan yang dihadapi selama pengoperasian pusat data di Bumi, terutama terkait energi atau daya yang dibutuhkan serta proses pendinginan.

Pusat data dikenal boros energi karena untuk mengoperasikan satu pusat data saja membutuhkan energi setara energi yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan satu kota kecil. Karena kebutuhan energi itu lebih banyak dipenuhi dari bahan bakar fosil, maka akan meningkatkan emisi karbon yang selama ini justru berusaha dikurangi.

Karena itu, pusat data di luar angkasa diyakini akan memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibanding pusat data yang beroperasi di Bumi. Belum lagi risiko polusi udara, polusi suara, hingga limbah elektronik beracun yang dapat ditekan.

Selain itu, pengoperasian pusat data di luar angkasa diharapkan mampu mengurangi kendala terkait infratsruktur maupun peraturan dari pemerintah. Pusat data orbital itu juga diyakini lebih mudah untuk ditingkatkan skalanya.

Dengan membuat pusat data di luar angkasa, “kami akan mengirimkan rak-rak mesin yang sangat kecil dan menempatkannya di satelit, mengujinya, hingga kemudian meningkatkan skalanya di luar angkasa,” kata Pimpinan Eksekutif Tertinggi Google Sundar Pichai. Bahkan, Pichai memprediksi pusat data di luar angkasa itu akan menjadi hal normal dalam satu dekade mendatang.

Tantangan

Meski demikian, Vicinanza memilih lebih berhati-hati dalam memandang optimisme pengusaha teknologi untuk membangun pusat data di luar angkasa dalam waktu singkat. Skeptisisme itu bukannya tanpa alasan mengingat untuk menempatkan pusat data di luar angkasa jelas tidak mudah.

Satelit yang membawa cip-cip harus memiliki orbit yang sinkron dengan Matahari. Artinya, satelit harus senantiasa berada pada hari siang Bumi, dari Matahari terbit sampai terbenam, sehingga panel surya yang digunakan mampu menangkap sinar Matahari secara maksimal dan terus menerus. Dengan cara ini, panel surya pada satelit akan menghasilkan energi jauh lebih besar dibanding perangkat serupa di Bumi akibat tidak terhalang, awan, atmosfer, atau malam.

Selain itu, pengujian TPU juga akan menarik karena perangkat yang dipasang di luar angkasa biasanya memiliki perlindungan kuat terhadap radiasi dan temperatur ekstrem. Masalahnya, cip TPU yang digunakan Google ini sama dengan yang dipakai di pusat data mereka di Bumi.

Baca JugaGoogle Bangun Pusat Data di Pulau Christmas, Potensi Strategis Militer Jadi Sorotan

Meski demikian, Google telah menguji cip tersebut di laboratorium dengan memaparkannya pada radiasi dari pancaran proton. Hasilnya, cip mampu menoleransi hingga tiga kali lipat dari dosis paparan radiasi di luar angkasa. Dengan demikian, kinerja cip TPU ini dapat diandalkan.

Namun, menjaga kinerjanya tetap stabil selama bertahun-tahun di tengah badai Matahari, sampah antariksa, maupun perbedaan suhu ekstrem adalah tantangan berbeda.

Persoalan lain yang harus dihadapi dalam pembangunan pusat data di luar angkasa adalah manajemen termal perangkat. Di Bumi, peladen (server) didinginkan dengan udara atau air. Namun di luar angkasa, tidak ada udara dan air sehingga tidak ada cara mudah untuk menghilangkan panas perangkat.

Biasanya dalam wahana antariksa, semua panas akan dihilangkan dengan radiator. Masalahnya, radiator seringkali menjadi salah satu bagian terbesar dan terberat dalam wahana antariksa.

Studi Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS (NASA) menunjukkan, radiator menyumbang lebih dari 40 persen dari total massa sistem daya wahana antariksa. Untuk mengatasi itu, perlu dirancang sistem yang lebih kompak guna menjaga perangkat keras AI agar tetap berada pada suhu yang aman. Namun, sekali lagi, persoalan ini cukup sulit.

Pusat data dikenal boros energi karena untuk mengoperasikan satu pusat data saja membutuhkan energi setara energi yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan satu kota kecil.

Pusat data di luar angkasa juga harus mampu mereplikasi jaringan dengan lebar pita (bandwith) tinggi dan latensi rendah seperti yang ada di Bumi. Agar sistem komunikasi laser antarsatelit maupun dengan perangkat di Bumi bisa berfungsi dan memiliki kapasitas multi-terabit seperti pusat data di Bumi, maka beberapa kendala teknik yang muncul harus diselesaikan dulu.

Salah satunya adalah menyelaraskan gerak antarsatelit dalam konstelasi yang masing-masing bergerak cepat dan menghadapi risiko penurunan maupun pergeseran orbit. Satelit-satelit itu juga harus mempertahankan hubungan dengan perangkat di Bumi serta mampu mengatasi kendala akibat gangguan cuaca. Potensi kegalalan juga harus diantisipasi, terutama jika ingin pusat data di luar angkasa bertahan dalam waktu lama.

Baca JugaGoogle Lirik Vietnam untuk Lokasi Pembangunan Pusat Data Berskala Besar

Selain itu, pemeliharaan perangkat juga menjadi tantangan yang harus diwaspadai sejak dini. Pusat data di Bumi membutuhkan perawatan intensif dan penggantian perangkat keras secara terus menerus. Jika di luar angkasa, maka perbaikan membutuhkan sistem perawatan robotik atau misi tambahan yang keduanya sama-sama rumit dan mahal dibanding perawatan serupa di Bumi.

Ketidakpastian ekonomi juga harus diperhitungkan. Sistem komputasi di luar angkasa akan mencapai nilai kelayakan ekonominya jika skalanya besar dan biaya peluncuran yang ada saat ini bisa terus ditekan. Dalam persoalan ini, Google yakin biaya peluncuran akan semakin murah dalam beberapa tahun ke depan.

Jika skala pusat data yang dibangun kecil dan biaya peluncuran tidak berhasil ditekan, maka biaya konstruksi pusat data di luar angkasa akan serupa dengan di Bumi. Pusat data di luar angkasa memiliki tantangan lebih rumit, terutama soal radiasi yang bisa memperpendek usia pakai satelit dan pusat data.

Dengan demikian, Vicinanza menilai uji dua satelit pusat data milik Google pada 2027 adalah masuk akal. Misi itu bisa dijalankan untuk mengecek apakah modul kendali temperatur (TCM) yang digunakan mampu bertahan terhadap radiasi dan tekanan termal tinggi, apakah tenaga surya yang digunakan stabil, dan apakah sistem komunikasi laser berfungsi sesuai harapan.

Jika uji dalam Project Suncatcher berhasil, maka itu baru akan menjadi langkah awal yang belum pasti bisa ditingkatkan skalanya menjadi lebih besar. Mewujudkan pusat data orbital skala besar membutuhkan penyelesaian dari berbagai tantangan yang ada. Kalaupun skala besar itu bisa diadopsi, maka butuh beberapa dekade untuk benar-benar bisa mewujudkan pusat data di luar angkasa.

Untuk saat ini, komputasi berbasis ruang angkasa tetap seperti yang Google sebut, yaitu sebuah proyek ambisius. Jika berhasil diwujudkan, maka berpotensi untuk menata ulang infrastruktur AI masa depan dan mengembangkan hubungan baru manusia dengan alam semestanya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Presiden Prabowo Terima Laporan Pembangunan Kampung Haji di Mekkah
• 5 jam lalumatamata.com
thumb
Kapolri Ajak Banser NU dan Kokam Muhammadiyah Amankan Natal 2025
• 5 jam lalukompas.com
thumb
Dari Dumai hingga Siak, Polres Jajaran Polda Riau Siaga Amankan Malam Natal
• 9 menit laludetik.com
thumb
Mendiktisaintek & KP2MI Targetkan Lulusan Pendidikan Tinggi-Vokasi Laku di Pasar Kerja
• 5 jam lalujpnn.com
thumb
Dasi Biru Muda dan Utak-atik Kabinet Sepanjang 2025
• 12 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.