BENCANA ekologis (bukan sekadar bencana alam, melainkan ada kontribusi manusia) yang menimpa Aceh dan Sumatera sudah seharusnya membawa kita (bangsa Indonesia) untuk merenungi.
Sudah seharusnya ada refleksi, evaluasi yang sungguh-sungguh dengan kesadaran penuh, guna menemukan perubahan/pembaruan yang substantif dan wajib ditindaklanjuti.
Sudah seharusnya kita meruat diri, atau meminjam istilah Arnold van Gennep, memasuki ruang liminal.
Melalui tulisan ini, saya hendak merenungi satu aspek ritual bernegara, yakni tradisi menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Adakah yang perlu dikritik?
Sebagaimana diketahui, lagu kebangsaan gubahan WR. Soepratman itu sudah lazim dinyanyikan hanya satu stanza, stanza pertama.
Dua stanza yang lain sangat jarang dinyanyikan. Bahkan, tak sedikit yang tidak tahu bahwa “Indonesia Raya” sejatinya terdiri atas tiga stanza.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Indonesia Raya, bencana sumatera, banjir sumatera 2025&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yNC8wODA1NDEwMS9iZW5jYW5hLWVrb2xvZ2lzLWRhbi10cmFkaXNpLW1lbnlhbnlpa2FuLWluZG9uZXNpYS1yYXlh&q=Bencana Ekologis dan Tradisi Menyanyikan "Indonesia Raya"§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Kesan yang saya tangkap, alasannya butuh waktu yang lama, tidak praktis, tidak efisien, dan sejenisnya. Memang tidak ada kewajiban menyanyikan penuh tiga stanza. Yang wajib, menyanyikan stanza pertama, sebagaimana selama ini.
Padahal, bila “Indonesia Raya’ itu dinyanyikan lengkap tiga stanza hanya butuh waktu 4,28 menit. Hampir sama dengan kebiasaan menyapa para hadirin dalam pidato-pidato resmi.
Baca juga: Biarkan Dunia Membantu Sumatera
Persoalan itu sepertinya sepele, tak signifikan dalam urusan bernegara. Tak ada sangkut-pautnya dengan bencana ekologis yang meluluhlantakkan Aceh dan Sumatera.
Tak ada urusan dengan situasi dan kondisi Indonesia yang oleh Presiden Prabowo Subianto disebut “paradoks Indonesia”, negeri kaya raya, tapi rakyatnya miskin.
Tak berhubungan dengan krisis integritas kepemimpinan, di antaranya ditandai oleh semakin banyak penyelenggara negara ditangkap penegak hukum, bahkan di kalangan penegak hukum sendiri.
Penguatan identitas kebangsaanJangan sepelekan “Indonesia Raya”, yang sejatinya tiga stanza, tapi sering hanya stanza pertama yang dinyanyikan. Menyanyikannya secara utuh sesungguhnya merupakan penguatan identitas kebangsaan.
Sejak awal “Indonesia Raya” digubah sebagai identitas kebangsaan yang berbasis pada kristalisasi historis masyarakat jajahan. Tentu saja bukan sembarang ditulis.
“Indonesia Raya” mewakili gagasan kebangsaan Indonesia dalam bahasa puisi. Mewadahi alasan-alasan historis dan fundamental, serta menuntun arahnya.
Kata WR. Soepratman, “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Sangat jelas klausa tersebut berisi strategi pembangunan yang semestinya dijalankan pada pascakemerdekaan.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5453654/original/024606000_1766484756-IWS_0476.jpg)
