JAKARTA, KOMPAS — Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menegaskan bahwa pemberhentian Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf merupakan keputusan organisasi. Pemberhentian Yahya ditempuh melalui proses kelembagaan yang berjenjang sesuai Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama.
Penegasan itu disampaikan Miftachul Akhyar melalui tabayun resmi Rais Aam PBNU berjudul ”Menempatkan Pemberhentian Ketua Umum dalam Koridor Konstitusi Jam’iyah” yang dibacakan dalam keterangan video yang diterima Kompas, Rabu (24/12/2025). Tabayun tertulis tersebut bertanggal dan ditandatangani pada 22 Desember 2025 sebagai respons atas kegaduhan yang berkembang di internal NU dan di ruang publik dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam pengantarnya, Miftachul Akhyar menyampaikan permohonan maaf kepada warga nahdliyin atas dinamika yang terjadi. Ia menyebut kegaduhan tersebut berada di luar dugaan mengingat selama hampir empat tahun masa kepengurusan PBNU, hubungan antarunsur organisasi berjalan aman dan baik.
”Memang sebuah hal-hal yang besar yang baik memang akan banyak tantangan dan rintangan, termasuk munculnya kegaduhan-kegaduhan yang karena belum dipahami secara benar,” katanya.
Miftachul Akhyar melanjutkan, dalam tiga bulan terakhir telah terjadi peristiwa-peristiwa besar yang mengejutkan banyak pihak. Peristiwa tersebut sebelumnya tidak disadari dan tidak diperkirakan akan berkembang menjadi polemik terbuka.
Menanggapi berbagai pandangan yang muncul, Rais Aam PBNU menegaskan bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang wajar dalam organisasi besar seperti NU. Namun, perbedaan tersebut perlu ditempatkan secara jernih dan adil, terutama dalam membedakan antara tindakan personal dan keputusan institusional.
Ia mengingatkan bahwa penyederhanaan proses pemberhentian Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf sebagai ”pemberhentian oleh Rais Aam” berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serius, bahkan tuduhan melampaui kewenangan atau ultra vires. Keputusan tersebut merupakan hasil proses kelembagaan yang ditempuh secara berjenjang melalui tahapan dan forum resmi organisasi sesuai Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama.
”Keputusan Rapat Pleno PBNU bukanlah tindakan sepihak individu, melainkan proses kelembagaan yang bergerak melalui tahapan dan forum resmi organisasi,” ujarnya.
Dalam tabayun tersebut, Miftachul Akhyar memaparkan secara rinci alur dan mekanisme konstitusional pemberhentian ketua umum PBNU. Ia menjelaskan bahwa Syuriyah PBNU menjalankan mandat pembinaan dan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Anggaran Dasar NU, termasuk terkait pelaksanaan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) dan pengawasan tata kelola keuangan PBNU.
Rangkaian proses dimulai dengan Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 6 Juni 2025 di Pondok Pesantren Miftachussunnah, Surabaya. Proses berlanjut melalui Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU pada 17 Juni 2025 di Gedung PBNU Jakarta.
Dalam rapat tersebut, saran dan pendapat yang menjadi keputusan rapat disebut tidak diindahkan oleh ketua umum PBNU saat itu. Gus Yahya tetap memaksakan pelaksanaan AKN NU sesuai jadwal yang dirancang bersama Center for Shared Civilizational Values (CSCV).
Syuriyah PBNU kemudian menerbitkan instruksi resmi mengenai penghentian atau penangguhan pelaksanaan AKN NU serta nota kesepahaman PBNU dengan CSCV. Selain itu, surat permintaan penyampaian laporan keuangan PBNU juga disampaikan kepada Gus Yahya.
Lebih jauh, Syuriyah PBNU selanjutnya melakukan tabayun langsung kepada Gus Yahya sebanyak dua kali, masing-masing pada 13 November 2025 di Surabaya dan 17 November 2025 di Gedung PBNU, Jakarta. Dalam pertemuan kedua tersebut, Gus Yahya meminta undur diri lebih awal dari waktu yang telah disediakan.
Gestur tersebut kemudian dianggap cukup oleh Syuriyah PBNU untuk dibawa ke rapat lembaga Syuriyah. Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 menghasilkan keputusan pemberhentian Gus Yahya dari Ketua Umum PBNU.
Keputusan tersebut dikuatkan dalam Rapat Pleno PBNU pada 9 Desember 2025. Rapat pleno yang dihadiri 118 peserta dari total 214 undangan itu secara bulat memutuskan pemberhentian Gus Yahya dari Ketua Umum PBNU serta menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat Ketua Umum PBNU hingga pelaksanaan Muktamar Ke-35 NU pada 2026.
Di tengah polemik yang berkembang, perhatian publik juga tertuju pada ketidakhadiran Rais Aam PBNU dalam Musyawarah Kubro di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Miftachul Akhyar menegaskan bahwa secara pribadi dirinya menghormati seluruh saran dan masukan dari pihak mana pun, termasuk forum Musyawarah Kubro yang berangkat dari inisiatif KH Anwar Manshur selaku Mustasyar PBNU.
Namun, ia menekankan bahwa keputusan organisasi harus tetap berjalan sesuai aturan dan mekanisme jam’iyah. Menurut dia, marwah Nahdlatul Ulama dijaga ketika setiap keputusan dikembalikan pada mekanisme organisasi yang sah.
Ia juga mengungkapkan bahwa sebenarnya ada keinginan untuk hadir dalam forum tersebut, termasuk untuk melakukan tabayun kepada KH Ma’ruf Amin, Rais Aam PBNU masa khidmat 2015-2018. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai masukan terkait aspek legalitas dan konstitusionalitas forum, keinginan tersebut akhirnya ditinjau ulang.
Sebagai bagian dari ikhtiar menjaga kebersamaan, Rais Aam PBNU mengungkapkan bahwa pihaknya menerima dua utusan dari Pesantren Lirboyo pada Senin (22/12/2025) pagi. Kedua utusan tersebut menyampaikan harapan agar tidak terjadi kebuntuan komunikasi di tubuh PBNU.
Miftachul Akhyar menyebut permintaan tersebut sebagai sesuatu yang baik dan positif. Oleh karena itu, Syuriyah PBNU akan mengagendakan penyampaian penjelasan secara langsung kepada para Mustasyar PBNU.
”Karena itu, Syuriyah PBNU akan mengagendakan penyampaian penjelasan secara langsung kepada Mustasyar PBNU mengenai latar belakang, tahapan, prosedur, dan substansi keputusan Rapat Pleno PBNU yang akan diselenggarakan dalam waktu segera,” tuturnya.
Musyawarah Kubro yang diikuti 308 pengurus wilayah NU (PWNU) dan pengurus cabang NU (PCNU) di Lirboyo menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, kedua belah pihak yang berkonflik diminta melakukan islah (bertemu dan berdamai) secara sungguh-sungguh dengan batas waktu selambat-lambatnya tiga hari terhitung mulai Minggu (21/12/2025) pukul 12.00 WIB.
Kedua, jika dalam batas waktu yang disepakati tidak ditemukan kesepakatan islah, musyawarah kubro meminta kepada kedua pihak untuk menyerahkan kewenangan dan kepercayaan kepada Mustasyar PBNU guna menyelenggarakan Muktamar Nahdlatul Ulama 2026 dalam waktu 1 x 24 jam setelah berakhirnya tenggat islah.
Namun, jika opsi pertama dan kedua tidak terpenuhi, langkah ketiga adalah menyelenggarakan muktamar luar biasa (MLB) melalui penggalangan dukungan 50 persen + 1 PWNU dan PCNU.
Jika dihitung, tenggat islah akan jatuh pada hari Rabu ini, tepat pukul 12.00 WIB. Karena itu, Gus Yahya berencana untuk memberikan keterangan terkait pandangan dan tindak lanjut atas hasil-hasil Musyawarah Kubro di Gedung PBNU, Jakarta, siang ini.
Sebelumnya, Gus Yahya juga menyampaikan klarifikasi tertulis terkait berbagai tuduhan yang beredar di ruang publik, mulai dari polemik Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN-NU), isu Zionisme, konsesi tambang, hingga keabsahan jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU. Klarifikasi tersebut disampaikan karena upaya penjelasan langsung kepada Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar disebut belum menemukan titik temu.
Klarifikasi itu dituangkan dalam surat pernyataan resmi PBNU bernomor 4928/PB.23/A.II.07.08/99/12/2025 yang diterbitkan di Jakarta pada 21 Desember 2025. Dalam surat tersebut, Yahya menyatakan klarifikasi disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan organisatoris kepada warga NU dan publik luas, bukan semata untuk membela diri, melainkan untuk menjaga kesatuan dan integritas Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Terkait polemik AKN-NU, Yahya menjelaskan bahwa program tersebut merupakan jenjang tertinggi dalam sistem kaderisasi NU dan telah disepakati dalam Rapat Pleno PBNU pada Juli 2024. Kontroversi muncul setelah kehadiran salah satu narasumber yang diketahui memiliki afiliasi dengan gerakan pro-Israel. Yahya mengakui kehadiran narasumber tersebut sebagai kekhilafan, menyatakan tidak mengetahui afiliasi politik yang bersangkutan, serta telah menyampaikan permohonan maaf dan menghentikan seluruh rangkaian AKN-NU.
Dalam surat yang sama, Yahya juga membantah tuduhan penyalahgunaan dana dan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dikaitkan dengan PBNU. Ia menjelaskan bahwa dana yang sempat ditransfer ke rekening PBNU berasal dari mantan Bendahara Umum PBNU pada 2022 dan telah diklarifikasi, dengan sebagian dana dikembalikan. Ia menegaskan tidak terdapat unsur TPPU dan PBNU tidak terlibat dalam perkara hukum pihak terkait.
Terkait isu konsesi tambang, Yahya juga membantah tuduhan bahwa dirinya berupaya mengalihkan pengelolaan konsesi tambang NU kepada pihak lain atas arahan Presiden Prabowo Subianto. Menurut dia, konsesi tambang tersebut merupakan pemberian pemerintah kepada NU melalui PBNU pada masa Presiden Joko Widodo. Ia menyebut pertemuannya dengan Presiden Prabowo hanya membahas percepatan perizinan dan produksi agar konsesi tersebut segera memberi manfaat ekonomi bagi NU, dan seluruh pembicaraan itu telah dilaporkan kepada Rais Aam PBNU tanpa adanya keberatan atau arahan khusus.
Adapun mengenai keabsahan jabatannya, Yahya menilai keputusan Rapat Harian Syuriyah PBNU yang memberhentikannya bertentangan dengan AD/ART NU. Ia menyatakan kewenangan pemberhentian Ketua Umum hanya berada di forum Muktamar atau Muktamar Luar Biasa, serta menegaskan bahwa secara hukum negara dirinya masih tercantum sebagai Ketua Umum PBNU dalam surat keputusan Kementerian Hukum dan HAM. Meski demikian, Yahya menyatakan tetap membuka ruang ishlah dan musyawarah demi menjaga keutuhan organisasi.



