Bisnis.com, JAKARTA - Sebagai mitra tepercaya untuk pengelolaan kekayaan global, terutama untuk menyikapi kebutuhan individu dan bisnis, DBS Group Research merilis proyeksi ekonomi sepanjang tahun 2026 bertajuk “DBS Focus Indonesia 2026 Outlook: Saatnya Bertindak”. Melalui laporan ini, DBS Bank Ltd (Bank DBS) memberikan panduan strategi bagi nasabah untuk menjaga stabilitas finansial di pasar yang kompleks.
DBS Group Research memprediksi bahwa prospek ke depan bergantung pada kemampuan ekonomi untuk beralih dari tahap perencanaan ke tahap implementasi operasional, sehingga reformasi strategis dapat menghasilkan manfaat nyata bagi pertumbuhan, produktivitas, dan investasi. Hal ini menuntut implementasi yang terkoordinasi di seluruh sektor industri dan lembaga, serta dukungan kebijakan yang tepat. Perubahan yang akan datang dipandu oleh “Sumitronomics”, kerangka kerja dari Sumitro Djojohadikusumo yang menekankan industrialisasi, manufaktur, dan kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan.
“Seiring memasuki tahun kedua pemerintahan Prabowo-Gibran, kami berharap adanya orientasi yang jelas untuk mendorong pertumbuhan melalui perpaduan kebijakan fiskal dan moneter yang terus berkembang. Kepercayaan pasar terhadap valuta asing dan obligasi tetap terjaga, meski investor masih memperhatikan dinamika ekonomi politik. Tahun 2026 diperkirakan akan ditandai oleh pertumbuhan yang lebih seimbang, peningkatan belanja fiskal, pergeseran menuju investasi yang dipimpin negara, kebijakan moneter yang mendukung pertumbuhan, iklim investasi yang membaik, serta stabilitas metrik eksternal dengan IDR yang tetap dipengaruhi oleh faktor global,” ungkap Senior Economist DBS Bank Radhika Rao.
Pada 1Q-3Q25, pertumbuhan PDB riil tercatat rata-rata 5% year on year (yoy), didorong stimulus fiskal, belanja publik yang meningkat moderat, serta perdagangan eksternal yang positif, terutama ekspor manufaktur dan komoditas yang dimajukan. Kinerja ekspor tetap kuat hingga 10M25, didukung pengiriman ke AS dan permintaan yang meningkat dari Tiongkok, sementara investasi, baik melalui Foreign Direct Investment (FDI) maupun belanja modal pemerintah, mempercepat proyek manufaktur dan prioritas nasional. Pergeseran dari fiskal konservatif terlihat dari defisit yang lebih longgar (-2,68% dari PDB) dan peningkatan belanja untuk kesejahteraan sosial, kedaulatan pangan, energi, dan pertahanan, tetap di bawah ambang batas 3% dari PDB.
Untuk 2026, pertumbuhan diperkirakan mencapai rata-rata 5,2% (yoy), didukung kebijakan fiskal ekspansif, termasuk paket stimulus “8+4+5” senilai IDR16,2 triliun, penyaluran IDR200 miliar dari BI ke bank BUMN, serta pemanfaatan ruang fiskal. Pergeseran dari ortodoksi fiskal, sentimen yang lebih solid, dukungan stimulus, dan kondisi moneter longgar mendukung pemulihan, dengan PDB nominal diperkirakan tumbuh 7,2-7,4% seiring deflator lebih tinggi dan rasio makro tetap terjaga.
Di sisi lain, kebijakan moneter tetap dovish untuk mendukung percepatan fiskal, dengan ruang penurunan suku bunga lanjutan hingga 75 bps, intervensi pasar valuta, dan ekspansi likuiditas untuk menjaga stabilitas kredit dan transmisi kebijakan. Inflasi diperkirakan rata-rata 2,5% (yoy), dengan tekanan terbatas dari harga pangan dan logam mulia. Stabilitas makro diharapkan terjaga, meski defisit transaksi berjalan melebar menjadi -1% dari PDB, dengan cadangan devisa diperkuat melalui repatriasi devisa ekspor dan surplus perdagangan organik.
Ruang untuk kebijakan moneter yang akomodatif, sejalan dengan peningkatan belanja fiskal
Rupiah diperkirakan memasuki 2026 dengan posisi lebih stabil setelah operasi valas Bank Indonesia menahan USD/IDR di kisaran 16.500-16.800. Meski sempat terdampak aksi protes terbesar sejak 2019 dan keluarnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Agustus hingga September lalu, pergerakan rupiah relatif terkendali. Sepanjang 2025, kisaran perdagangan USD/IDR tercatat 16.100-16.900, lebih tinggi namun lebih sempit dibandingkan 15.100-16.400 pada 2024, dan BI memproyeksikan rata-rata USD/IDR16.430 pada 2026, sedikit lebih baik dibanding asumsi makro pemerintah.
Rapat Tinjauan Pasal IV IMF menegaskan Indonesia sebagai “titik terang global” dengan stabilitas makro yang kuat, inflasi terkendali, dan defisit neraca berjalan yang terkelola. Pasar saham Jakarta mencatat kenaikan sebesar 22% sepanjang 2025, didorong pertumbuhan investor domestik dari 15 juta menjadi 19 juta, sementara imbal hasil obligasi 10 tahun menyempit lebih cepat dibanding AS. Meski demikian, rupiah tetap rentan terhadap risiko domestik dan eksternal, dengan divergensi antara CDS dan nilai tukar mencerminkan sensitivitas pasar terhadap kredibilitas kebijakan fiskal kabinet baru yang belum teruji.
Kenaikan CDS sovereign dan USD/IDR menjelang Liberation Day mencerminkan ancaman proteksionisme perdagangan AS terhadap Indonesia. Pergerakan ini kemudian terkoreksi setelah adanya gencatan tarif. Dengan negosiasi dagang Juli yang belum selesai, pengalaman India di bawah pemerintahan Trump mengingatkan bahwa pembicaraan bisa panjang dan asimetris, mempertahankan ketidakpastian bagi pasar domestik. Dalam skenario terburuk, USD/IDR berpotensi kembali menembus level di atas 17.000, sehingga menjaga disiplin fiskal dan koordinasi kebijakan tetap menjadi kunci stabilitas makro.





