- Tantangan riset mikroplastik global ada pada standar data yang belum seragam.
- BRIN terlibat dalam NUTEC Plastics IAEA untuk menyatukan metode pemantauan mikroplastik.
- Riset BRIN menelusuri risiko mikroplastik pada rantai makanan laut dengan teknologi nuklir.
Suara.com - Upaya membaca ancaman mikroplastik di laut dunia kini bergerak melampaui perdebatan soal jumlah riset yang dipublikasikan. Tantangan terbesarnya justru terletak pada kemampuan negara-negara menyandingkan data secara setara.
Tanpa standar yang sama, temuan ilmiah berisiko menyesatkan arah kebijakan dan memperlebar jurang antara pengetahuan dan tindakan.
Dalam konteks inilah Indonesia mulai mengambil peran strategis. Lewat keterlibatannya sebagai salah satu dari lebih 100 negara dalam peta riset mikroplastik global, Indonesia tak lagi hanya menjadi wilayah terdampak, tetapi turut terlibat dalam upaya menyusun bahasa ilmiah bersama.
Ilustrasi mikroplastik (Unsplash/FlyD)Melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia bergabung dalam Nuclear Technology for Controlling Plastic Pollution (NUTEC Plastics) yang digagas Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk menyatukan cara dunia mengukur, membaca, dan menafsirkan pencemaran mikroplastik di laut.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN, Ali Arman, menjelaskan bahwa keterlibatan Indonesia dalam program ini merupakan bagian dari mandat internasional.
“Kegiatan ini muncul karena tugas dari IAEA. Sebelumnya, kami memang belum memiliki program monitoring mikroplastik laut dengan protokol seperti ini,” katanya.
Dalam kerangka kerja NUTEC, Indonesia berkontribusi melalui dua jalur utama, yakni pemantauan regional Asia Pasifik (RAS 7038) dan pengumpulan basis data global kawasan pesisir (INT 7021).
Pada tahap awal, meskipun berada di bawah payung teknologi nuklir, riset belum menggunakan pendekatan nuklir sama sekali. Fokusnya adalah disiplin metodologis: memastikan cara pengambilan sampel, identifikasi polimer, dan pelaporan data dilakukan secara seragam.
Tahap ini menjadi fondasi penting bagi riset lanjutan. Ali Arman menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi nuklir baru akan dimaksimalkan pada fase berikutnya, yakni 2026–2029, ketika fokus penelitian bergeser dari pemetaan konsentrasi menuju penelusuran sejarah pencemaran mikroplastik.
Baca Juga: Waspada! 5 Bahaya Mikroplastik yang Diam-Diam Mengancam Kesehatan Tubuh
Di luar kerangka NUTEC, BRIN juga mengembangkan pendekatan lain untuk membaca risiko mikroplastik, khususnya melalui biota laut. Kajian yang dipimpin Peneliti Utama Ahli Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosimetri BRIN, Heny Suseno, memanfaatkan teknologi nuklir sebagai alat perunut mikroplastik di dalam organisme hidup.
Heny menjelaskan bahwa mikroplastik berpotensi masuk ke rantai makanan melalui plankton, terakumulasi pada ikan dan kerang, lalu dikonsumsi manusia. Untuk memahami proses tersebut, tim peneliti melabeli mikroplastik dengan radioisotop iodium-131 dan memantau pergerakannya dalam tubuh biota menggunakan spektrometer gamma, tanpa mematikan hewan uji.
Pendekatan ini memungkinkan peneliti menghitung tingkat bioakumulasi, waktu tinggal mikroplastik, serta distribusinya di organ tertentu seperti insang. Data yang dihasilkan diharapkan menjadi pijakan ilmiah untuk memperkirakan potensi paparan mikroplastik pada manusia berdasarkan pola konsumsi ikan.
Di tengah laut yang kian sarat mikroplastik, langkah Indonesia terlibat dalam riset global menandai pergeseran penting: dari sekadar negara terdampak menuju aktor yang ikut membentuk cara dunia memahami dan mengendalikan pencemaran.
Standarisasi data, rekonstruksi jejak pencemaran, hingga pembacaan risiko bagi manusia menjadi fondasi agar kebijakan lahir bukan dari asumsi, melainkan dari bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis: Muhammad Ryan Sabiti


