Kediri Bertumbuh: dari Kerajaan yang Agraris ke Industri Tembakau Gudang Garam

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Sebuah kota bisa kehilangan istananya, tetapi tidak serta-merta kehilangan peradabannya. Kediri bertumbuh dari kerajaan yang agraris ke industri tembakau. Setelah kerajaan runtuh, prasasti berhenti dipahat, dan candi ditinggalkan sunyi, kota ini tidak runtuh menjadi catatan kaki sejarah. Ia memilih jalan lain dengan bekerja.

Jika pada masa Airlangga dan Panjalu kekuasaan ditopang oleh kata dan kosmologi, maka pada abad-abad berikutnya Kediri menegakkan dirinya melalui tangan-tangan yang mengolah tanah, tembakau, dan akhirnya industri. Dari ladang ke pabrik, dari kerja sunyi ke produksi massal, Kediri bertumbuh bukan dengan gegap gempita, melainkan dengan konsistensi.

Gudang Garam tidak lahir sebagai keajaiban tiba-tiba. Ia adalah puncak dari proses panjang; agraria, kebiasaan sosial, pengetahuan lokal, dan keberanian mengorganisasi kerja. Untuk memahami industri terbesar ini, Kediri harus dibaca sebagai kota yang sejak lama memandang kerja sebagai identitas.

Kekayaan Agraris dari Masa Majapahit hingga Kolonial

Sejarah Kediri selalu berangkat dari tanah. Prasasti-prasasti sima sejak masa Airlangga mencatat betapa pentingnya pengelolaan lahan, irigasi, dan hasil pertanian sebagai fondasi negara. Tradisi ini berlanjut pada era Majapahit. Negarakertagama karya Mpu Prapanca menyebut wilayah kerajaan Panjalu sebagai daerah subur, penghasil padi dan komoditas penting yang menopang stabilitas kerajaan.

Sungai Brantas menjadi urat nadi ekonomi. Ia bukan hanya jalur air, tetapi jalur distribusi hasil bumi. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya menyebut Jawa Timur sebagai “ruang pertemuan antara ekologi subur dan kecakapan organisasi sosial”. Kediri berada tepat di simpul itu; tanah aluvial, tenaga kerja agraris, dan tradisi pengelolaan kolektif.

Masuknya kolonialisme Belanda tidak menghapus karakter agraris Kediri. Justru sebaliknya, sistem tanam paksa dan ekonomi perkebunan memperkuat posisi Kediri sebagai wilayah produksi. Pabrik gula seperti PG Pesantren Baru dan PG Meritjan berdiri, mengubah lanskap desa menjadi ruang industri awal.

Namun, di balik struktur kolonial yang eksploitatif, masyarakat Kediri mengembangkan etos kerja khas, yaitu disiplin, kolektif, dan berorientasi hasil. Inilah modal sosial yang kelak memungkinkan lahirnya industri rokok kretek yang berakar kuat di Kediri.

Tembakau dan Kretek: Pengetahuan Lokal yang Menjadi Kebiasaan Kolektif

Jauh sebelum pabrik berdiri dan cerobong mengepulkan asap, tembakau telah berakar di tanah Jawa. Ia tumbuh di ladang-ladang kecil, di sela musim padi, sebagai tanaman yang tidak memaksa, tetapi menghidupi.

Denys Lombard mencatat bahwa tembakau diterima luas di Jawa karena fleksibel mengikuti ritme petani kecil, mudah ditanam, dan cepat dipanen. Di Kediri, tembakau bukan simbol kemewahan, melainkan bagian dari keseharian, seperti nasi dan kopi.

Dari tembakau, lahirlah kretek. Bukan dari laboratorium, bukan dari rancangan kolonial, tetapi dari pengetahuan tubuh. Mark Hanusz dalam Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, menunjukkan bahwa campuran tembakau dan cengkeh berangkat dari praktik pengobatan tradisional. Cengkeh dipercaya menghangatkan dada, meredakan sesak, dan menenangkan napas. Kretek pada mulanya adalah solusi, bukan gaya hidup. Ia diracik dengan intuisi, diwariskan lewat praktik, lalu menjadi kebiasaan kolektif.

Ong Hok Ham mencatat bahwa merokok dalam budaya masyarakat Jawa adalah laku sosial. Rokok menjadi penanda jeda; antara kerja dan istirahat, antara sunyi dan percakapan. Di Kediri, kretek hidup di gardu ronda, di sawah, dan di serambi rumah. Pasarnya tumbuh bukan dari iklan, melainkan dari kebiasaan.

Howard Dick menegaskan bahwa industri besar di Jawa Timur hampir selalu lahir dari tradisi produksi kecil yang matang secara sosial. Kretek adalah pengetahuan hidup. Ketika industri modern datang, ia tidak menciptakan kebiasaan baru, melainkan hanya memperbesar yang sudah ada.

Lahirnya Industri Rokok Tradisional di Kediri

Rokok di Jawa bukan sekadar produk kolonial. Sejarawan rokok seperti Mark Hanusz mencatat bahwa kretek lahir dari pengetahuan lokal; campuran tembakau, cengkeh, dan kearifan tubuh. Ia berkembang sebagai industri rumahan berbasis keterampilan tangan, padat karya, dan sangat bergantung pada ketelitian.

Di Kediri, industri rokok tumbuh dari dapur dan teras rumah. Pelinting rokok yang kebanyakan perempuan, menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Aktivitas ini menciptakan ritme kota; pagi di ladang atau pasar, siang hingga sore melinting, malam berbagi cerita. Ekonomi dan kehidupan sosial saling menempel.

Berbeda dengan industri besar yang lahir dari modal besar dan teknologi tinggi, rokok tradisional tumbuh dari keuletan. Modal utamanya adalah tenaga manusia dan ketekunan. Inilah sebabnya industri ini cepat menyatu dengan kultur lokal. Ia tidak terasa asing, karena berangkat dari kebiasaan yang sudah ada.

Kediri pada paruh awal abad ke-20 adalah kota yang terbiasa bekerja dengan tangan. Budaya kerja ini menunjukkan disiplin, detail, dan sabar, menjadi modal sosial yang sering luput dicatat dalam statistik, tetapi menentukan arah sejarah ekonomi kota.

Budi Utomo dan Berdirinya PT Gudang Garam (1958): Revolusi Ekonomi Kota

Tahun 1958 menjadi titik balik. Tjoa Ing Hwie, yang kemudian dikenal sebagai Budi Utomo mendirikan PT Gudang Garam di Kediri. Keputusan ini bukan sekadar langkah bisnis, melainkan pembacaan tajam atas karakter kota. Ia melihat tenaga kerja terampil, tradisi tembakau, dan pasar domestik yang besar.

Gudang Garam lahir di masa Indonesia muda, ketika industrialisasi nasional masih rapuh. Banyak industri gagal karena memaksakan model besar tanpa basis lokal. Gudang Garam memilih jalan berbeda, dengan memperbesar yang sudah hidup. Industri rumah tangga diperluas menjadi pabrik, tanpa menghilangkan sifat padat karya.

Sejarawan ekonomi menyebut model ini sebagai industrialisasi berbasis komunitas. Pabrik tidak berdiri jauh dari permukiman, melainkan tumbuh bersama kota. Ini menciptakan hubungan emosional antara pekerja dan perusahaan, sesuatu yang jarang dibahas dalam narasi industri.

Gudang Garam bukan hanya menyerap tenaga kerja, tetapi juga membangun ekosistem; perumahan, fasilitas kesehatan, pendidikan, pasar tradisional, hingga ruang sosial. Kota Kediri perlahan berubah wajah. Dari kota agraris menjadi kota industri, tanpa kehilangan ritme manusianya.

Ekosistem Pabrik, Migrasi Tenaga Kerja, dan Pembentukan Identitas Kota

Seiring pertumbuhan Gudang Garam, Kediri menjadi magnet migrasi. Tenaga kerja datang dari berbagai daerah di Jawa Timur. Mereka membawa dialek, kebiasaan, dan cerita masing-masing. Kota menjadi ruang perjumpaan sosial.

Fenomena ini mengubah arsitektur sosial Kediri. Permukiman tumbuh di sekitar kawasan industri. Warung, pasar, dan transportasi berkembang mengikuti ritme shift pabrik. Waktu kota tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh musim tanam, tetapi oleh jam kerja.

Sosiolog perkotaan mencatat bahwa kota industri sering melahirkan identitas baru; disiplin, solidaritas kelas pekerja, dan etos kolektif. Kediri mengalaminya dengan cara khas. Budaya gotong royong agraris bertemu dengan logika produksi industri.

Perempuan memainkan peran penting. Pelinting rokok bukan hanya pekerja, tetapi juga pengelola ekonomi keluarga. Ini membentuk struktur sosial yang relatif egaliter dalam konteks ekonomi rumah tangga. Industri tidak hanya mengubah kota, tetapi juga relasi gender dan peran sosial.

Gudang Garam sebagai Mesin Sosial–Ekonomi Kediri Hari Ini

Hari ini, Gudang Garam adalah salah satu industri terbesar di Indonesia. Namun dampaknya di Kediri tidak hanya tercermin dalam angka produksi atau pajak. Ia hadir dalam memori kolektif kota sebagai cerita keluarga, identitas kelas pekerja, dan rasa memiliki.

Industri ini menjadi mesin sosial. Ia menggerakkan pendidikan di mana anak buruh pabrik menjadi sarjana. Ia menopang UMKM, logistik, dan sektor jasa. Ia menciptakan stabilitas ekonomi yang relatif tahan krisis, karena berbasis pasar domestik dan tenaga kerja lokal.

Tantangan tentu ada. Industrialisasi menuntut adaptasi; teknologi baru, isu kesehatan, dan perubahan regulasi. Namun sejarah Kediri menunjukkan satu hal penting, bahwa kota ini selalu bertahan dengan cara menyesuaikan, bukan memutus.

Dari kerajaan ke industri, dari ladang ke pabrik, Kediri bertumbuh dengan membawa ingatannya sendiri. Gudang Garam adalah bab modern dari cerita panjang itu, bukan akhir melainkan kelanjutan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Wali Kota Jakbar Cek Kebakaran di Petamburan, Pastikan Bantuan Korban Terpenuhi
• 21 jam laludetik.com
thumb
Video: AS: China Miliki 100 Rudal Balistik - Sidang Debottlenecking
• 17 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
PAM JAYA genap 103 tahun, fokus sinergi dan kepedulian sosial
• 20 jam laluantaranews.com
thumb
Sinopsis Drama China Blend Feelings, Kisah Zhang Chu Han Melawan Takdir Lewat Cinta dan Balas Dendam
• 8 jam lalugrid.id
thumb
10 Sekolah di Depok dapat Ancaman Teror Bom
• 18 jam laluliputan6.com
Berhasil disimpan.