Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM Pada tahun 2024, jumlah UMKM di Indonesia mencapai lebih dari 64,2 juta hingga 65 juta unit usaha, mencakup hampir seluruh unit usaha (99,99 persen) dan menjadi tulang punggung ekonomi dengan kontribusi signifikan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja.
Besarnya peranan UMKM tersebut membuat pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap UMKM, termasuk salah satunya yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, dengan menawarkan program pembinaan dan pengembangan usaha khusus untuk UMKM yang disebut Business Development Services (BDS).
Program BDS yang dijalankan Ditjen Pajak tidak lahir secara instan, melainkan melalui proses panjang reformasi pendekatan pembinaan wajib pajak. Inisiatif ini mulai diperkenalkan secara bertahap sejak pertengahan dekade 2010-an, ketika otoritas pajak menyadari bahwa struktur ekonomi Indonesia yang didominasi UMKM membutuhkan strategi nonkoersif untuk memperluas basis pajak.
Sejak 2015, BDS mulai diuji coba di sejumlah kantor pelayanan pajak, sebagai model pembinaan usaha yang mengintegrasikan edukasi perpajakan dengan penguatan kapasitas bisnis. Pendekatan ini kemudian dilembagakan secara lebih sistematis pada 2018, melalui pedoman internal DJP, yang menempatkan BDS sebagai agenda rutin pembinaan UMKM di seluruh unit vertikal.
Dalam kurun waktu hampir satu dekade, skala program BDS berkembang signifikan. Hingga beberapa tahun terakhir, Ditjen Pajak melaporkan bahwa lebih dari 200 ribu pelaku UMKM telah terlibat langsung dalam berbagai kegiatan BDS di seluruh Indonesia.
Angka ini mencerminkan jangkauan program yang luas, mengingat setiap kantor pelayanan pajak diwajibkan menyelenggarakan kegiatan pembinaan UMKM secara berkala. Pada tingkat operasional, satu kegiatan BDS, umumnya melibatkan puluhan UMKM, namun secara agregat membentuk basis pembinaan nasional yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Secara ekonomi, fokus pembinaan UMKM melalui BDS memiliki justifikasi yang kuat. UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional, dengan kontribusi sekitar 60 persen terhadap produk domestik bruto dan menyerap hampir seluruh tenaga kerja nasional.
Sementara di sisi lain, tingkat formalitas dan kepatuhan pajak segmen ini masih relatif rendah. Sebelum berbagai upaya pembinaan diperkuat, jumlah UMKM yang tercatat aktif sebagai pembayar pajak hanya berkisar satu, hingga dua juta unit usaha, jauh di bawah total populasi UMKM yang mencapai lebih dari 60 juta unit.
Kesenjangan inilah yang coba dijembatani melalui pendekatan program BDS sebagai bentuk pembinaan berkelanjutan supaya UMKM bukan hanya masif bertumbuh, tetapi juga naik kelas, dengan berbagai peningkatan kapasitas yang diberikan.
Baca juga: Purbaya membuka peluang tarif PPh final UMKM 0,5 persen jadi permanen
Pendekatan inklusif
Secara umum, pendekatan BDS yang dilakukan oleh Ditjen Pajak adalah desainnya yang berbasis kemitraan. Program ini tidak diposisikan sebagai kegiatan sepihak otoritas pajak, melainkan sebagai ruang kolaborasi lintas sektor.
Dalam pelaksanaannya, Ditjen Pajak menggandeng pemerintah daerah, kementerian teknis, perbankan, BUMN, perguruan tinggi, serta platform digital untuk membentuk ekosistem pendukung UMKM. Melalui kemitraan tersebut, pembinaan tidak berhenti pada aspek perpajakan, tetapi meluas ke manajemen usaha, pemasaran, pembiayaan, hingga digitalisasi bisnis.
Pendekatan inklusif ini berdampak langsung pada kualitas data dan relasi fiskal, dan dampak tersebut dapat ditelusuri melalui sejumlah indikator statistik yang tersedia. Hingga akhir dekade 2010-an, jumlah UMKM nasional diperkirakan mencapai lebih dari 60 juta unit usaha, namun hanya sekitar 1,5 juta yang tercatat aktif sebagai wajib pajak.
Kesenjangan data yang sangat lebar ini menjadi latar belakang utama desain BDS sebagai instrumen perluasan basis data melalui pembinaan. Melalui kegiatan BDS yang secara agregat telah menjangkau lebih dari 200 ribu UMKM sejak diperkenalkan, Ditjen Pajak memperoleh akses langsung terhadap identitas usaha, karakteristik kegiatan ekonomi, serta kesiapan administratif pelaku usaha yang sebelumnya berada di luar radar formal perpajakan.
Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa kepatuhan pajak UMKM sangat dipengaruhi oleh pemahaman, keadilan, dan kepercayaan. Studi Sri Wahyuni, dalam JAD: Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan Dewantara menegaskan bahwa pemahaman atas peraturan perpajakan dan persepsi keadilan sistem pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan sukarela UMKM.
Temuan ini diperkuat oleh penelitian Syamsuri Rahim dkk, dalam Jurnal Ekonomi Bisnis, Manajemen, dan Akuntansi (JEBMA) yang menekankan peran moral pajak dan kepercayaan terhadap negara sebagai faktor kunci kepatuhan, terutama pada usaha kecil yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pelayanan dan pembinaan dari otoritas pajak.
Sejalan dengan itu, penelitian Eka Puspita Handayani dkk, dalam Jurnal Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi menunjukkan bahwa sosialisasi dan edukasi pajak yang berkelanjutan, disertai peningkatan kepercayaan kepada otoritas pajak, secara simultan meningkatkan kepatuhan UMKM. Sementara itu riset Iyan Suryanto dan Rizki Noor Abrilia Fitri, dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis menegaskan pentingnya pemahaman dan kesadaran perpajakan.
Secara keseluruhan, temuan-temuan tersebut konsisten dengan rekomendasi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengenai pendekatan berbasis layanan dan pembinaan administratif, yang menjadi landasan konseptual bagi program BDS Ditjen Pajak sebagai instrumen kemitraan fiskal inklusif.
Kepatuhan sukarela
Tren peningkatan kontribusi pajak UMKM dapat dibaca sebagai proses gradual yang berjalan seiring perubahan pendekatan kebijakan. Pada akhir dekade 2010-an, kontribusi UMKM terhadap penerimaan pajak penghasilan yang dibayar sendiri memang masih berada di kisaran dua persen, mencerminkan dominasi sektor informal, keterbatasan pencatatan usaha, serta rendahnya kepatuhan sukarela.
Sejak penerapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final UMKM dan diperkuat dengan pendekatan pembinaan melalui BDS, terjadi pergeseran pola. Basis wajib pajak UMKM yang terdaftar dan aktif mulai meningkat, tercermin dari bertambahnya jumlah pelaku usaha yang memiliki NPWP, melaporkan SPT, serta melakukan pembayaran pajak secara rutin, meskipun dengan nilai nominal yang relatif kecil per wajib pajak.
Baca juga: DJP ingatkan UMKM tidak akali bisnis demi insentif pajak
Memasuki awal dekade 2020-an, tren ini semakin menguat seiring integrasi BDS dengan program literasi keuangan, digitalisasi administrasi, dan pemanfaatan data lintas instansi.
Kontribusi pajak UMKM terhadap penerimaan PPh secara bertahap bergerak naik, tidak lagi stagnan di bawah dua persen, tetapi menunjukkan kecenderungan meningkat, sejalan dengan membaiknya kualitas kepatuhan dan basis data.
Peningkatan tersebut lebih bersifat struktural daripada lonjakan jangka pendek, karena ditopang oleh perluasan basis pajak, bukan sekadar kenaikan tarif. Dalam kerangka ini, BDS berperan sebagai katalis transformasi, mengubah UMKM dari objek kebijakan menjadi mitra fiskal yang secara bertahap memperkuat penerimaan negara sekaligus menjaga keberlanjutan usaha mereka.
Dengan demikian, BDS berperan mengubah kondisi tersebut secara bertahap, dengan meningkatkan kesiapan administratif UMKM. Pembinaan pembukuan sederhana, pemahaman tarif pajak final UMKM, serta literasi sistem perpajakan digital membuat pelaku usaha lebih siap masuk ke dalam sistem formal.
Dalam konteks implementasi Coretax, BDS juga berfungsi sebagai ruang transisi agar digitalisasi administrasi perpajakan tidak menciptakan eksklusi baru bagi UMKM yang belum siap secara teknologi.
Sejumlah negara berkembang telah menunjukkan bahwa pendekatan pembinaan berbasis layanan dan kemitraan dengan pelaku usaha kecil mampu meningkatkan kepatuhan sukarela secara berkelanjutan.
Brasil sering dijadikan rujukan melalui program "Simples Nacional", yang tidak hanya menyederhanakan pajak UMKM, tetapi juga diiringi pendampingan administratif dan integrasi layanan. Kajian kebijakan menunjukkan bahwa, meskipun kontribusi fiskal awal relatif kecil, basis wajib pajak formal tumbuh pesat dan dalam jangka menengah memperkuat stabilitas penerimaan negara, terutama di tingkat subnasional.
Contoh lainnya adalah Afrika Selatan, yang melalui "Small Business Tax Regime" dan pendekatan edukatif dari "South African Revenue Service" menekankan layanan, asistensi kepatuhan, dan komunikasi yang membangun kepercayaan. Di India, reformasi pajak pascapenerapan "Goods and Services Tax" disertai program literasi, "handholding", dan fasilitasi kepatuhan bagi usaha kecil, yang secara bertahap memperluas basis pajak, meskipun penerimaan awal tidak langsung melonjak.
Sementara itu, Rwanda dan Ghana kerap dikutip dalam "policy brief" Bank Dunia dan OECD sebagai contoh negara berpendapatan menengah bawah yang berhasil meningkatkan kepatuhan UMKM melalui kombinasi edukasi, simplifikasi administrasi, dan pendekatan layanan.
Pengalaman negara-negara tersebut memperkuat argumen bahwa pembinaan berbasis layanan memang tidak menghasilkan dampak fiskal instan, tetapi memberikan efek kumulatif yang signifikan terhadap kepatuhan, basis pajak, dan stabilitas penerimaan jangka panjang.
Baca juga: Komisi XI DPR dukung penundaan pajak marketplace agar tak bebani UMKM
Perluasan basis pajak
Dalam perspektif jangka menengah dan panjang, kontribusi BDS yang paling nyata adalah pada perluasan basis pajak dan basis data. UMKM yang naik kelas, memperluas omzet, dan bertransformasi menjadi usaha formal akan secara alami masuk ke dalam radar administrasi perpajakan.
Proses ini menciptakan sumber penerimaan baru yang lebih berkelanjutan dibandingkan intensifikasi pada basis pajak yang sempit. secara empiris dan terukur, dan selanjutnya ada beberapa persentase dan nilai kuantitatif yang pernah dirilis secara resmi dalam Laporan Tahunan Ditjen Pajak, Nota Keuangan, serta kajian Bank Dunia-OECD yang sering dijadikan rujukan kebijakan.
Pertama, dari sisi perluasan basis pajak, Ditjen Pajak mencatat bahwa jumlah wajib pajak UMKM terdaftar meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir. Hingga awal 2020-an, lebih dari 12 juta wajib pajak orang pribadi berstatus pelaku UMKM telah memiliki NPWP.
Hal yang lebih penting adalah kualitasnya: rasio kepatuhan formal UMKM (pelaporan SPT) yang pada pertengahan 2010-an masih berada di kisaran 50–55 persen, meningkat bertahap menjadi di atas 70 persen, setelah penguatan edukasi, asistensi, dan pembinaan, termasuk melalui BDS.
Kenaikan 15–20 poin persentase ini secara konsisten disebut dalam laporan kinerja DJP sebagai hasil pendekatan berbasis layanan.
Kedua, dari sisi kontribusi penerimaan, data DJP menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap PPh yang dibayar sendiri memang masih relatif kecil, namun mengalami tren naik. Jika pada akhir 2010-an kontribusinya masih sekitar 2 persen, maka pada awal dekade 2020-an kontribusi tersebut bergerak ke kisaran 2,5–3 persen dari total PPh nonmigas yang dibayar sendiri.
Secara nominal, penerimaan dari skema PPh UMKM pernah tercatat mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, meskipun sempat menurun sementara, saat pandemi, akibat insentif PPh final ditanggung pemerintah. Hal yang dicatat DJP, setelah insentif berakhir, basis WP yang bertahan dan tetap patuh, justru lebih luas dibandingkan sebelum pandemi, menandakan efek struktural pembinaan.
Ketiga, dari perspektif kualitas basis data, DJP melaporkan bahwa lebih dari 60 persen UMKM binaan yang mengikuti program pembinaan dan pendampingan, mulai memiliki pencatatan usaha sederhana dan terhubung dengan sistem administrasi perpajakan digital. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan UMKM non-binaan, yang tingkat pencatatan keuangannya masih berada di bawah 40 persen, menurut kompilasi data Kemenkop UKM dan DJP.
Perbaikan kualitas data inilah yang memungkinkan DJP melakukan pemetaan potensi pajak secara lebih akurat dan menjadi fondasi perluasan basis pajak jangka menengah.
Dengan demikian, meskipun BDS tidak langsung melonjakkan penerimaan dalam jangka pendek, data empiris menunjukkan kenaikan nyata pada rasio kepatuhan 15–20 persen, kontribusi PPh UMKM yang bergerak dari sekitar 2 persen menuju 3 persen, serta peningkatan signifikan kualitas basis data UMKM.
Inilah yang memperkuat argumen bahwa BDS menciptakan sumber penerimaan baru yang lebih berkelanjutan dibandingkan intensifikasi pada basis pajak yang sempit dan stagnan, dan tentunya mendukung terhadap optimalisasi UMKM untuk terus maju dan naik kelas sebagai sektor yang berpengaruh sigifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Baca juga: Afirmasi kebijakan penghapusan pajak usaha kecil bagi UMKM
*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Ditjen Pajak Kemenkeu
Besarnya peranan UMKM tersebut membuat pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap UMKM, termasuk salah satunya yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, dengan menawarkan program pembinaan dan pengembangan usaha khusus untuk UMKM yang disebut Business Development Services (BDS).
Program BDS yang dijalankan Ditjen Pajak tidak lahir secara instan, melainkan melalui proses panjang reformasi pendekatan pembinaan wajib pajak. Inisiatif ini mulai diperkenalkan secara bertahap sejak pertengahan dekade 2010-an, ketika otoritas pajak menyadari bahwa struktur ekonomi Indonesia yang didominasi UMKM membutuhkan strategi nonkoersif untuk memperluas basis pajak.
Sejak 2015, BDS mulai diuji coba di sejumlah kantor pelayanan pajak, sebagai model pembinaan usaha yang mengintegrasikan edukasi perpajakan dengan penguatan kapasitas bisnis. Pendekatan ini kemudian dilembagakan secara lebih sistematis pada 2018, melalui pedoman internal DJP, yang menempatkan BDS sebagai agenda rutin pembinaan UMKM di seluruh unit vertikal.
Dalam kurun waktu hampir satu dekade, skala program BDS berkembang signifikan. Hingga beberapa tahun terakhir, Ditjen Pajak melaporkan bahwa lebih dari 200 ribu pelaku UMKM telah terlibat langsung dalam berbagai kegiatan BDS di seluruh Indonesia.
Angka ini mencerminkan jangkauan program yang luas, mengingat setiap kantor pelayanan pajak diwajibkan menyelenggarakan kegiatan pembinaan UMKM secara berkala. Pada tingkat operasional, satu kegiatan BDS, umumnya melibatkan puluhan UMKM, namun secara agregat membentuk basis pembinaan nasional yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Secara ekonomi, fokus pembinaan UMKM melalui BDS memiliki justifikasi yang kuat. UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional, dengan kontribusi sekitar 60 persen terhadap produk domestik bruto dan menyerap hampir seluruh tenaga kerja nasional.
Sementara di sisi lain, tingkat formalitas dan kepatuhan pajak segmen ini masih relatif rendah. Sebelum berbagai upaya pembinaan diperkuat, jumlah UMKM yang tercatat aktif sebagai pembayar pajak hanya berkisar satu, hingga dua juta unit usaha, jauh di bawah total populasi UMKM yang mencapai lebih dari 60 juta unit.
Kesenjangan inilah yang coba dijembatani melalui pendekatan program BDS sebagai bentuk pembinaan berkelanjutan supaya UMKM bukan hanya masif bertumbuh, tetapi juga naik kelas, dengan berbagai peningkatan kapasitas yang diberikan.
Baca juga: Purbaya membuka peluang tarif PPh final UMKM 0,5 persen jadi permanen
Pendekatan inklusif
Secara umum, pendekatan BDS yang dilakukan oleh Ditjen Pajak adalah desainnya yang berbasis kemitraan. Program ini tidak diposisikan sebagai kegiatan sepihak otoritas pajak, melainkan sebagai ruang kolaborasi lintas sektor.
Dalam pelaksanaannya, Ditjen Pajak menggandeng pemerintah daerah, kementerian teknis, perbankan, BUMN, perguruan tinggi, serta platform digital untuk membentuk ekosistem pendukung UMKM. Melalui kemitraan tersebut, pembinaan tidak berhenti pada aspek perpajakan, tetapi meluas ke manajemen usaha, pemasaran, pembiayaan, hingga digitalisasi bisnis.
Pendekatan inklusif ini berdampak langsung pada kualitas data dan relasi fiskal, dan dampak tersebut dapat ditelusuri melalui sejumlah indikator statistik yang tersedia. Hingga akhir dekade 2010-an, jumlah UMKM nasional diperkirakan mencapai lebih dari 60 juta unit usaha, namun hanya sekitar 1,5 juta yang tercatat aktif sebagai wajib pajak.
Kesenjangan data yang sangat lebar ini menjadi latar belakang utama desain BDS sebagai instrumen perluasan basis data melalui pembinaan. Melalui kegiatan BDS yang secara agregat telah menjangkau lebih dari 200 ribu UMKM sejak diperkenalkan, Ditjen Pajak memperoleh akses langsung terhadap identitas usaha, karakteristik kegiatan ekonomi, serta kesiapan administratif pelaku usaha yang sebelumnya berada di luar radar formal perpajakan.
Berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa kepatuhan pajak UMKM sangat dipengaruhi oleh pemahaman, keadilan, dan kepercayaan. Studi Sri Wahyuni, dalam JAD: Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan Dewantara menegaskan bahwa pemahaman atas peraturan perpajakan dan persepsi keadilan sistem pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan sukarela UMKM.
Temuan ini diperkuat oleh penelitian Syamsuri Rahim dkk, dalam Jurnal Ekonomi Bisnis, Manajemen, dan Akuntansi (JEBMA) yang menekankan peran moral pajak dan kepercayaan terhadap negara sebagai faktor kunci kepatuhan, terutama pada usaha kecil yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pelayanan dan pembinaan dari otoritas pajak.
Sejalan dengan itu, penelitian Eka Puspita Handayani dkk, dalam Jurnal Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi menunjukkan bahwa sosialisasi dan edukasi pajak yang berkelanjutan, disertai peningkatan kepercayaan kepada otoritas pajak, secara simultan meningkatkan kepatuhan UMKM. Sementara itu riset Iyan Suryanto dan Rizki Noor Abrilia Fitri, dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis menegaskan pentingnya pemahaman dan kesadaran perpajakan.
Secara keseluruhan, temuan-temuan tersebut konsisten dengan rekomendasi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengenai pendekatan berbasis layanan dan pembinaan administratif, yang menjadi landasan konseptual bagi program BDS Ditjen Pajak sebagai instrumen kemitraan fiskal inklusif.
Kepatuhan sukarela
Tren peningkatan kontribusi pajak UMKM dapat dibaca sebagai proses gradual yang berjalan seiring perubahan pendekatan kebijakan. Pada akhir dekade 2010-an, kontribusi UMKM terhadap penerimaan pajak penghasilan yang dibayar sendiri memang masih berada di kisaran dua persen, mencerminkan dominasi sektor informal, keterbatasan pencatatan usaha, serta rendahnya kepatuhan sukarela.
Sejak penerapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final UMKM dan diperkuat dengan pendekatan pembinaan melalui BDS, terjadi pergeseran pola. Basis wajib pajak UMKM yang terdaftar dan aktif mulai meningkat, tercermin dari bertambahnya jumlah pelaku usaha yang memiliki NPWP, melaporkan SPT, serta melakukan pembayaran pajak secara rutin, meskipun dengan nilai nominal yang relatif kecil per wajib pajak.
Baca juga: DJP ingatkan UMKM tidak akali bisnis demi insentif pajak
Memasuki awal dekade 2020-an, tren ini semakin menguat seiring integrasi BDS dengan program literasi keuangan, digitalisasi administrasi, dan pemanfaatan data lintas instansi.
Kontribusi pajak UMKM terhadap penerimaan PPh secara bertahap bergerak naik, tidak lagi stagnan di bawah dua persen, tetapi menunjukkan kecenderungan meningkat, sejalan dengan membaiknya kualitas kepatuhan dan basis data.
Peningkatan tersebut lebih bersifat struktural daripada lonjakan jangka pendek, karena ditopang oleh perluasan basis pajak, bukan sekadar kenaikan tarif. Dalam kerangka ini, BDS berperan sebagai katalis transformasi, mengubah UMKM dari objek kebijakan menjadi mitra fiskal yang secara bertahap memperkuat penerimaan negara sekaligus menjaga keberlanjutan usaha mereka.
Dengan demikian, BDS berperan mengubah kondisi tersebut secara bertahap, dengan meningkatkan kesiapan administratif UMKM. Pembinaan pembukuan sederhana, pemahaman tarif pajak final UMKM, serta literasi sistem perpajakan digital membuat pelaku usaha lebih siap masuk ke dalam sistem formal.
Dalam konteks implementasi Coretax, BDS juga berfungsi sebagai ruang transisi agar digitalisasi administrasi perpajakan tidak menciptakan eksklusi baru bagi UMKM yang belum siap secara teknologi.
Sejumlah negara berkembang telah menunjukkan bahwa pendekatan pembinaan berbasis layanan dan kemitraan dengan pelaku usaha kecil mampu meningkatkan kepatuhan sukarela secara berkelanjutan.
Brasil sering dijadikan rujukan melalui program "Simples Nacional", yang tidak hanya menyederhanakan pajak UMKM, tetapi juga diiringi pendampingan administratif dan integrasi layanan. Kajian kebijakan menunjukkan bahwa, meskipun kontribusi fiskal awal relatif kecil, basis wajib pajak formal tumbuh pesat dan dalam jangka menengah memperkuat stabilitas penerimaan negara, terutama di tingkat subnasional.
Contoh lainnya adalah Afrika Selatan, yang melalui "Small Business Tax Regime" dan pendekatan edukatif dari "South African Revenue Service" menekankan layanan, asistensi kepatuhan, dan komunikasi yang membangun kepercayaan. Di India, reformasi pajak pascapenerapan "Goods and Services Tax" disertai program literasi, "handholding", dan fasilitasi kepatuhan bagi usaha kecil, yang secara bertahap memperluas basis pajak, meskipun penerimaan awal tidak langsung melonjak.
Sementara itu, Rwanda dan Ghana kerap dikutip dalam "policy brief" Bank Dunia dan OECD sebagai contoh negara berpendapatan menengah bawah yang berhasil meningkatkan kepatuhan UMKM melalui kombinasi edukasi, simplifikasi administrasi, dan pendekatan layanan.
Pengalaman negara-negara tersebut memperkuat argumen bahwa pembinaan berbasis layanan memang tidak menghasilkan dampak fiskal instan, tetapi memberikan efek kumulatif yang signifikan terhadap kepatuhan, basis pajak, dan stabilitas penerimaan jangka panjang.
Baca juga: Komisi XI DPR dukung penundaan pajak marketplace agar tak bebani UMKM
Perluasan basis pajak
Dalam perspektif jangka menengah dan panjang, kontribusi BDS yang paling nyata adalah pada perluasan basis pajak dan basis data. UMKM yang naik kelas, memperluas omzet, dan bertransformasi menjadi usaha formal akan secara alami masuk ke dalam radar administrasi perpajakan.
Proses ini menciptakan sumber penerimaan baru yang lebih berkelanjutan dibandingkan intensifikasi pada basis pajak yang sempit. secara empiris dan terukur, dan selanjutnya ada beberapa persentase dan nilai kuantitatif yang pernah dirilis secara resmi dalam Laporan Tahunan Ditjen Pajak, Nota Keuangan, serta kajian Bank Dunia-OECD yang sering dijadikan rujukan kebijakan.
Pertama, dari sisi perluasan basis pajak, Ditjen Pajak mencatat bahwa jumlah wajib pajak UMKM terdaftar meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir. Hingga awal 2020-an, lebih dari 12 juta wajib pajak orang pribadi berstatus pelaku UMKM telah memiliki NPWP.
Hal yang lebih penting adalah kualitasnya: rasio kepatuhan formal UMKM (pelaporan SPT) yang pada pertengahan 2010-an masih berada di kisaran 50–55 persen, meningkat bertahap menjadi di atas 70 persen, setelah penguatan edukasi, asistensi, dan pembinaan, termasuk melalui BDS.
Kenaikan 15–20 poin persentase ini secara konsisten disebut dalam laporan kinerja DJP sebagai hasil pendekatan berbasis layanan.
Kedua, dari sisi kontribusi penerimaan, data DJP menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap PPh yang dibayar sendiri memang masih relatif kecil, namun mengalami tren naik. Jika pada akhir 2010-an kontribusinya masih sekitar 2 persen, maka pada awal dekade 2020-an kontribusi tersebut bergerak ke kisaran 2,5–3 persen dari total PPh nonmigas yang dibayar sendiri.
Secara nominal, penerimaan dari skema PPh UMKM pernah tercatat mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, meskipun sempat menurun sementara, saat pandemi, akibat insentif PPh final ditanggung pemerintah. Hal yang dicatat DJP, setelah insentif berakhir, basis WP yang bertahan dan tetap patuh, justru lebih luas dibandingkan sebelum pandemi, menandakan efek struktural pembinaan.
Ketiga, dari perspektif kualitas basis data, DJP melaporkan bahwa lebih dari 60 persen UMKM binaan yang mengikuti program pembinaan dan pendampingan, mulai memiliki pencatatan usaha sederhana dan terhubung dengan sistem administrasi perpajakan digital. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan UMKM non-binaan, yang tingkat pencatatan keuangannya masih berada di bawah 40 persen, menurut kompilasi data Kemenkop UKM dan DJP.
Perbaikan kualitas data inilah yang memungkinkan DJP melakukan pemetaan potensi pajak secara lebih akurat dan menjadi fondasi perluasan basis pajak jangka menengah.
Dengan demikian, meskipun BDS tidak langsung melonjakkan penerimaan dalam jangka pendek, data empiris menunjukkan kenaikan nyata pada rasio kepatuhan 15–20 persen, kontribusi PPh UMKM yang bergerak dari sekitar 2 persen menuju 3 persen, serta peningkatan signifikan kualitas basis data UMKM.
Inilah yang memperkuat argumen bahwa BDS menciptakan sumber penerimaan baru yang lebih berkelanjutan dibandingkan intensifikasi pada basis pajak yang sempit dan stagnan, dan tentunya mendukung terhadap optimalisasi UMKM untuk terus maju dan naik kelas sebagai sektor yang berpengaruh sigifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Baca juga: Afirmasi kebijakan penghapusan pajak usaha kecil bagi UMKM
*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Ditjen Pajak Kemenkeu





