Ketakutan Guru Mendidik di Zaman Baru

kumparan.com
6 jam lalu
Cover Berita

Ketika generasi tua masih merindu “guru galak” sebagai simbol kedisiplinan, realitas kini menegaskan bahwa era pendidikan telah berubah radikal. Tantangan terbesar yang dihadapi guru bukan sekadar menyiapkan rencana pembelajaran atau mengelola kelas yang dinamis, tetapi juga menghadapi kecemasan hukum yang berpotensi melemahkan fungsi utama mereka sebagai pendidik karakter.

Beberapa tahun belakangan, terjadi sorotan tajam terhadap kasus-kasus yang melibatkan guru yang berhadapan dengan hukum akibat tindakan fisik terhadap siswa. Misalnya, guru honorer di Konawe Selatan sempat menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemukulan terhadap siswa, bahkan berujung pada penahanan dan proses pidana yang panjang meskipun akhirnya penahanan ditangguhkan dan banyak pihak melihat adanya kejanggalan dalam prosesnya.

Fenomena ini bukan sekadar kasus individual—ia mencerminkan kesenjangan antara praktik pendidikan tradisional dan kerangka hukum modern yang kini menempatkan perlindungan anak sebagai prioritas utama. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas mengatur bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk yang terjadi di sekolah, dapat dipidanakan dengan ancaman hukuman yang signifikan.

Di sisi lain, ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan guru tidak dapat dipidana saat menjalankan tugas pendisiplinan terhadap siswa dalam batas kewajaran profesinya. Realitas ini memperlihatkan dua hal sekaligus: pertama, hukum menghormati fungsi pendisiplinan guru; kedua, masih ada ambiguitas parameter yang jelas kapan tindakan guru berubah dari disiplin menjadi kekerasan yang melanggar hukum.

Ambiguitas semacam ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga ketakutan nyata di kalangan guru. Banyak pendidik menjadi ragu untuk menegakkan tata tertib kelas atau memberikan sanksi yang tegas ketika perilaku siswa menyimpang, karena khawatir tindakan itu akan ditafsirkan sebagai kekerasan fisik yang dapat berujung pada proses pidana. Situasi ini pernah diungkap oleh seorang narasumber yang menyatakan bahwa fenomena “reaksi orang tua yang langsung membawa persoalan ke ranah hukum” membuat guru enggan menjalankan fungsi pendisiplinannya secara tegas.

Jika dibiarkan, imbasnya bukan hanya pada guru sebagai individu, tetapi pada kualitas pendidikan karakter di sekolah. Disiplin bukanlah sekadar aturan yang dipatuhi karena takut sanksi, tetapi nilai yang terinternalisasi dalam diri siswa. Ketidaktegasan guru dalam memandu hal ini berpotensi memperlemah proses pembentukan karakter yang menjadi akar dari tanggung jawab pribadi, rasa hormat, dan etika sosial.

Namun, bukan berarti kita boleh kembali ke pendekatan fisik sebagai metode disiplin. Data kesehatan global telah menggambarkan bahwa kekerasan fisik terhadap anak membawa bahaya signifikan bagi kesehatan fisik dan mental mereka, termasuk gangguan perkembangan psikososial. Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga etika pendidikan.

Yang dibutuhkan saat ini adalah paradigma disiplin positif yang jelas, terukur, dan dipahami bersama oleh semua pemangku kepentingan: guru, orang tua, lembaga pendidikan, dan aparat penegak hukum. Konsep disiplin positif menekankan penghormatan, komunikasi yang konstruktif, dan konsekuensi logis yang mendidik—bukan sekadar hukuman fisik atau intimidasi.

Kerangka hukum juga perlu diperjelas dengan parameter yang realistis dan kontekstual, sehingga guru tidak hidup dalam ketidakpastian akan risiko pidana setiap kali menegur atau membimbing siswa yang melanggar aturan. Regulasi semacam itu bisa berupa pedoman operasional yang rinci, pelatihan berkelanjutan tentang penyelesaian konflik tanpa kekerasan, serta sistem mediasi yang efektif antara sekolah dan orang tua.

Pendidikan bukanlah arena perang. Ketika guru takut menjalankan fungsi profesionalnya karena ancaman hukum yang kabur, maka yang dirugikan bukan hanya pendidik itu sendiri, tetapi seluruh proses pembelajaran dan pembentukan karakter generasi muda. Kita perlu bersama-sama membangun ekosistem pendidikan yang adil, aman, dan menghormati hak serta tanggung jawab semua pihak-tanpa mengorbankan perlindungan anak maupun profesionalisme guru.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Khofifah pastikan Jatim siap sukseskan swasembada gula nasional
• 13 jam laluantaranews.com
thumb
Khofifah Tetapkan UMP Jatim 2026 Naik Jadi Rp2,4 Juta
• 19 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
PLN UID Jawa Barat Siagakan 4.993 Personel Amankan Pasokan Listrik Saat Libur Nataru
• 5 jam lalubisnis.com
thumb
Gubernur Tetapkan UMP dan UMK di Jawa Tengah 2026, Kota Semarang Tertinggi, Banjarnegara Terendah
• 2 jam lalutvonenews.com
thumb
Wisata Murah Jadi Daya Tarik, Yogyakarta Masih Favorit Wisatawan di Libur Akhir Tahun
• 20 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.