Jepang dan lima negara Asia Tengah pada 20 Desember menggelar KTT pertama mereka di Tokyo dan mengumumkan serangkaian inisiatif kerja sama. Para pengamat menilai langkah Jepang ini bertujuan untuk memperdalam pengaruhnya di kawasan Asia Tengah, mengurangi ketergantungan pada Tiongkok dalam hal mineral strategis, sekaligus membangun jalur logistik strategis yang menghindari Rusia.
EtIndonesia. Pada 19–20 Desember, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi memimpin KTT Perdana Jepang–Lima Negara Asia Tengah di Tokyo bersama para pemimpin Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Dalam pertemuan tersebut, mereka bersama-sama mengumumkan rencana kerja sama ekonomi lima tahun.
Kantor Perdana Menteri Jepang menyatakan bahwa rencana tersebut mencakup tiga bidang prioritas kerja sama, yakni pembangunan hijau dan ketahanan, konektivitas, serta pengembangan sumber daya manusia.
Kerja sama di bidang hijau dan ketahanan meliputi transisi energi, pengurangan risiko bencana, penanggulangan perubahan iklim, serta penguatan rantai pasokan mineral strategis. Sementara itu, kerja sama konektivitas mencakup pengembangan lebih lanjut Rute Transportasi Internasional Trans-Kaspia, serta peluncuran Kemitraan Kecerdasan Buatan Jepang–Asia Tengah.
“Langkah ini dapat dipandang sebagai respons aktif terhadap persaingan geopolitik AS–Tiongkok, bukan sekadar investasi ekonomi biasa. Salah satu tujuannya adalah memecahkan ketergantungan pada mineral strategis Tiongkok, secara langsung menanggapi pembatasan ekspor logam tanah jarang oleh Tiongkok,” kata Wakil Peneliti Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan, Hsieh Pei-hsueh.
Ia menjelaskan bahwa Partai Komunis Tiongkok kerap menggunakan logam tanah jarang sebagai alat tekanan terhadap negara-negara Barat, dan Jepang termasuk yang terdampak. Sementara itu, lima negara Asia Tengah kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi geopolitik yang strategis: Kazakhstan merupakan produsen uranium terbesar di dunia, Uzbekistan memiliki cadangan emas yang besar, Turkmenistan kaya akan gas alam, sedangkan Kirgizstan dan Tajikistan memiliki banyak cadangan mineral, termasuk logam langka.
Ia juga menambahkan bahwa perang Rusia–Ukraina membuat Jepang tidak lagi dapat bergantung pada jalur logistik tradisional di utara. Oleh karena itu, jalur yang melewati Asia Tengah langsung menuju Eropa menjadi kebutuhan yang mendesak.
Hsieh Pei-hsueh mengatakan: “Ini juga bertujuan membangun koridor transportasi strategis yang menghindari Rusia, seperti Rute Transportasi Internasional Trans-Kaspia, yang merupakan simpul geografis dengan nilai strategis sangat besar.”
Menurut pernyataan resmi, selama KTT ini lebih dari 150 dokumen telah ditandatangani atau diajukan, mencakup kerja sama di berbagai bidang. Jepang dan lima negara Asia Tengah sepakat untuk melaksanakan proyek bisnis senilai 3 triliun yen (sekitar 19 miliar dolar AS) dalam lima tahun ke depan.
Hsieh Pei-hsueh menambahkan: “Tentu saja, inisiatif Jepang ini berbeda dari ‘Belt and Road’ PKT yang menekankan pembiayaan pinjaman infrastruktur berskala besar. Model Jepang lebih menekankan kerja sama antarkorporasi, alih teknologi, serta kemitraan yang setara dan saling percaya. Ini jelas berbeda dari model Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang didukung strategi negara, pembangunan infrastruktur besar-besaran, dan pinjaman dalam jumlah besar.”
Selama bertahun-tahun, PKT telah mengucurkan dana besar ke luar negeri melalui proyek yang disebut “Belt and Road” untuk melakukan ekspansi. Namun pada akhirnya, banyak masalah muncul, meninggalkan proyek-proyek bermutu rendah, proyek mangkrak, dan jebakan utang di berbagai negara. Kini, dengan ekonomi Beijing yang melemah dan kesulitan internal yang meningkat, skala investasi luar negerinya pun terus menyusut.
“Jepang memanfaatkan momentum ini dan kekuatan ekonominya untuk membangun pengaruh di negara-negara Asia Tengah. Pada saat Tiongkok sedang melemah, Jepang dapat merebut kepemimpinan dan kepentingan strategis geopolitik di Asia Tengah. Oleh karena itu, investasi dan keterlibatan Jepang ini jelas merupakan hasil perhitungan yang matang,” ujar peneliti Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan, Shen Ming-shih.
KTT ini menandai peningkatan besar sejak Jepang membangun mekanisme dialog dengan lima negara Asia Tengah pada 2004, dari tingkat menteri luar negeri menjadi kerja sama tingkat kepala negara. Peningkatan ini diyakini akan memperkuat pengaruh Jepang di Asia Tengah, sekaligus membantu negara-negara tersebut mengurangi ketergantungan pada Tiongkok dan Rusia.
Shen Ming-shih menambahkan: “Setidaknya dalam keseimbangan geopolitik, negara-negara Asia Tengah tidak lagi harus bergantung hanya pada Rusia atau hanya pada Tiongkok, tetapi juga dapat mengandalkan negara-negara aliansi demokratis untuk membantu pembangunan infrastruktur dan bahkan pengembangan ekonomi.”
Dalam pertemuan tersebut, Sanae Takaichi secara khusus menekankan pentingnya Asia Tengah, dengan menyatakan bahwa “seiring perubahan situasi regional dan internasional di Asia Tengah dan sekitarnya, pengaruh Asia Tengah di panggung internasional terus meningkat.” (Hui)



