PERNYATAAN Jaksa Penuntut Umum (JPU) Roy Riady terkait kasus dugaan korupsi Chromebook yang menyebut rendahnya IQ anak Indonesia di angka 78 sebagai dampak kegagalan kebijakan digitalisasi, sungguh menyentak kesadaran publik.
Pernyataan ini bukan sekadar strategi hukum untuk memberatkan dakwaan terhadap mantan menteri Nadiem Makarim, melainkan lonceng kematian bagi akal sehat dalam memahami hakikat kecerdasan manusia.
Kita sedang menyaksikan proses reifikasi—kecenderungan picik untuk membendakan konsep abstrak seperti intelegensi menjadi angka mati yang kaku.
Menghakimi potensi intelektual anak-anak kita di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) hanya karena gawai tidak bisa digunakan adalah bentuk reduksionisme yang mengabaikan kompleksitas kehidupan.
Martabat bangsa dan mitos angkaSangat gegabah jika kita menelan mentah-mentah angka "78" sebagai vonis mati bagi kecerdasan nasional. Secara psikometri kritis, skor tersebut seringkali bersumber dari data yang sangat bermasalah.
Richard Lynn dan Tatu Vanhanen (2002) dalam bukunya "IQ and the Wealth of Nations" telah lama dikritik oleh ilmuwan dunia karena metodologi yang bias dan pengambilan sampel yang tidak representatif. Mereka sering mengabaikan faktor lingkungan makro yang dinamis.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=iq anak, kasus chromebook&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yNC8wNzE2MzA4MS9tZW5kZWtvbnN0cnVrc2ktc3RpZ21hLWJhbmdzYS1pcS03OA==&q=Mendekonstruksi Stigma Bangsa IQ 78§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Baca juga: Republik Alergi Diskusi
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Stella Christie dalam laporan Kompas.com (27/02/2025) dengan tegas memperingatkan agar kita tidak terjebak pada angka yang menyesatkan ini. Fokus berlebihan pada IQ justru akan membunuh growth mindset anak-anak kita.
Klaim jaksa bahwa kegagalan Chromebook di pelosok berdampak rendahnya IQ adalah lompatan logika yang absurd. Kecerdasan adalah orkestra antara potensi genetik dan stimulasi lingkungan yang berkelanjutan.
Jika kita bicara tentang penurunan kapasitas kognitif, mata kita seharusnya tertuju pada perut anak-anak, bukan pada layar gawai.
Data Kementerian Kesehatan (2024) melalui "SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Menjadi 19,8 persen" mengingatkan bahwa hampir seperlima anak Indonesia masih mengalami malnutrisi kronis.
Kekurangan gizi pada masa pertumbuhan awal inilah yang secara permanen merusak arsitektur otak, kerusakan biologis yang mustahil diperbaiki hanya dengan membagikan laptop di ruang kelas yang atapnya bocor.
Dalam kacamata psikologi kebijakan publik, kesalahan fatal ini merupakan gejala dari "Tirani Metrik" yang dikupas tuntas oleh Jerry Muller (2018) dalam karyanya The Tyranny of Metrics.
Birokrasi kita terobsesi pada angka-angka sederhana untuk menjelaskan masalah sistemik yang kusut masai.
James Flynn (1987) dalam artikel ilmiah The mean IQ of Americans: Massive gains 1932 to 1978 membuktikan bahwa IQ suatu populasi akan naik drastis seiring perbaikan gizi dan kesehatan lingkungan.
Maka, menjadikan Chromebook sebagai variabel tunggal penyebab rendahnya skor IQ nasional adalah bentuk pengabaian terhadap martabat kemanusiaan anak-anak di daerah 3T yang seringkali memiliki kecerdasan ekologis luar biasa yang tak tersentuh oleh tes standar buatan Barat.




