Guncangan ekonomi di Tiongkok telah memicu ketidakstabilan sosial. Tahun ini, jumlah aksi perlawanan di wilayah pedesaan meningkat 70% dibandingkan total sepanjang tahun lalu. Partai Komunis Tiongkok (PKT) bahkan secara tidak biasa menekankan perlunya mencegah kembalinya buruh migran ke kampung halaman dalam skala besar, yang menunjukkan betapa seriusnya situasi saat ini.
EtIndonesia. Pada pertengahan November lalu, pemerintah daerah Kabupaten Lingao di Provinsi Hainan dan Kabupaten Fuchuan di Guangxi masing-masing melakukan pembongkaran paksa terhadap kuil rakyat dan balai leluhur klan, yang memicu bentrokan fisik antara warga desa dan aparat pemerintah. Tak lama kemudian, di Kabupaten Xifeng, Provinsi Guizhou, kebijakan yang mewajibkan seluruh jenazah penduduk untuk dikremasi setelah meninggal dunia memicu dua aksi demonstrasi petani secara berturut-turut.
Harian The Guardian Inggris pada 19 Desember melaporkan bahwa melemahnya ekonomi Tiongkok telah meningkatkan ketegangan sosial, dan protes di wilayah pedesaan akibat perampasan tanah serta tekanan keuangan pemerintah daerah mengalami peningkatan yang signifikan.
Mengutip data dari China Dissent Monitor, The Guardian menyebutkan bahwa hingga 11 bulan pertama tahun ini telah tercatat 661 kasus perlawanan di pedesaan, meningkat sekitar 70% dibandingkan total sepanjang tahun lalu.
“Kembalinya Xi Jinping pada fundamentalisme Mao Zedong dan serangkaian kebijakan yang mundur telah mendorong seluruh masyarakat ke tingkat keputusasaan. Bukan hanya buruh migran yang menganggur, lulusan universitas yang menganggur begitu lulus, atau veteran yang setelah demobilisasi sama saja dengan menganggur, tetapi juga kaum intelektual independen dan pengusaha swasta—semuanya berada dalam kondisi tanpa harapan dan keputusasaan yang mendalam,” kata pakar hukum yang bermukim di Australia, Yuan Hongbing.
Yuan Hongbing menegaskan bahwa kebijakan politik dan ekonomi PKT telah menyebabkan kemerosotan besar ekonomi Tiongkok yang bersifat tidak dapat dipulihkan, sehingga kemarahan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat sipil terus meningkat. Dari kota hingga desa, berbagai bentuk perlawanan rakyat bermunculan, yang menjadi salah satu ciri utama dari kecenderungan “akhir rezim” tirani PKT.
Penulis Tionghoa-Kanada Sheng Xue menyatakan bahwa selama lebih dari 30 tahun terakhir, perlawanan rakyat di Tiongkok sebenarnya tidak pernah berhenti.
“Dulu sudah ada puluhan ribu, bahkan ratusan ribu insiden aksi massa. Namun kini sifatnya telah berubah. Dari gelombang PHK pada 1990-an, objek perlawanan kini bergeser—dari pejabat atau pemerintah daerah tertentu, menjadi langsung menentang sistem PKT itu sendiri, bahkan secara langsung mengarah ke puncak kekuasaan,” ujar Sheng Xue.
Menurut Sheng Xue, seiring PKT memperlakukan warga biasa sebagai musuh untuk diawasi dan dikendalikan, para peserta perlawanan tidak lagi terfokus pada tuntutan konkret, melainkan semakin terbuka menyangkal legitimasi kekuasaan PKT.
Aksi perlawanan di pedesaan kerap berkaitan dengan persoalan tanah. Misalnya pada September lalu, Desa Tongxing di Provinsi Hunan melakukan penolakan terhadap pengambilalihan lahan pertanian.
Seorang pengguna Douyin berkomentar: “Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk, mereka justru merampas lahan pertanian, tanpa menyisakan ruang hidup bagi warga desa.”
The Guardian juga menyebutkan bahwa total utang pemerintah daerah Tiongkok telah mencapai 44 triliun yuan. Meski pasar properti sedang lesu, tanah masih memiliki nilai sebagai jaminan pinjaman, sehingga sering dijadikan sumber pendanaan oleh pemerintah daerah yang mengalami tekanan fiskal. Namun, kompensasi yang layak bagi warga desa sering kali tidak diberikan.
Yuan Hongbing mengatakan: “Kemerosotan besar ekonomi Tiongkok paling keras menghantam dua kelompok: sekitar 250 juta buruh migran, serta para lulusan universitas yang langsung menganggur setelah lulus.”
Ia menjelaskan bahwa selama dua dekade terakhir, buruh migran hampir semuanya bekerja di kota. Ketika mereka kembali ke desa, tanah yang dulu mereka miliki sering kali sudah tidak ada lagi. Mereka kehilangan penopang terakhir untuk bertahan hidup di pedesaan, dan menjadi kelompok paling tidak stabil dalam masyarakat.
Sebenarnya, PKT sangat khawatir akan terjadinya gelombang besar buruh migran yang pulang kampung. Dalam rapat Kementerian Pertanian PKT pada 16 November, secara khusus ditekankan perlunya mencegah terbentuknya “kembalinya buruh migran dalam skala besar dan tertahannya mereka di desa”.
“Upaya PKT yang ketat mencegah buruh migran pulang kampung sendiri merupakan sinyal yang sangat berbahaya. Ini berarti bahwa jika sejumlah besar pengangguran kembali ke desa, krisis ekonomi perkotaan akan terekspos secara terkonsentrasi. Tekanan sosial di pedesaan juga akan melonjak drastis,” ujar Sheng Xue.
“Pedesaan justru merupakan wilayah dengan pengawasan yang relatif lemah, serta ikatan kekerabatan dan geografis yang kuat. Dalam sejarah Tiongkok, banyak pemberontakan rakyat berawal dari hilangnya mata pencaharian oleh sejumlah besar penduduk muda yang tidak memiliki jalan kembali,” katanya.
Yuan Hongbing menambahkan bahwa sistem pemerintahan ala intelijen yang diterapkan PKT terutama berfokus pada kota-kota besar dan menengah, sementara kemampuan kontrol PKT di wilayah pedesaan sangat lemah.
Ditambah lagi, lembaga partai dan pemerintahan di tingkat kabupaten dan di bawahnya kini secara luas menunggak pembayaran gaji pegawai negeri. Akibatnya, banyak aparat bersikap pasif dan lalai dalam menjalankan tugas, yang pada tingkat tertentu menciptakan “zona kosong” dalam kekuasaan PKT. Inilah salah satu alasan mendasar mengapa PKT sangat takut buruh migran kembali dan menetap di pedesaan. (Hui)




