PPPK dan Harapan yang Tertunda bagi Guru Honorer

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Sering kita mendengar keluhan guru-gurun honorer di indonesia yang selama bertahun-tahun mengabdi di dunia pendidikan tanpa diiringi kesejahteraan yang layak. Keluhan yang paling umum berkaitan dengan upah yang sangat rendah, bahkan kerap berada di bawah upah minimum regional, serta pembayaran gaji yang tidak menentu.

Selain itu, guru honorer umumnya tidak memperoleh jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, maupun pensiun, sehingga masa depan mereka penuh ketidakpastian. Status kepegawaian yang tidak jelas membuat mereka rentan diberhentikan sewaktu-waktu, meskipun beban kerja yang ditanggung hampir sama dengan guru ASN, termasuk tugas administratif dan tanggung jawab pembelajaran.

Selama bertahun-tahun itu juga, jutaan guru honorer mengabdi dengan dedikasi tinggi, sehingga tulang punggung sistem pendidikan Indonesia, namun sering kali harus berjuang dengan upah keterbatasan itu semua. Kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) merupakan langkah strategis yang tidak hanya menyangkut aspek administratif kepegawaian, tetapi juga berkaitan erat dengan upaya memperkuat fungsi pendidikan dalam demokrasi.

Kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK telah menuai beragam respons dari masyarakat. Di satu sisi, banyak kalangan yang menyambut positif kebijakan ini sebagai wujud keadilan bagi para guru yang telah mengabdi puluhan tahun tanpa status yang jelas. Para guru honorer senior yang telah mengajar sejak era 1990-an merasa harapan mereka untuk mendapatkan pengakuan dan jaminan kesejahteraan akhirnya terwujud.

Namun di sisi lain, muncul pula kekhawatiran terkait proses seleksi yang dianggap belum sepenuhnya adil dan transparan. Beberapa guru honorer mengeluhkan adanya persyaratan administratif yang rumit dan sistem penilaian yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan pengalaman mengajar bertahun-tahun.

Ada pula yang mempertanyakan mengapa tidak semua guru honorer dapat langsung diangkat mengingat kontribusi mereka yang nyata di lapangan. Dengan status kepegawaian yang lebih baik, kualitas pengajaran akan meningkat. Mereka berharap guru yang lebih sejahtera akan lebih fokus dan termotivasi dalam mendidik anak-anak mereka.

Untuk melihat permasalahan ini, relevan jika menggunakan pemikiran Dewey. Dalam karya-karyanya, khususnya "Democracy and Education" (1916), Dewey menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya tentang mempersiapkan individu untuk masa depan, tetapi tentang membentuk warga negara yang mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan demokratis. Bagi Dewey, demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan dengan mekanisme pemilu, melainkan cara hidup yang ditandai oleh komunikasi terbuka, partisipasi kolektif, dan pemecahan masalah bersama.

Dalam konteks ini, sekolah harus menjadi komunitas kecil yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat, saling menghormati, kerja sama, dan pembelajaran melalui pengalaman. Dewey percaya bahwa pendidikan yang baik akan menghasilkan individu yang tidak hanya kompeten secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kemampuan untuk berkontribusi pada kemajuan masyarakat.

Dalam visi Dewey tentang pendidikan demokratis, guru memiliki peran vital yang tidak dapat digantikan. Guru bukan sekadar penyampai materi pelajaran, melainkan fasilitator pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, bereksperimen, dan terlibat dalam proses inquiry. Guru adalah model bagi praktik demokratis di dalam kelas, yang menciptakan ruang dialog, menghargai keberagaman perspektif, dan mendorong partisipasi aktif setiap siswa.

Namun, bagaimana mungkin seorang guru dapat menjalankan peran mulia ini jika ia sendiri tidak diperlakukan secara adil oleh sistem? Bagaimana guru dapat mengajarkan tentang keadilan sosial dan penghargaan terhadap martabat manusia jika mereka sendiri bekerja dalam kondisi tidak layak dengan upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar?

Di sinilah letak persoalan dalam sistem pendidikan Indonesia, selama ini, guru honorer bekerja dengan dedikasi tinggi namun dalam kondisi kondisi kerja yang tidak pasti. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan personal mereka, tetapi juga pada kualitas proses pembelajaran yang mereka berikan. Oleh karena itu kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK merupakan bentuk pengakuan negara terhadap peran vital guru dalam sistem pendidikan nasional. Melalui status PPPK, guru honorer mendapatkan kepastian hukum, jaminan kesejahteraan berupa gaji tetap dan tunjangan, serta perlindungan sosial seperti asuransi kesehatan dan pensiun.

Pengakuan ini bukan sekadar formalitas administratif, tapi juga menjadi representasi perubahan dalam memandang profesi guru. Dari perspektif Dewey, ketika negara memberikan pengakuan dan penghargaan yang layak kepada guru, negara sesungguhnya sedang menegaskan komitmennya terhadap pendidikan sebagai fondasi demokrasi.

Harapannya status PPPK memberikan stabilitas ekonomi dan psikologis bagi guru, dengan tidak lagi khawatir tentang kebutuhan dasar hidup, guru dapat fokus pada pengembangan kompetensi profesional mereka dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Mereka memiliki lebih banyak energi mental dan emosional untuk berinovasi dalam metode pengajaran, memahami kebutuhan individual siswa, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi praktik demokratis.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ngaku Salah, Insanul Fahmi Tidak Ceritakan Kondisi Rumah Tangga ke Inara Rusli
• 9 jam lalugenpi.co
thumb
Demo Kasus Pembunuhan, Massa Robohkan Pagar Mapolres Bulukumba | SAPA MALAM
• 22 jam lalukompas.tv
thumb
Mensos-Menkeu Bahas Usulan Kenaikan Jaminan Hidup Korban Bencana
• 22 jam laludetik.com
thumb
Korban Tewas Banjir Sumatera Kini 1.112 Orang, Anies Temukan Banjir Batu Besar di Sumbar
• 7 jam lalufajar.co.id
thumb
Kerusakan Ekologi Jadi Sorotan Utama dalam Perayaan Natal Gereja-Gereja Asal Sumut
• 19 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.