Pengamat: Tanpa Literasi Digital Ortu, Pembatasan Medsos Bisa Diakali Anak

mediaindonesia.com
2 jam lalu
Cover Berita

KEMENTERIAN Komunikasi dan Digital (Komdigi) sudah mengemukakan rencana pembatasan media sosial (medsos) untuk anak usia 13-16 tahun mulai Maret 2026, berdasarkan tingkat risiko platform. Pakar gender dan anak menilai pembatasan medsos anak dapat menjadi shock therapy awal, namun tidak efektif jika tidak melibatkan orangtua.

 

“Pembatasan media sosial berbasis usia dapat diposisikan sebagai shock therapy awal untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya perlindungan anak di ruang digital,” ujar Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany, Selasa (23/12).

 

Pembatasan medsos anak sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anakatau disebut juga PP Tunas. Negara lain, salah satunya Australia, juga telah memberlakukan aturan serupa.

 

Lebih lanjut, Yuliana menilai kebijakan tersebut dapat menjadi langkah awal perlindungan anak di ruang digital, asalkan diiringi penguatan literasi digital bagi orangtua dan sekolah. Tanpa penguatan literasi digital—terutama bagi orangtua—pembatasan itu dikhawatirkan berhenti pada tataran administratif.

 

“Anak-anak memiliki kemampuan adaptasi digital yang sangat cepat, termasuk mencari celah untuk mengakali batasan usia. Karena itu, pembatasan harus diimbangi dengan peningkatan literasi digital orangtua dan sekolah,” jelasnya.

 

Yulina menilai literasi digital memungkinkan orang tua melakukan pendampingan yang lebih efektif, sementara sekolah berperan membangun kemampuan berpikir kritis, etika digital, serta kesadaran anak terhadap berbagai risiko di ruang daring. Tanpa kesiapan tersebut, kebijakan pembatasan justru berpotensi menciptakan kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan.

 

Dalam konteks Indonesia, ia mengingatkan risiko meningkatnya akses tersembunyi apabila pembatasan diterapkan tanpa kesiapan ekosistem. Kondisi tersebut dapat membuat anak lebih rentan terhadap konten berbahaya, perundungan daring, eksploitasi data pribadi, hingga paparan ideologi ekstrem. “Jika anak mengakses media sosial secara diam-diam tanpa pendampingan, risikonya justru jauh lebih besar,” katanya.

 

Selain itu, pembatasan medsos juga berpotensi memperlebar kesenjangan digital dan sosial jika tidak dirancang secara inklusif. Anak dari keluarga dengan literasi digital tinggi dinilai masih dapat mengakses ruang digital secara aman, sementara anak dari keluarga rentan berisiko kehilangan akses terhadap ruang belajar dan ekspresi diri.

 

Karena itu, Yulina mendorong adanya intervensi afirmatif berupa edukasi publik yang merata, dukungan bagi sekolah, serta pengembangan strategi pembelajaran alternatif yang tidak sepenuhnya bergantung pada media digital. Pembelajaran berbasis praktik, proyek, dan eksperimen dinilai dapat menjadi pilihan untuk mencegah ketertinggalan akses.

 

Ia juga mengingatkan bahwa pendekatan pembatasan yang terlalu menekankan larangan berpotensi mendorong anak menggunakan akun palsu atau berpindah ke platform yang lebih tertutup dan minim pengawasan. “Pendekatan yang seimbang antara pembatasan, pendampingan, dan edukasi jauh lebih efektif dibandingkan larangan absolut,” tegasnya. (M-1)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Di Balik Citra Seram Mata Elang, Ada Dilema Nurani di Jalan Raya
• 7 jam lalukompas.com
thumb
Kebakaran Hebat di Pasar Pagi Pemalang, Sumber Api dari Kios Pakaian Sisi Selatan
• 9 jam lalurctiplus.com
thumb
Barantin Perketat Pengawasan di Bandara Soetta Jalang Nataru
• 21 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Diperiksa Kejagung Terkait Kasus Petral, Sudirman Said Buka Suara
• 20 jam laludetik.com
thumb
Sambut Moment Perayaan Natal, Peleton Cafe Toraja Gelar Christmas Dinner
• 13 jam laluharianfajar
Berhasil disimpan.