Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan pemerintah masih mengkaji rencana pemberian insentif kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan belum menerima proposal final terkait kebijakan tersebut dari kementerian teknis.
Hal itu disampaikan Purbaya usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto menyaksikan Penyerahan Uang Rp6,62 triliun Hasil Penyitaan Lahan dan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (24/12/2025).
Menanggapi pertanyaan soal kemungkinan insentif EV ke depan, Purbaya menegaskan pihaknya akan melihat lebih dahulu substansi kebijakan dan dampaknya.
“Saya akan lihat dulu seperti apa. Dan kita akan lihat juga dampak insentif sebelumnya seperti apa, ke penjualan mobil, ke industri, ke lapangan kerja,” ujar Purbaya, Rabu (24/12/2025).
Lebih lanjut, dia menambahkan hingga kini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menerima proposal akhir terkait insentif tersebut.
“Tapi saya belum dapat proposal akhir dari kementerian, paling tidak sampai sekarang,” katanya.
Baca Juga
- Purbaya Yakin Bisa Tekan Defisit di Bawah 3% meski Penerimaan Pajak Loyo
- Terima Setoran 'Pungutan Dosa' Rp6,62 Triliun dari Kejagung Cs, Purbaya Bocorkan Penggunaannya
- Purbaya & Tito Perketat Belanja Daerah 2026, Pangkas Perdin demi Program Prioritas
Terkait kondisi penjualan kendaraan yang melemah sepanjang 2025, Purbaya menjelaskan hal itu lebih dipengaruhi perlambatan ekonomi pada sebagian besar tahun berjalan.
“[Penjualan kendaraan listrik] 2025 menurun karena ekonomi yang melambat di 10 bulan pertama tahun ini. Baru beberapa bulan terakhir kelihatan agak pick up,” ujarnya.
Kendati demikian, Purbaya optimistis perekonomian nasional akan membaik ke depan seiring dorongan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi.
“Yang jelas ke depan ekonomi akan kita dorong ke pertumbuhan yang lebih cepat. Kalau kita dorong pertumbuhan ke arah 6 persen, harusnya penjualan mobil akan tumbuh, bukan negatif lagi, sudah positif tahun depan,” katanya.
Menurut Purbaya, tanda-tanda pemulihan ekonomi sudah mulai terlihat dalam beberapa bulan terakhir, meskipun terjadi relatif terlambat.
“Sekarang kan sudah nyundul ke arah positif, dari sebelumnya negatif. Itu karena perbaikan ekonomi beberapa bulan terakhir. Tapi kan masih terlalu telat perbaikannya. Saya yakin ke depan akan bagus,” ujarnya.
Dia menekankan kenaikan penjualan kendaraan ke depan lebih dipicu oleh membaiknya daya beli masyarakat, bukan semata karena insentif.
“Jadi bukan karena insentif, tapi karena daya beli membaik, karena ekonominya berjalan lebih bagus,” tegas Purbaya.
Saat ditanya apakah pertumbuhan ekonomi tetap akan optimistis meski tanpa insentif EV, Purbaya menyebut dampaknya kemungkinan hanya berupa pergeseran permintaan.
“Paling geser. Kalau menurut saya geser permintaannya ke mobil tradisional, tergantung kita seperti apa,” katanya.
Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya kajian menyeluruh sebelum pemerintah mengambil keputusan.
“Makanya saya pelajari dulu apa sih insentifnya, dan kira-kira proposalnya ke penjualan mobil seperti apa, penjualan motor seperti apa, dan ke lapangan kerja seperti apa. Kita akan lihat dulu,” pungkas Purbaya.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) memprediksi manfaat ekonomi senilai Rp544 triliun per tahun akan hilang usai pemerintah menghentikan insentif untuk kendaraan listrik pada 2026.
Chief Executive Officer (CEO) IESR Fabby Tumiwa menilai diakhirinya insentif kendaraan listrik berpotensi mendorong kenaikan harga mobil listrik di pasar domestik. Kenaikan tersebut dipicu oleh hilangnya insentif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% serta fasilitas pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik secara utuh atau completely built up (CBU).
IESR memperkirakan kenaikan harga akan menekan penjualan kendaraan listrik dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan industri pendukung, termasuk industri baterai dan komponen kendaraan listrik. Selain itu, kebijakan tersebut dinilai berisiko memperlambat laju adopsi kendaraan listrik yang berkontribusi menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan impor minyak.
"Elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi di sektor transportasi. Kontribusinya bisa mencapai 45–50% dari total penurunan emisi sektor transportasi," ujar Fabby dalam keterangannya, dikutip Senin (22/12/2025).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah tidak akan melanjutkan insentif kendaraan listrik pada 2026. Anggaran insentif tersebut direncanakan dialihkan untuk mendukung pengembangan program mobil nasional.
Insentif yang dihentikan mencakup fasilitas pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik secara utuh atau CBU yang sebelumnya diturunkan dari tarif normal sebesar 50% menjadi 0%.




