“Kejadian ini menunjukkan bahwa informasi dan analisis iklim memiliki peran strategis dalam mengurangi risiko, meningkatkan kesiapsiagaan, serta memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi bencana,” paparnya dalam kegiatan LRI TALK #3 bertema “Bersama Menjaga Sumatra: Kolaborasi Mitigasi, Penegakan Hukum, dan Pemulihan Ekosistem untuk Menghadapi Bencana Hidrometeorologi”, dikutip Kamis, 25 Desember 2025.
Dalam materi bertajuk Sains Iklim dalam Penanganan Bencana Hidrometeorologi, Putu mengawali paparannya dengan menyoroti kisah-kisah korban banjir dan longsor di Sumatra yang banyak terekam dalam pemberitaan dan jejak digital. Pada 25 November 2025, lebih dari 50 orang terjebak di tengah hutan selama dua hari dua malam akibat banjir dan longsor.
Salah satu potongan kesaksian warga dari wilayah hulu menyampaikan, “Hati-hatilah kalian sudah longsor ini dari atas. Tanah longsoran sudah tertahan kayu-kayu.” Artinya, kabar tentang adanya longsor yang tertahan di atas bukit sebenarnya telah beredar dari mulut ke mulut sebelum bencana membesar.
Ia menjelaskan, kondisi iklim saat kejadian tidak sepenuhnya berada pada situasi normal. “Ada kondisi iklim ekstrem saat banjir Sumatra,” ujarnya.
Menurut dia, variabilitas iklim di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai fenomena, antara lain monsun Asia dan Australia, El Niño–Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), siklon tropis, serta Madden–Julian Oscillation (MJO).
Berdasarkan analisis yang dipaparkannya, pada dasarian terakhir November 2025, IOD berada pada fase negatif lemah dan ENSO menunjukkan kondisi La Niña lemah yang cenderung menuju netral. Meski demikian, ia menilai faktor yang sangat berpengaruh adalah kemunculan bibit siklon tropis di Selat Malaka yang memicu hujan ekstrem dan memperparah banjir di Sumatra.
“BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) mencatat curah hujan di Sumatra bagian utara mencapai lebih dari 300 milimeter. Bahkan, pada 26 November terjadi hujan harian hingga sekitar 438 milimeter, yang setara dengan curah hujan satu bulan dalam satu hari,” jelasnya.
Kondisi tersebut memperbesar potensi banjir bandang dan longsor yang berdampak luas. Peran Sains Iklim Lebih lanjut, Putu menekankan bahwa sains iklim berperan penting dalam seluruh siklus pengurangan risiko bencana, mulai dari prabencana, saat bencana, hingga pascabencana. Pada fase prabencana, analisis data historis dan indeks ekstrem dapat digunakan untuk memetakan zona rawan dan meningkatkan kesiapsiagaan.
Saat bencana, informasi iklim mendukung pengembangan impact-based forecasting agar respons darurat dapat dilakukan secara cepat dan efisien. Sementara pada fase pascabencana, proyeksi iklim jangka panjang dibutuhkan untuk mendukung pemulihan, rekonstruksi, dan adaptasi masyarakat.
“Sistem peringatan memberi kita waktu untuk bersiap, dan infrastruktur adaptif memberi kita kapasitas untuk bertahan,” tutupnya.
Baca Juga :
Target 2026, Kemendiktisaintek Arahkan Riset Kampus untuk Tangani Krisis LingkunganCek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/4890948/original/095825900_1720887428-Timnas_Indonesia_-_Ilustrasi_Logo_Timnas_Indonesia_dan_Timnas_Day_copy.jpg)


