Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi mengkritik implementasi kenaikan upah minimum 2026 yang diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025.
Meski mengapresiasi perubahan mekanisme penetapan upah minimum yang tidak lagi seragam secara nasional, KSPN menilai pelaksanaannya justru memperlebar disparitas upah antardaerah.
Ristadi mengatakan, pemerintah patut diapresiasi karena berupaya mencegah kesenjangan upah minimum dengan tidak menetapkan persentase kenaikan yang sama di seluruh Indonesia.
Namun demikian, ia menegaskan kebijakan tersebut masih menyisakan persoalan. Sebab, berdasarkan data kenaikan upah minimum dari berbagai daerah, KSPN menilai prediksi awal mereka terbukti. Implementasi PP 49/2025 dinilai tidak menjawab persoalan utama ketimpangan upah.
“Implementasi PP 49/2025 tidak menjawab persoalan disparitas upah antardaerah, bahkan membuat ketimpangan bertambah lebar,” kata Ristadi melalui keterangan resminya, Kamis (25/12/2025).
Dia pun mencontohkan perbedaan kenaikan upah yang mencolok antara daerah dengan upah minimum tinggi dan rendah. Misalnya, Kota Bekasi naiknya Rp300.000 sehingga UMK 2026 menjadi Rp5,99 juta.
Baca Juga
- UMP 2026 Naik Lebih Tinggi, Namun Upah Riil Buruh Masih Tertekan
- Kontroversi UMP 2026 Jateng, Apindo Siap Gugat ke PTUN
- Daftar UMK Jawa Tengah 2026, Kota Semarang Tertinggi
“Sementara Kota Banjar naik sekitar Rp150.000 sehingga UMK 2026-nya menjadi Rp2,36 juta,” ujarnya.
Menurut KSPN, kondisi tersebut menunjukkan pola yang tidak adil karena daerah dengan upah minimum tinggi justru mengalami kenaikan nominal yang lebih besar.
“Fakta ini menunjukkan bahwa UMK yang sudah tinggi naiknya dua kali lipat dari UMK yang rendah, maka akibatnya ketimpangan upah semakin lebar,” tegas Ristadi.
Kritik juga diarahkan pada konstruksi penetapan upah minimum DKI Jakarta yang dinilai sulit dijelaskan. Bahkan, ada yang sulit dijelaskan base/dasar konstruksi besaran upah minimumnya, yaitu upah minimum Jakarta
“Kok bisa lebih rendah dari Kota Bekasi, Jakarta sebesar Rp5,72 juta dan Kota Bekasi Rp5,99 juta,” ujarnya.
Ristadi menambahkan, perbandingan tersebut tidak sejalan dengan data kebutuhan hidup dan struktur usaha. Berdasarkan survei BPS, kebutuhan hidup di Jakarta lebih tinggi dari Kota Bekasi.
“Berdasar jenis skala usaha bahkan lebih banyak industri di Jakarta yang mempunyai business value lebih tinggi dari Kota Bekasi,” tuturnya.
Dia juga menolak argumen kepadatan industri sebagai dasar penentuan upah minimum. Menurutnya, jumlah kepadatan industri tidak bisa juga dijadikan base konstruksi besaran upah minimum.
Sebab, upah minimum dibayar masing-masing perusahaan bukan tanggung secara bersama-sama. KSPN memperingatkan, jika formulasi kenaikan upah tidak diubah, ketimpangan antardaerah akan semakin melebar dan berdampak negatif bagi pekerja maupun dunia usaha.
“Jika formulasi kenaikan upah masih seperti sekarang, maka kedepan ketimpangan/disparitas upah antardaerah akan semakin tinggi, ini tidak adil untuk pekerja dan tidak sehat utk persaingan dunia usaha untuk jenis dan skala usaha yang sama,” ujarnya.
Sebagai solusi, KSPN mengusulkan reformasi sistem penetapan upah minimum berbasis sektor dan skala usaha. Dia juga menegaskan pendekatan tersebut lebih adil bagi pekerja dan menciptakan persaingan usaha yang sehat serta meminimalkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK).



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5429809/original/092733700_1764645012-000_32RQ793.jpg)

