Mataram (ANTARA) - Libur Natal dan Tahun Baru 2026 telah tiba, dan denyut pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali terasa menguat.
Bandara, pelabuhan, jalan-jalan utama, hingga kawasan wisata dipadati arus manusia yang memilih menutup tahun dengan melakukan perjalanan.
Di Pulau Lombok dan Sumbawa, libur akhir tahun selalu menjadi etalase paling terang bagi wajah pariwisata daerah. Inilah momen ketika promosi tidak lagi sebatas slogan, melainkan diuji langsung oleh pengalaman wisatawan.
Tahun ini, promosi wisata NTB berada pada fase yang berbeda. Ia tidak lagi bertumpu pada satu ikon semata.
Mandalika tetap menjadi magnet utama, tetapi ruang-ruang lain ikut bergerak. Kota Tua Ampenan, pantai-pantai urban Mataram, desa wisata, hingga kawasan konservasi mulai mengisi narasi.
Tema yang menguat menjelang Natal dan Tahun Baru 2026 adalah wisata berbasis pengalaman ruang publik, keberlanjutan, dan kemudahan akses. Inilah wajah promosi yang lebih kekinian, sekaligus lebih menantang.
Hanya saja, pertanyaannya tetap sama: apakah promosi ini sudah menjawab kebutuhan wisatawan masa kini, atau masih terjebak pada euforia momentum?
Pengalaman
Sirkuit Mandalika kembali menjadi contoh paling jelas dari perubahan pendekatan promosi. Program "Mandalika Experience" membuka sirkuit balap kelas dunia itu sebagai ruang wisata harian.
Wisatawan tidak lagi sekadar menonton balapan dari layar atau tribun, tetapi diajak masuk, berjalan, bersepeda, bahkan mengelilingi lintasan dengan kendaraan pribadi. Sirkuit berubah fungsi menjadi ruang publik rekreatif.
Ini adalah bentuk promosi yang relevan dengan tren global. Wisatawan modern mencari pengalaman autentik, partisipatif, dan bisa dibagikan secara visual. Mandalika menawarkan itu.
Namun, keberhasilan promosi berbasis pengalaman tidak bisa berdiri sendiri. Ia menuntut ekosistem pendukung yang solid, mulai dari transportasi, keamanan, hingga keterhubungan dengan objek wisata sekitar.
Di sinilah promosi NTB mulai melebar. Kota Mataram memastikan objek wisata dan ruang publik tetap terbuka selama libur tahun baru. Kota Tua dan Pantai Ampenan diposisikan sebagai ruang temu warga dan wisatawan.
Tanpa pesta kembang api besar, kota justru menawarkan pengalaman yang lebih sederhana dan reflektif. Promosi semacam ini tidak gaduh, tetapi menyentuh kebutuhan wisatawan keluarga dan urban yang ingin menikmati liburan, tanpa hiruk-pikuk berlebihan.
Pendekatan ini patut diapresiasi. Ia menunjukkan bahwa promosi wisata tidak selalu harus spektakuler, tetapi konsisten dan terkelola.
Promosi berbasis ruang publik juga membuka persoalan lama, yakni kebersihan, keamanan, dan kenyamanan. Sampah, keterbatasan fasilitas, serta cuaca ekstrem menjadi tantangan yang terus berulang setiap musim liburan.
Akses dan layanan
Promosi wisata tidak akan efektif, tanpa akses yang baik. Kesadaran ini terlihat dari kebijakan penguatan layanan transportasi, seperti diizinkannya taksi resmi beroperasi di Pelabuhan Bangsal.
Langkah ini mungkin terlihat teknis, tetapi dampaknya strategis. Wisatawan yang tiba di pintu masuk utama menuju Gili Tramena membutuhkan kepastian layanan, tarif yang jelas, dan rasa aman.
Inilah aspek promosi yang sering luput dari sorotan. Wisatawan jarang mengingat baliho atau slogan promosi, tetapi sangat mengingat pengalaman pertama saat tiba.
Transportasi yang semrawut, tarik-menarik penumpang, atau ketidakjelasan tarif bisa merusak citra objek wisata dalam hitungan menit. Dengan memperbaiki layanan dasar, NTB sedang membangun promosi yang diam-diam bekerja.
Di sisi lain, NTB juga mulai menonjolkan narasi budaya dan keberlanjutan. Gunung Rinjani tidak lagi semata dipromosikan sebagai objek pendakian, tetapi sebagai ruang budaya dan geopark yang rentan.
Desa wisata, seperti Bilebante tampil sebagai contoh bahwa promosi hijau bukan jargon kosong. Dari bekas tambang pasir menjadi desa wisata berprestasi nasional, cerita semacam ini jauh lebih kuat daripada iklan konvensional.
Begitu pula dengan penataan desa wisata Sade, bank sampah di kawasan wisata, hingga pengembangan wisata selancar di Bangko Bangko.
Semua ini membentuk mosaik promosi yang lebih berlapis. Wisatawan tidak hanya ditawari pemandangan, tetapi juga cerita, nilai, dan keterlibatan komunitas lokal.
Meskipun demikian, promosi berbasis nilai juga menyimpan risiko. Ketika narasi budaya dan lingkungan hanya berhenti sebagai kemasan, tanpa pengelolaan yang konsisten, ia mudah berubah menjadi eksotisme semu.
Tekanan kunjungan berlebih, konflik ruang, dan degradasi lingkungan bisa muncul jika promosi tidak diimbangi pembatasan dan pengaturan yang tegas.
Menata langkah
Menjelang Natal dan Tahun Baru 2026, promosi wisata NTB berada di persimpangan penting. Di satu sisi, ia telah bergerak ke arah yang lebih modern, inklusif, dan berkelanjutan.
Di sisi lain, tantangan klasik masih mengintai. Cuaca ekstrem, sampah, keselamatan wisatawan, hingga kesenjangan kualitas antarobjek wisata masih menjadi pekerjaan rumah.
Tulisan ini mencatat satu benang merah bahwa promosi wisata NTB semakin efektif ketika ia berpijak pada pelayanan publik yang kuat. Ruang publik yang tertata, transportasi yang jelas, narasi budaya yang dijaga, serta keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci.
Promosi bukan lagi soal mendatangkan orang sebanyak-banyaknya, tetapi memastikan setiap kunjungan meninggalkan kesan baik dan dampak ekonomi yang adil.
Ke depan, promosi wisata NTB perlu lebih berani mengatur ritme. Tidak semua objek wisata harus ramai bersamaan. Distribusi kunjungan, kalender kegiatan yang merata, serta penguatan objek wisata alternatif menjadi solusi agar pariwisata tidak menumpuk di satu titik.
Di sinilah peran pemerintah sebagai pengarah, bukan sekadar pemoles citra, menjadi krusial.
Libur Natal dan tahun baru selalu berlalu cepat. Hal yang tersisa adalah jejak pengalaman wisatawan dan ingatan kolektif tentang sebuah daerah.
Jika promosi wisata NTB mampu menjaga kualitas pengalaman itu, maka pariwisata tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap ruang, budaya, dan Indonesia itu sendiri.
Pertanyaannya kini, apakah NTB siap menjadikan promosi sebagai alat pengelolaan, bukan sekadar panggung musiman.
Bandara, pelabuhan, jalan-jalan utama, hingga kawasan wisata dipadati arus manusia yang memilih menutup tahun dengan melakukan perjalanan.
Di Pulau Lombok dan Sumbawa, libur akhir tahun selalu menjadi etalase paling terang bagi wajah pariwisata daerah. Inilah momen ketika promosi tidak lagi sebatas slogan, melainkan diuji langsung oleh pengalaman wisatawan.
Tahun ini, promosi wisata NTB berada pada fase yang berbeda. Ia tidak lagi bertumpu pada satu ikon semata.
Mandalika tetap menjadi magnet utama, tetapi ruang-ruang lain ikut bergerak. Kota Tua Ampenan, pantai-pantai urban Mataram, desa wisata, hingga kawasan konservasi mulai mengisi narasi.
Tema yang menguat menjelang Natal dan Tahun Baru 2026 adalah wisata berbasis pengalaman ruang publik, keberlanjutan, dan kemudahan akses. Inilah wajah promosi yang lebih kekinian, sekaligus lebih menantang.
Hanya saja, pertanyaannya tetap sama: apakah promosi ini sudah menjawab kebutuhan wisatawan masa kini, atau masih terjebak pada euforia momentum?
Pengalaman
Sirkuit Mandalika kembali menjadi contoh paling jelas dari perubahan pendekatan promosi. Program "Mandalika Experience" membuka sirkuit balap kelas dunia itu sebagai ruang wisata harian.
Wisatawan tidak lagi sekadar menonton balapan dari layar atau tribun, tetapi diajak masuk, berjalan, bersepeda, bahkan mengelilingi lintasan dengan kendaraan pribadi. Sirkuit berubah fungsi menjadi ruang publik rekreatif.
Ini adalah bentuk promosi yang relevan dengan tren global. Wisatawan modern mencari pengalaman autentik, partisipatif, dan bisa dibagikan secara visual. Mandalika menawarkan itu.
Namun, keberhasilan promosi berbasis pengalaman tidak bisa berdiri sendiri. Ia menuntut ekosistem pendukung yang solid, mulai dari transportasi, keamanan, hingga keterhubungan dengan objek wisata sekitar.
Di sinilah promosi NTB mulai melebar. Kota Mataram memastikan objek wisata dan ruang publik tetap terbuka selama libur tahun baru. Kota Tua dan Pantai Ampenan diposisikan sebagai ruang temu warga dan wisatawan.
Tanpa pesta kembang api besar, kota justru menawarkan pengalaman yang lebih sederhana dan reflektif. Promosi semacam ini tidak gaduh, tetapi menyentuh kebutuhan wisatawan keluarga dan urban yang ingin menikmati liburan, tanpa hiruk-pikuk berlebihan.
Pendekatan ini patut diapresiasi. Ia menunjukkan bahwa promosi wisata tidak selalu harus spektakuler, tetapi konsisten dan terkelola.
Promosi berbasis ruang publik juga membuka persoalan lama, yakni kebersihan, keamanan, dan kenyamanan. Sampah, keterbatasan fasilitas, serta cuaca ekstrem menjadi tantangan yang terus berulang setiap musim liburan.
Akses dan layanan
Promosi wisata tidak akan efektif, tanpa akses yang baik. Kesadaran ini terlihat dari kebijakan penguatan layanan transportasi, seperti diizinkannya taksi resmi beroperasi di Pelabuhan Bangsal.
Langkah ini mungkin terlihat teknis, tetapi dampaknya strategis. Wisatawan yang tiba di pintu masuk utama menuju Gili Tramena membutuhkan kepastian layanan, tarif yang jelas, dan rasa aman.
Inilah aspek promosi yang sering luput dari sorotan. Wisatawan jarang mengingat baliho atau slogan promosi, tetapi sangat mengingat pengalaman pertama saat tiba.
Transportasi yang semrawut, tarik-menarik penumpang, atau ketidakjelasan tarif bisa merusak citra objek wisata dalam hitungan menit. Dengan memperbaiki layanan dasar, NTB sedang membangun promosi yang diam-diam bekerja.
Di sisi lain, NTB juga mulai menonjolkan narasi budaya dan keberlanjutan. Gunung Rinjani tidak lagi semata dipromosikan sebagai objek pendakian, tetapi sebagai ruang budaya dan geopark yang rentan.
Desa wisata, seperti Bilebante tampil sebagai contoh bahwa promosi hijau bukan jargon kosong. Dari bekas tambang pasir menjadi desa wisata berprestasi nasional, cerita semacam ini jauh lebih kuat daripada iklan konvensional.
Begitu pula dengan penataan desa wisata Sade, bank sampah di kawasan wisata, hingga pengembangan wisata selancar di Bangko Bangko.
Semua ini membentuk mosaik promosi yang lebih berlapis. Wisatawan tidak hanya ditawari pemandangan, tetapi juga cerita, nilai, dan keterlibatan komunitas lokal.
Meskipun demikian, promosi berbasis nilai juga menyimpan risiko. Ketika narasi budaya dan lingkungan hanya berhenti sebagai kemasan, tanpa pengelolaan yang konsisten, ia mudah berubah menjadi eksotisme semu.
Tekanan kunjungan berlebih, konflik ruang, dan degradasi lingkungan bisa muncul jika promosi tidak diimbangi pembatasan dan pengaturan yang tegas.
Menata langkah
Menjelang Natal dan Tahun Baru 2026, promosi wisata NTB berada di persimpangan penting. Di satu sisi, ia telah bergerak ke arah yang lebih modern, inklusif, dan berkelanjutan.
Di sisi lain, tantangan klasik masih mengintai. Cuaca ekstrem, sampah, keselamatan wisatawan, hingga kesenjangan kualitas antarobjek wisata masih menjadi pekerjaan rumah.
Tulisan ini mencatat satu benang merah bahwa promosi wisata NTB semakin efektif ketika ia berpijak pada pelayanan publik yang kuat. Ruang publik yang tertata, transportasi yang jelas, narasi budaya yang dijaga, serta keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci.
Promosi bukan lagi soal mendatangkan orang sebanyak-banyaknya, tetapi memastikan setiap kunjungan meninggalkan kesan baik dan dampak ekonomi yang adil.
Ke depan, promosi wisata NTB perlu lebih berani mengatur ritme. Tidak semua objek wisata harus ramai bersamaan. Distribusi kunjungan, kalender kegiatan yang merata, serta penguatan objek wisata alternatif menjadi solusi agar pariwisata tidak menumpuk di satu titik.
Di sinilah peran pemerintah sebagai pengarah, bukan sekadar pemoles citra, menjadi krusial.
Libur Natal dan tahun baru selalu berlalu cepat. Hal yang tersisa adalah jejak pengalaman wisatawan dan ingatan kolektif tentang sebuah daerah.
Jika promosi wisata NTB mampu menjaga kualitas pengalaman itu, maka pariwisata tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap ruang, budaya, dan Indonesia itu sendiri.
Pertanyaannya kini, apakah NTB siap menjadikan promosi sebagai alat pengelolaan, bukan sekadar panggung musiman.




