Dulu Puasa Ditunggu, Kini Datang Begitu Saja

kumparan.com
12 jam lalu
Cover Berita

Dulu, datangnya bulan Ramadan terasa seperti momen istimewa yang ditunggu-tunggu. Anak-anak menghitung hari menuju puasa pertama, senang mendengar cerita tarawih, dan antusias bangun sahur meski masih mengantuk. Suasana Ramadan hadir bukan hanya sebagai kewajiban agama, melainkan juga sebagai pengalaman emosional yang hangat dan menyenangkan.

Namun, ketika seseorang beranjak dewasa, perasaan itu perlahan berubah. Puasa tetap datang setiap tahun, tetapi sering kali terasa biasa saja datang tanpa euforia, pergi tanpa banyak kesan.

Perubahan ini bukan hanya dirasakan oleh satu atau dua orang. Banyak orang dewasa—terutama mahasiswa dan pekerja di kota besar—mulai menyadari bahwa Ramadan kini hadir di tengah jadwal yang padat, deadline pekerjaan, tuntutan akademik, dan arus informasi yang nyaris tak pernah berhenti. Akibatnya, momen yang dulu terasa sakral kini sering kali terasa seperti agenda rutin tahunan yang harus dijalani.

Ramadan yang Kini Terasa Biasa

Saat masih kecil, pengalaman religius sering kali dibangun melalui suasana. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat ikut menciptakan rasa istimewa Ramadan. Ada cerita sebelum tidur, kebersamaan saat berbuka, hingga pujian kecil ketika berhasil puasa seharian. Semua itu membentuk kesan bahwa Ramadan adalah momen yang berbeda dari bulan lainnya.

Ketika dewasa, suasana tersebut tidak lagi hadir dengan cara yang sama. Ramadan tetap ada, tetapi konteks hidup berubah. Tidak ada lagi libur panjang atau jadwal yang disesuaikan sepenuhnya dengan ibadah.

Banyak orang justru harus bekerja lebih keras, tetap produktif, dan memenuhi tuntutan sosial di tengah kondisi fisik yang menahan lapar dan haus. Dalam kondisi ini, Ramadan mudah terasa “biasa”; bukan karena maknanya berkurang, melainkan karena ruang untuk merasakannya semakin sempit.

Kesibukan Dewasa yang Mengubah Suasana Puasa

Salah satu faktor utama yang membuat Ramadan terasa berbeda saat dewasa adalah kesibukan. Rutinitas orang dewasa sering kali tidak memberi jeda untuk refleksi. Pagi dimulai dengan pekerjaan, siang diisi rapat atau tugas, dan malam dihabiskan untuk memulihkan energi. Ibadah pun kerap dilakukan di sela-sela aktivitas, bukan sebagai pusat perhatian.

Di sisi lain, praktik keagamaan bisa terasa lebih mekanis. Puasa dijalani karena kewajiban, bukan karena perasaan menunggu atau kegembiraan. Tarawih dikejar waktunya, bukan suasananya. Sahur sekadar makan cepat sebelum kembali tidur. Tanpa disadari, kesibukan ini membuat pengalaman religius kehilangan dimensi emosionalnya. Ramadan tetap dijalani, tetapi tidak benar-benar “dirasakan”.

Apakah Kita Menjadi Kurang Religius?

Pertanyaan yang sering muncul dari kondisi ini adalah: Apakah menjadi dewasa berarti menjadi kurang religius? Jawabannya tidak sesederhana itu. Perubahan cara memaknai Ramadan bukan selalu tanda menurunnya iman, melainkan pergeseran fase kehidupan. Saat dewasa, seseorang dituntut untuk lebih rasional, mandiri, dan bertanggung jawab. Fokus hidup pun bergeser: dari pengalaman emosional ke pemenuhan peran sosial.

Selain itu, budaya modern dan arus informasi digital turut memengaruhi cara seseorang mengalami Ramadan. Media sosial, notifikasi tanpa henti, dan gaya hidup serba cepat membuat perhatian mudah terpecah.

Ramadan hadir berdampingan dengan konten hiburan, iklan, dan tren digital yang terus mengalir. Akibatnya, momen refleksi sering kalah oleh distraksi.

Namun, hal ini tidak berarti pengalaman religius hilang sepenuhnya. Ia hanya berubah bentuk. Bagi sebagian orang dewasa, religiusitas tidak lagi diekspresikan melalui antusiasme lahiriah, tetapi melalui pemaknaan yang lebih sunyi dan personal. Ramadan mungkin tidak lagi terasa meriah, tetapi bisa menjadi ruang refleksi yang lebih dalam jika diberi kesempatan.

Menemukan Kembali Makna di Tengah Rutinitas

Mungkin yang perlu dipertanyakan bukanlah “mengapa Ramadan terasa biasa?” tetapi “bagaimana kita memberi ruang agar Ramadan kembali bermakna?” Kedewasaan memang membawa kesibukan, tetapi di lain sisi juga membawa kesadaran.

Dengan menyadari perubahan ini, seseorang dapat mulai membangun kembali hubungan personal dengan Ramadan; bukan dengan memaksakan rasa seperti masa kecil, melainkan dengan cara yang sesuai dengan fase hidup saat ini.

Pada akhirnya, Ramadan tidak kehilangan maknanya. Kita hanya perlu menyesuaikan cara memaknainya. Di tengah rutinitas dan dunia yang serba cepat, Ramadan tetap bisa menjadi momen jeda; bukan karena suasananya yang meriah, melainkan karena kesadaran kita untuk benar-benar hadir di dalamnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kuasa Hukum Sarankan Insanul Fahmi Minta Maaf ke Keluarga Wardatina Mawa
• 5 jam lalugenpi.co
thumb
Bekuk Brunei Darussalam, Timnas Futsal Indonesia U-16 Buka Peluang ke Final ASEAN U-16 2025
• 5 jam lalubola.com
thumb
Wakil Ketua DPR Desak Rute KRL Cikarang Diperpanjang hingga Cikampek, Mobilitas Pekerja Jadi Alasan Utama
• 8 jam laluliputan6.com
thumb
15.235 Warga Binaan Se-Indonesia Terima Remisi Natal
• 10 jam lalukompas.com
thumb
Ziarah Porta Sancta di Pengujung Tahun Yubileum 2025
• 3 jam lalukompas.id
Berhasil disimpan.