FAJAR, MAKASSAR — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar memaparkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2025 yang menggambarkan situasi penegakan hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi sepanjang tahun 2025. Kegiatan tersebut digelar di Kantor LBH Makassar, Rabu (24/12/2025), dan dihadiri sejumlah jurnalis serta perwakilan organisasi masyarakat sipil.
Direktur LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa, menegaskan bahwa demokrasi kini kian hadir sebagai formalitas, sementara substansinya terus terkikis. Negara justru tampil sebagai aktor utama pembatasan kebebasan sipil, mulai dari pembungkaman kritik, represi aksi demonstrasi, hingga pengetatan ruang digital.
“Demokrasi menjadi semacam distopia, yaitu sebuah tatanan yang sarat dengan penindasan, ketidakadilan, kekerasan, dan perampasan kebebasan rakyat,” tegasnya.
Selain itu, LBH Makassar juga menyoroti revisi Undang-Undang TNI dan KUHAP yang dinilai membuka ruang kembalinya militerisme serta memperluas kewenangan aparat tanpa pengawasan peradilan yang memadai. Kondisi ini dinilai meningkatkan risiko kriminalisasi, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, Mirayati Amin, memaparkan sepanjang 2025 pihaknya menerima 212 permohonan bantuan hukum, dengan 202 kasus ditangani. Dari jumlah tersebut, 157 kasus (78%) merupakan pelanggaran HAM berdimensi struktural.
Berdasarkan aktor pelanggaran, Polri tercatat sebagai pelaku tertinggi dengan 58 kasus, meningkat sekitar 190 persen dibanding tahun sebelumnya. Disusul warga atau kelompok sipil sebanyak 30 kasus, perusahaan swasta 29 kasus, pasangan atau suami 25 kasus, pemerintah daerah 4 kasus, birokrasi kampus atau sekolah 3 kasus, serta TNI 1 kasus.
“Peningkatan ini menunjukkan kuatnya praktik kekerasan, impunitas, dan penyalahgunaan kewenangan aparat,” ucap Mirayati.
Adapun jenis pelanggaran terbanyak adalah fair trial dengan 39 kasus. Selanjutnya, kekerasan terhadap perempuan sebanyak 25 kasus, sengketa tanah dan perumahan 21 kasus, perburuhan 18 kasus, kekerasan fisik oleh aparat 15 kasus, serta kekerasan dalam rumah tangga 13 kasus. Temuan tersebut sejalan dengan Indeks Rule of Law World Justice Project 2025 yang menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 143 negara.
Pada pemaparan situasi hak ekonomi, sosial, dan budaya, kawasan industri Bantaeng disebut sebagai “monumen pelanggaran HAM”. LBH mencatat 1.962 buruh mengalami pemutusan hubungan kerja, sistem kerja 12 jam tanpa istirahat layak, pemotongan pesangon, hingga pelanggaran hak beribadah. Selain itu, sebanyak 9.010 warga di Desa Borong Loe dan Kampung Loe juga terdampak pencemaran lingkungan.
Dalam situasi hak sipil dan politik, LBH menemukan pelanggaran fair trial sebanyak 39 kasus yang keseluruhannya menjadikan polisi sebagai aktor pelaku. Selain itu, tercatat 15 kasus kekerasan aparat oleh kepolisian, 2 kasus kebebasan berekspresi atau berpendapat, 2 kasus pelanggaran identitas hukum, serta 1 kasus korupsi.
Sementara itu, dari situasi hak perempuan, anak, dan disabilitas, LBH mencatat sebanyak 46 kasus struktural khususnya pada Bidang Perempuan, Anak & Disabilitas yang didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan (25 kasus/44 korban perempuan), kekerasan terhadap anak (8 kasus/12 korban anak) dan kekerasan berbasis gender (2 kasus/ 3 korban ragam gender). Pelaku berasal dari lingkar terdekat korban, mulai dari rekan kerja, dosen, hingga aparat penegak hukum.
Meski situasi HAM memburuk, LBH Makassar menilai solidaritas rakyat masih menjadi penyangga utama demokrasi.
“Di berbagai titik, masyarakat berhasil merebut kembali lahannya, menghentikan aktivitas tambang, serta mempertahankan ruang hidup dari perampasan. Di tengah situasi yang gelap ini, solidaritas rakyat menjadi penyangga utama demokrasi Indonesia,” ucap Direktur LBH Makassar.
Penulis: Nur Haliza Sultan
Mahasiswa Magang FAJAR dari Sastra Indonesia Unhas



