Soal Bencana Sumatera, Ahmad Khoziuddin: Negara Tidak Hadir, Oligarki Berpesta

fajar.co.id
11 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktivis Ahmad Khoziuddin menyebut, banjir bandang yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatra bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologis yang berakar dari kebijakan politik yang dinilainya pro oligarki kapitalis.

Dikatakan Ahmad, negara belum sepenuhnya hadir secara substansial di tengah penderitaan rakyat terdampak bencana.

Ia menggambarkan kondisi korban bencana seperti anak yatim yang kehilangan pengasuhan negara.

“Negara tidak hadir dalam bencana. Meski ungkapan ini saya tegaskan dengan gaya metafora, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa rakyat yang menjadi korban bencana di Aceh dan Sumatera seperti menjadi yatim,” ujar Ahmad kepada fajar.co.id, Kamis (25/12/2025).

Ia menuturkan bahwa peran pemerintah sejauh ini masih bersifat normatif, meski berbagai pernyataan dan janji telah disampaikan oleh para pejabat.

“Negara, yang semestinya mengasuh mereka secara serius dan sepenuh hati kesannya hanya menjalankan kegiatan yang normatif,” lanjutnya.

Ahmad menyinggung laporan langsung dari lapangan yang disampaikan relawan bencana di Aceh, Chiki Fawzi. Baginya, kondisi riil di lokasi justru menunjukkan keterbatasan serius dalam penanganan bencana.

“Nyatanya, sambungan telepon dari lokasi bencana yang disampaikan Chiki Fawzi (Relawan Bencana di Aceh), seperti menampar wajah kekuasaan,” katanya.

Ia mengungkapkan, hingga saat ini masih ditemukan akses jalan terputus, listrik belum pulih, jaringan telekomunikasi terganggu, serta kebutuhan dasar masyarakat sulit terpenuhi.

“Akses jalan masih terputus, listrik belum hidup, jaringan telpon sulit, berbagai kebutuhan hidup juga sulit dipenuhi. Padahal, masih banyak temuan dari Chiki Chiki yang lain yang tak teramplifikasi oleh media,” ungkap Ahmad.

Ia juga menyinggung pernyataan Gubernur Aceh, Mualem, yang menurutnya mengandung pesan atas keterbatasan dukungan dari pemerintah pusat.

“Gubernur Aceh Mualem yang menitipkan air mata dan meminta segenap rakyat Aceh hanya bersandar kepada Allah SWT, sejatinya juga pesan tegas tentang tidak hadirnya peran pemerintah pusat secara maksimal,” tegasnya.

Meski mengakui pemerintah telah melakukan sejumlah langkah, Ahmad menilai respons tersebut belum menjawab kebutuhan darurat di lapangan, terutama terkait penetapan status bencana nasional dan pembukaan akses bantuan internasional.

“Ungkapan ‘Negara tak hadir’ memang bukan ungkapan sebenarnya, melainkan diksi majazi yang penuh metafora. Karena faktanya, pemerintah sudah melakukan sejumlah tindakan,” jelasnya.

Namun, ia mempertanyakan sikap pemerintah yang tetap menolak menetapkan status bencana nasional meski kondisi belum pulih.

“Akan tetapi ketika rakyat meminta status bencana ditetapkan sebagai bencana nasional dan meminta pemerintah membuka akses bantuan internasional, kenapa pemerintah masih kekeuh sanggup menangani bencana dengan mode yang masih dipertahankan seperti hingga nyaris satu bulan ini?” ujarnya.

Ia bahkan mengatakan bahwa klaim pencapaian pemerintah yang disampaikan pejabat Istana perlu diuji dengan kondisi faktual di lapangan.

“Apa yang disampaikan oleh perwakilan pemerintah dari Tenaga Ali Utama KSP Saudara Saddam Al Jihad tentang sejumlah statistik pencapaian penanggulangan bencana dan komitmen pemerintah, sebagai sebuah pernyataan memang layak untuk didengar,” Ahmad menuturkan.

“Hanya saja, jika itu dianggap sebagai sebuah bukti keseriusan pemerintah sekaligus tidak butuh status bencana nasional dan membuka diri atas akses bantuan internasional, rasanya kesimpulan seperti ini masih sangat riskan dan prematur,” tambahnya.

Lebih jauh, Ahmad menegaskan bahwa banjir bandang merupakan akibat langsung dari kebijakan pembukaan lahan yang masif.

“Saya sudah ungkap, banjir bandang bukan an sich bencana ekologis. Melainkan, bencana politik akibat kebijakan pemerintah mengobral izin tambang dan perkebunan sawit di kawasan hutan,” tegasnya.

Ia menyebut deforestasi sebagai akar persoalan utama yang diperparah oleh kebijakan negara.

“Deforestasi adalah pangkal masalahnya, sementara kebijakan pemerintah menjadi penyebabnya,” terangnya.

Ahmad juga menyinggung kebijakan era Presiden Jokowi yang dianggap terlalu memanjakan oligarki sawit dan tambang.

“Di era Jokowi oligarki sawit dan tambang dimanjakan. Lahan hutan dobral bak dagangan murah untuk menambah kaya raya oligarki,” sebutnya.

Ia mengingatkan hasil audit 9 juta hektare lahan sawit yang dilakukan pada masa Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, di mana 3,3 juta hektare dinyatakan ilegal.

“Namun apakah para taipan sawit ini ditindak?,” timpalnya.

Menurut Ahmad, alih-alih dihukum, praktik ilegal justru dilegalkan.

“Alih-alih dipenjara dan membayar denda lahan sawit para taipan ini justru diputihkan,” sesalnya.

Tidak berhenti di situ, ia juga mempertanyakan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto ke depan, apakah akan memperbaiki kerusakan lingkungan atau justru melanjutkan pola lama.

“Pertanyaannya, akankah Prabowo Subianto selaku Presiden hari ini akan membiarkan kerusakan itu? Atau bahkan, akan melestarikannya? Prabowo akan memilih berkhidmat kepada rakyat, atau menjadi pelayan setia oligarki kapitalis?,” kuncinya.

(Muhsin/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kapolres Bintan Tinjau Pengamanan Natal di Sejumlah Gereja
• 5 jam lalutvrinews.com
thumb
Kebakaran Hebat Hanguskan Toko Plastik di Lubuk Begalung, Kerugian Capai Rp 1,5 Miliar
• 7 jam lalutvrinews.com
thumb
Polisi Petakan 3 Titik Kemacetan Kawasan Puncak
• 6 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Pesawat Boeing 737 yang Hilang 13 Tahun Akhirnya Ditemukan, Maskapai Diminta Bayar Rp1,86 Miliar
• 11 jam laluokezone.com
thumb
Tuntut Keadilan, Nenek Elina yang Diusir Paksa Anggota Ormas Lapor ke Polda Jatim
• 6 jam lalurctiplus.com
Berhasil disimpan.