PRESIDEN Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyatakan bahwa penetapan upah minimum di sejumlah daerah, khususnya DKI Jakarta, tidak mencerminkan keberpihakan pada buruh dan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
KSPI dan Partai Buruh secara tegas menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Tahun 2026 yang ditetapkan Gubernur DKI Jakarta dengan menggunakan indeks tertentu sebesar 0,75, sehingga UMP DKI Jakarta menjadi Rp5,73 juta per bulan.
“Kami menolak. Saya ulangi, KSPI dan Partai Buruh menolak kenaikan upah minimum DKI Jakarta Tahun 2026 yang ditetapkan dengan indeks 0,75 sehingga UMP-nya hanya Rp5,73 juta,” tegas Said Iqbal, Kamis (25/12).
Penolakan ini, sambung dia, merupakan sikap bulat seluruh aliansi serikat pekerja se-DKI Jakarta, termasuk KSPI, yang didukung oleh Partai Buruh.
Said Iqbal memaparkan empat alasan utama penolakan tersebut. Pertama, seluruh aliansi buruh DKI Jakarta telah menyepakati tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta menetapkan upah minimum sebesar 100 persen Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Nilai 100 persen KHL versi Kementerian Ketenagakerjaan adalah Rp5,89 juta per bulan.
“Selisih Rp160 ribu itu sangat berarti bagi buruh. Itu bisa untuk makan, transportasi, atau kebutuhan dasar lainnya,” ujar Said Iqbal.
Alasan kedua, dirinya menegaskan bahwa UMP DKI Jakarta menjadi lebih rendah dibanding UMK Kabupaten Bekasi dan Karawang yang telah mencapai sekitar Rp5,95 juta.
“Apakah masuk akal upah minimum Jakarta lebih rendah dari Bekasi dan Karawang, sementara biaya hidup Jakarta jauh lebih mahal?,” katanya.
Alasan ketiga, Gubernur DKI Jakarta menyebut adanya tiga insentif—transportasi, air bersih, dan BPJS—namun menurut KSPI, insentif tersebut bukan bagian dari upah, tidak diterima langsung oleh buruh, dan memiliki kuota terbatas karena bergantung APBD.
“Buruh di Jakarta lebih dari satu juta orang. Tidak mungkin semua menerima insentif itu. Jadi itu bukan solusi,” tegas dia.
Alasan terakhir, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa biaya hidup keluarga di DKI Jakarta bisa mencapai sekitar Rp15 juta per bulan untuk satu keluarga kecil, sementara UMP 100% KHL baru menyentuh Rp5,89 juta.
“Bahkan sepertiga dari kebutuhan hidup riil di Jakarta saja tidak terpenuhi,” tambahnya.
Selain persoalan di DKI Jakarta, KSPI juga menyoroti dugaan adanya arahan penggunaan indeks tertentu 0,7 dalam penetapan upah minimum di sejumlah daerah industri.
Said Iqbal menyampaikan bahwa KSPI mendapatkan informasi dari lapangan bahwa terdapat dugaan arahan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan kepada dinas tenaga kerja daerah agar tidak menggunakan indeks 0,9, meskipun Presiden Prabowo Subianto telah membuka ruang penggunaan indeks hingga 0,9.
“Ini masih dugaan dan perlu dikonfirmasi. Tapi faktanya, di banyak daerah industri, gubernur dan kepala daerah diarahkan menggunakan indeks 0,7, bahkan ada yang lebih rendah,” kata Said Iqbal.
Menurutnya, jika dugaan tersebut benar, maka kebijakan itu bertentangan dengan keputusan Presiden dan berpotensi memicu gejolak sosial.
“Kalau Presiden sudah membuka ruang 0,9, lalu daerah diseragamkan 0,7, itu sama saja melawan kebijakan Presiden dan menurunkan daya beli buruh,” imbuh dia.
KSPI mencatat, di beberapa daerah seperti Kabupaten Bekasi, Karawang, Serang, dan Tangerang, indeks 0,9 bisa diterapkan setelah aksi besar-besaran buruh. Sementara di daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sejumlah wilayah Sumatra, buruh masih menghadapi tekanan agar menerima indeks lebih rendah. Maka dari itu, atas penetapan UMP DKI Jakarta dan kondisi nasional tersebut, KSPI menyatakan akan menempuh dua jalur perlawanan.
Secara hukum, KSPI akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena penetapan UMP merupakan keputusan administrasi negara. Sementara secara gerakan, KSPI bersama aliansi buruh akan menggelar aksi massa besar-besaran di Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta, yang diperkirakan berlangsung akhir Desember atau minggu pertama Januari 2026.
“Upah murah hanya akan memperdalam krisis daya beli dan mengganggu stabilitas sosial. Buruh tidak akan diam,” pungkas Said Iqbal. (Fal/M-3)





