Jakarta, tvOnenews.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Fauzi angkat bicara terkait vonis 9,5 tahun penjara terhadap pelaku penganiayaan balita hingga tewas di Kota Medan.
Menurut Arifah, putusan tersebut secara substantif belum sepenuhnya mencerminkan rasa keadilan bagi korban anak.
Arifah menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus kekerasan ekstrem yang menimpa balita tersebut.
Ia menegaskan, anak merupakan kelompok paling rentan yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum maksimal, terutama ketika kekerasan berujung pada hilangnya nyawa.
"Korban merupakan balita yang berada pada usia sangat rentan. Dalam kondisi seperti ini, penting bagi seluruh proses penegakan hukum untuk mempertimbangkan secara menyeluruh dampak yang dialami anak sebagai korban,” ungkap Arifah, Kamis (25/12).
Menanggapi putusan pengadilan, Arifah mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah mengatur ancaman pidana maksimal hingga 15 tahun penjara bagi pelaku kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian.
Ia menilai, meski vonis 9,5 tahun tidak bertentangan dengan hukum positif, namun hukuman tersebut masih berada jauh di bawah ancaman maksimal yang disediakan undang-undang.
Terlebih, pelaku adalah orang dewasa yang memiliki relasi kedekatan dan kepercayaan dengan korban.
Arifah menegaskan, KemenPPPA menghormati independensi lembaga peradilan. Namun, pendekatan hukum yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak sebagai korban, harus menjadi roh utama dalam setiap putusan perkara kekerasan terhadap anak.
“Kemen PPPA memandang penanganan perkara kekerasan terhadap anak perlu dilakukan secara hati-hati, proporsional, dan berorientasi pada perlindungan hak hidup serta keselamatan anak,” tegasnya.
Sebagai tindak lanjut, Arifah menyatakan KemenPPPA akan terus mendorong penguatan peradilan yang berperspektif anak, termasuk melalui pendampingan korban oleh UPTD PPA.
"Kami akan koordinasi dengan aparat penegak hukum, serta penyampaian masukan kebijakan kepada Mahkamah Agung," ujarnya.
Menurutnya, negara harus hadir memastikan bahwa setiap putusan hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga adil bagi anak sebagai korban, terutama dalam kasus kekerasan berat yang berujung pada kematian. (rpi/dpi)


