Prof. Jimly Asshiddiqie Ungkap Kemarahan Publik terhadap Polisi Bukan soal Keamanan, Melainkan soal Keadilan dalam Penegakan Hukum

fajar.co.id
4 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAkARTA — Pakar hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menyoroti lemahnya penegakan hukum sebagai sumber utama kemarahan publik terhadap aparat kepolisian.

Menurut dia, kemarahan masyarakat terhadap aparat kepolisian sejatinya bukan soal keamanan, melainkan soal keadilan dalam penegakan hukum.

“Polisi itu bagian dari sistem penegakan hukum. Karena mereka berada di garis depan, merekalah yang pertama dimarahi. Padahal, persoalannya sampai ke hulu, termasuk dunia kehakiman. Semua ini butuh pembenahan dan penataan ulang,” ujarnya.

Dia mengatakan berbagai peristiwa kerusuhan dan aksi kekerasan yang terjadi dalam rentang Agustus–September lalu, mencerminkan akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap sistem perwakilan formal dalam politik nasional.

“Yang dibakar bukan hanya kantor polisi, tetapi juga kantor DPRD, bahkan terjadi penjarahan rumah anggota DPR. Ini menunjukkan adanya sumbatan serius dalam saluran aspirasi rakyat. Sistem politik kita harus dikaji ulang,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis (25/12/2025).

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian itu mendorong dilakukannya pengkajian ulang konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 guna mengakomodasi aspirasi publik yang mencuat belakangan ini.

Prof Jimly menyebut kaji ulang konstitusi, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan salah satu agenda yang perlu mendapat perhatian serius.

“Bahkan, ada kalangan aktivis yang menulis buku tentang reset Indonesia. Sayangnya, diskusi buku itu justru dibubarkan. Padahal, yang dimaksud reset itu bukan destruktif, tetapi menata ulang sistem politik, sosial, dan ekonomi kita agar lebih sehat,” kata Jimly.

Dia menyampaikan hal itu dalam forum dialog bertema “Rekonstruksi Konstitusi Menyongsong Indonesia Emas 2045: Peran Strategis MPR dalam Menjaga Ideologi Bangsa” yang diselenggarakan Sekretariat Jenderal MPR RI di Tangerang, Banten, Rabu (24/12).

Prof. Jimly menilai, pembenahan tersebut harus dimulai dari evaluasi sistem konstitusi. Untuk itu, dia mendorong agar Indonesia mulai serius membahas agenda perubahan kelima UUD 1945.
“Mulai tahun 2026 dan 2027 adalah momentum yang sangat menentukan. Tahun 2028 sudah terlalu dekat dengan tahun politik sehingga pembahasan perubahan konstitusi akan sulit dilakukan,” ucapnya.

Ditekankan Jimly, MPR RI dan partai-partai politik memiliki peran penting dalam mendorong agenda penataan ulang sistem politik nasional. Dia mengingatkan agar elite politik tidak menutup ruang diskusi publik, termasuk gagasan-gagasan kritis yang muncul dari kalangan akademisi dan aktivis.

“Kita harus menggerakkan pikiran pimpinan partai politik untuk sungguh-sungguh melakukan tata ulang sistem politik. Jangan sampai diskusi ilmiah justru dilarang,” katanya mengingatkan.

Bagi Jimly, perubahan konstitusi nantinya akan berdampak luas pada regulasi di bawahnya, mulai dari undang-undang pemilu, undang-undang partai politik, hingga berbagai peraturan pelaksana lainnya.

“Jadi, harus dimulai dari undang-undang dasarnya terlebih dahulu. Setelah itu baru undang-undang dan peraturannya disesuaikan. Kalau kita ingin Indonesia Emas 2045, fondasi konstitusinya harus kita benahi dari sekarang,” kata dia. (fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Seskab dan Mensos bahas BLT untuk pengungsi Sumatera, minimal Rp8 juta/KK
• 17 jam laluantaranews.com
thumb
Momen Buruk Endrick di Real Madrid Musim Ini
• 10 jam laluskor.id
thumb
Justin Hubner Lamar Jennifer Coppen, Momen Bahagia Bersama Kamari Jadi Sorotan
• 9 jam lalutabloidbintang.com
thumb
Suami Selebgram Donna Fabiola Serahkan Diri Terkait Jaringan Narkoba Bali
• 3 jam lalutvrinews.com
thumb
Mengenal Tradisi Ngejot dan Penjor yang Jadi Perayaan Natal Unik di Bali
• 11 jam lalubeautynesia.id
Berhasil disimpan.