Jakarta, CNBC Indonesia - Isu Rohana dan Rojali menjadi salah satu berita paling populer dan sorotan hangat pembaca CNBC Indonesia sepanjang tahun 2025. Dalam catatan CNBC Indonesia, isu ini menjadi perhatian seiring ramainya pusat perbelanjaan, namun di satu sisi pelaku usaha mengeluhkan omset yang tidak mengalami kenaikan.
Fenomena rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya) kian mencuat di pusat-pusat perbelanjaan Indonesia sepanjang 2025. Mal terlihat ramai, tetapi transaksi tak selalu sebanding dengan lonjakan jumlah pengunjung. Para pengusaha ritel, pengelola mal, hingga pemerintah mengakui pola konsumsi masyarakat tengah berubah di tengah tekanan daya beli dan ketidakpastian ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menyebut, nilai transaksi pusat perbelanjaan tahun ini diperkirakan tidak setinggi tahun lalu. Penyebab utamanya adalah melemahnya daya beli, terutama di kelompok menengah bawah, yang mendorong masyarakat lebih selektif dalam berbelanja.
"Pasti, karena kan sekarang masyarakat kelas menengah bawah cenderung beli barang produk yang harga satuannya, unit price-nya murah. Itu terjadi penurunan (omzet), pasti," ujar Alphonzus saat ditemui di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta beberapa Waktu lalu.
APPBI memproyeksikan pertumbuhan industri pusat belanja nasional pada 2025 masih akan terjadi, namun hanya satu digit atau di bawah 10%. Angka ini jauh dari target ideal 20-30% yang sebelumnya diharapkan.
"Tahun 2025 ini tetap tumbuh dibandingkan tahun lalu. Tumbuhnya, tapi tidak signifikan. Paling single digit. Single digit artinya kurang dari 10%. Tapi tetap tumbuh," katanya.
Dari sisi trafik, jumlah kunjungan ke mal memang masih meningkat, sekitar 10% dibandingkan tahun lalu. Namun Alphonzus menilai kenaikan itu belum memenuhi ekspektasi.
"Kurang dari 10% dibandingkan tahun sebelumnya. Kurang dari 10% sebetulnya tidak memenuhi target. Harusnya target kita 20-30%," ujarnya.
Menurut Alphonzus, perubahan utama justru terjadi pada pola belanja. Banyak pengunjung datang hanya untuk melihat-lihat, membandingkan harga, atau sekadar berjalan-jalan.
"Jumlah kunjungan tetap naik meskipun tidak signifikan. Tetapi yang berubah itu kan pola belanjanya. Satu, mereka jadi lebih selektif berbelanja. Kalau tidak perlu, tidak ya. Kemudian kalaupun belanja, beli barang produk yang harga satuan, yang harga satuannya murah. Itu yang terjadi," jelasnya.
Pengunjung mengamati produk yang dijual di salah satu Mal di kawasan Semanggi, Jakarta, Selasa (2/9/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Fenomena ini kemudian dikenal luas sebagai rojali dan rohana. Alphonzus menilai perilaku tersebut sejatinya wajar dalam ritel offline.
"Saya kira di pusat perbelanjaan itu kan sifatnya adalah offline. Kalau offline itu kan pasti terjadi interaksi, tawar-menawar, nanya harga dan sebagainya. Saya kira itu umum, hal-hal yang wajar lah begitu," katanya.
Ia menambahkan, pusat perbelanjaan kini tak hanya berfungsi sebagai tempat jual beli, tetapi juga ruang sosial.
"Fungsi pusat belanja itu kan bukan cuma sekedar belanja, ada faktor edukasi, ada faktor entertainment-nya, ya hiburan dan sebagainya. Jadi inilah yang menyebabkan selalu ada fenomena rojali dari waktu ke waktu," ujarnya.
Dari sisi kelas menengah atas, kehati-hatian menjadi faktor utama.
"Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih kehati-hatian dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global, sehingga mereka memilih antara belanja atau investasi," kata Alphonzus.
Fenomena rojali dan rohana juga berdampak ke tenant makanan dan minuman. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyebut, sektor ini justru menjadi yang paling diuntungkan.
"Yang diuntungkan dari rojali sebenarnya ya sektor makanan dan minuman. Ritel kami yang dari makanan dan minuman, omzetnya sudah mulai naik lagi, ya sekitar 5%-10% per bulan," katanya.
Menurut Budihardjo, setelah berkeliling melihat-lihat barang, pengunjung biasanya berakhir di restoran atau kafe. "Setelah mereka berputar melihat-lihat sesuatu di mall, biasanya kan mereka lelah ya, nah setelah itu mereka nongkrong untuk makan atau ya sekadar minum karena haus kan, nah dari sini lah sektor makanan dan minuman yang paling diuntungkan di mal," ujarnya.
Ia menambahkan, pelanggan biasanya lebih sungkan untuk tidak membeli di restoran. "Mereka nongkrong pasti harus beli dong, minimal minumannya saja, tidak mungkin kalau tidak beli di situ."
Namun, tidak semua pelaku usaha merasakan dampak positif. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengakui, rojali dan rohana juga menyasar restoran dan berpotensi merugikan. "Fenomena Rojali-Rohana memang sedang tren ya. Ada di restoran, di mall-mall, dan tempat lain. Ini kan sebenarnya bagian dari hiburan. Orang tidak beli tapi nongkrong, bisa ngobrol berlama-lama," katanya.
Menurutnya, kerugian muncul ketika pengunjung hanya memesan minuman atau makanan kecil, tetapi duduk berjam-jam. "Pengusaha cenderung dirugikan karena orang-orang yang benar-benar ingin makan di restoran tersebut tidak bisa akibat antrean makan ditempat yang panjang. Alhasil orang tersebut cenderung tidak jadi makan di restoran tersebut," ujarnya.
"Kalau di restoran pesannya misal cuma minum satu kopi secangkir, tapi ngobrolnya dua jam, yang lain mau makan susah, ya tidak mungkin restorannya diuntungkan kan kalau seperti ini."
Karena itu, PHRI mempertimbangkan pembatasan waktu duduk pelanggan. "Jadi nanti mesti ada cara-cara untuk misalnya, orang dibatasi berapa lama boleh duduk dan untuk belanja yang berapa. Jadi kalau orang duduk melewati waktu tertentu, ya harus order lagi misalnya seperti itu. Tapi tentu dilakukan dengan cara-cara yang sopan dan halus ya," tutur Iwantono.
Pemerintah melihat fenomena ini sebagai bagian dari dinamika konsumsi. Menteri Perdagangan Budi Santoso menilai masyarakat bebas memilih belanja offline atau online. Ia menambahkan, wajar jika konsumen datang ke toko fisik untuk melihat barang, lalu membeli secara daring.
"Ya, jadi kan kita bebas. Kita mau beli di offline, online kan bebas ya. Orang kan juga pasti mencari harga yang murah dengan kualitas yang bagus," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin juga menilai rojali sebagai perilaku yang sulit dikendalikan. "Orang jalan-jalan, lihat-lihat, terus lihat harga, harganya nggak cocok, terus lihat yang lebih murah di online, kan itu mungkin," katanya.
Dari sisi data, Badan Pusat Statistik (BPS) melihat fenomena ini sebagai sinyal sosial. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menyebut, berdasarkan Susenas Maret 2025, kelompok atas memang cenderung menahan konsumsi. "Fenomena Rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," katanya.
Namun BPS menilai perilaku ini relevan dengan tekanan ekonomi, terutama bagi kelas rentan, dan menjadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk memperhatikan ketahanan konsumsi rumah tangga.
Memasuki kuartal akhir 2025, sejumlah pelaku usaha mulai melihat sinyal perbaikan. Budihardjo menyebut perputaran uang di mal meningkat pada Oktober-Desember.
"Bulan 10, 11, 12 itu mulai bergerak, mulai ada sinyal positif. Ada pergerakan kenaikan penjualan," katanya. Ia mengaitkan perbaikan ini dengan stimulus pemerintah, program penciptaan lapangan kerja, hingga bantuan sosial.
Meski demikian, Budihardjo menegaskan rojali dan rohana tidak benar-benar hilang. "Jadi nggak hilang. Memang Rohana dan Rojali itu fenomena yang tetap ada, dari dulu. Mereka cuma melihat-lihat, ada yang belinya nanti. 80% mereka ke mal cuma nonton, jalan-jalan, rapat. Cuma 20-an persen yang ke mal itu tujuannya untuk membeli," ujarnya.
Di tengah fenomena tersebut, pengembangan pusat perbelanjaan justru terus berlanjut. Alphonzus mengungkapkan banyak pemerintah daerah, khususnya di luar Jawa, meminta dibangunnya mal untuk mendorong ekonomi lokal.
"Jadi banyak sekali pemerintah-pemerintah daerah yang berharap memiliki pusat belanja," katanya. APPBI memperkirakan setiap tahun akan ada sekitar lima hingga enam mal baru di daerah tier 2 dan tier 3, terutama di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra.
(fys/wur)




