Mengapa Banyak Remaja Korban Kekerasan Memilih Diam

kumparan.com
16 jam lalu
Cover Berita

Banyak orang bertanya mengapa remaja korban kekerasan memilih diam. Pertanyaan itu sering muncul dengan nada heran, seolah bercerita adalah pilihan yang mudah. Padahal, bagi sebagian remaja, diam justru menjadi cara paling aman untuk bertahan.

Dalam dua tahun terakhir, angka kekerasan terhadap anak dan remaja di Indonesia terus meningkat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan lonjakan kasus sepanjang 2023–2025, mulai dari kekerasan fisik, perundungan, hingga kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri juga mencatat bahwa pada 2024–2025, sekitar 70 persen korban kekerasan seksual adalah anak dan remaja.

Namun, angka-angka ini hanya memperlihatkan permukaan. Banyak kasus tidak pernah tercatat karena diselesaikan secara kekeluargaan, ditutup demi reputasi, atau dianggap selesai tanpa pemulihan yang memadai.

Tulisan ini memusatkan perhatian pada remaja-kelompok usia yang sering terlihat ‘baik-baik saja’, tetapi menyimpan pengalaman menyakitkan tanpa ruang aman untuk bercerita.

Mengapa Remaja Sulit Bercerita?

Ada anggapan bahwa jika kekerasan benar-benar berat, korban pasti akan berbicara. Kenyataannya, bagi remaja, diam sering menjadi strategi bertahan hidup. Bukan karena mereka tidak terluka, melainkan karena lingkungan belum siap mendengar.

Pada usia ini, remaja masih belajar memahami emosi dan menafsirkan pengalaman. Ketika lingkungan memberi sinyal bahwa cerita mereka akan diragukan atau dianggap berlebihan, pilihan untuk diam terasa lebih rasional.

Beberapa alasan yang kerap muncul antara lain:

Pertama, takut disalahkan. Respons seperti

terlalu sensitif’ atau ’jangan lebay’ membuat remaja ragu untuk membuka diri.

Kedua, takut mempermalukan keluarga. Kekhawatiran dianggap membawa aib, terutama jika pelaku adalah sosok yang dihormati, membuat banyak kasus didiamkan.

Ketiga, pernah diabaikan. Keluhan tentang perundungan atau kekerasan verbal kerap dianggap bercanda atau sepele.

Keempat. tidak punya kosakata uang tepat. Banyak remaja merasa ada yang salah, tetapi tidak tahu bagaimana menyebutnya. Akibatnya, pengalaman mereka sering dianggap mengada-ada.

Menulis sebagai Ruang Aman

Ironisnya, kekerasan sering terjadi di ruang yang seharusnya aman-rumah, sekolah, atau komunitas. Ketika lingkungan tidak peka, remaja belajar bahwa melapor dianggap berlebihan, sementara perasaan mereka tidak penting.

Tidak semua orang bisa menjadi psikolog atau pekerja sosial. Namun, setiap orang dapat mulai dengan hal paling mendasar: mendengarkan tanpa menghakimi.

Di saat belum ada orang dewasa yang siap membantu, menulis bisa menjadi ruang aman yang sederhana. Menulis memberi jarak dari penilaian, kebebasan memilih kata dan ruang untuk memahami pengalaman sendiri. Bagi remaja, menulis bukan sekadar tugas sekolah, melainkan cara tetap bersuara ketika berbicara terasa terlalu berisiko.

Tulisan ini menjadi ajakan agar kita lebih peka dan lebih hadir. Karena suara yang tidak terdengar, bukan berarti tidak ada. Mereka berhak tumbuh dengan rasa aman.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Menko PMK: 12 Kabupaten/Kota Beralih ke Fase Pemulihan Pascabencana di Tiga Provinsi
• 23 jam lalutvrinews.com
thumb
Negara Beri Remisi Natal bagi 16.078 Napi dan Anak Binaan, Termasuk Harvey Moeis
• 23 jam lalukompas.id
thumb
Prabowo: Natal adalah Momentum Perkuat Persatuan dan Gotong Royong
• 22 jam lalukumparan.com
thumb
Presiden RI Tekankan Persatuan dan Kemandirian Pangan
• 11 jam lalutvrinews.com
thumb
Komdigi Targetkan 90 Persen Pemulihan Jaringan di Lokasi Banjir Sumatra
• 21 jam laluidntimes.com
Berhasil disimpan.