Menggoyang Kedigdayaan Dollar AS

kompas.id
10 jam lalu
Cover Berita

Lebih dari tiga perempat abad sudah dollar AS mendominasi struktur perekonomian global. Selama itu pula, dollar AS memainkan peran sentralnya di berbagai lini. Posisinya pun tetap kokoh meski beberapa negara berupaya menggulingkan dollar AS.

Nyatanya, mata uang dollar AS tidak hanya digunakan masyarakat global sebagai alat tukar. Lebih dari itu, ia memiliki peran sebagai satuan hitung, penyimpan nilai, bahkan masih dianggap sebagai aset aman (safe haven).

Badan Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD), melalui laporan Perdagangan dan Pembangunan 2025 bertajuk ”On the Brink: Trade, Finance, and the Reshaping of the Global Economy” menegaskan, posisi dollar AS sebagai mata uang internasional yang paling dominan.

Selama periode 2000-2024, porsi kepemilikan bank-bank sentral global terhadap dollar AS sebagai cadangan devisa dalam bentuk aset mata uang memang turun 13,7 persen. Sebaliknya, beberapa mata uang, seperti dollar Kanada, euro Uni Eropa, serta pound sterling Inggris tumbuh.

Meski demikian, pangsa aset mata uang dollar AS dalam portofolio bank sentral secara global mencapai lebih dari 50 persen. Artinya, tidak satu pun mata uang lain yang secara tunggal mampu menggantikan posisi dollar AS sebagai jangkar dari sistem moneter global.

Bahkan, dalam transaksi keuangan global, komposisi dollar AS selama lima tahun terakhir justru meningkat, dari sebelumnya di bawah 40 persen pada 2020 menjadi hampir 50 persen pada 2025. Ini tampak dari transaksi jaringan komunikasi keuangan global untuk mengirim instruksi pembayaran antarbank (SWIFT).

Selain itu, pangsa dollar AS di pasar valuta asing (valas) derivatif pun masih terjaga di atas 50 persen selama 25 tahun terakhir. Pun demikian pangsa utang dalam bentuk dollar AS meningkat 0,5 persen poin, dari sebesar 46,7 persen pada 2019 menjadi sebesar 47,2 persen pada 2025.

Di sisi lain, laporan dari UNCTAD tersebut juga menyoroti upaya diversifikasi cadangan devisa oleh beberapa bank sentral dengan meningkatkan kepemilikan emas atau menggunakan mata uang alternatif. Akan tetapi, tren tersebut hanya bersifat parsial dan belum membentuk struktur yang multipolar.

Ke depan, upaya untuk menggantikan posisi dollar AS diperkirakan akan berjalan melalui diversifikasi secara bertahap. Namun, tanpa reformasi kelembagaan dan koordinasi internasional yang kuat, dominasi dollar AS tidak akan tergantikan sekalipun ketegangan dan volatilitas meningkat.

Tidak mudah

Posisi dominasi dollar AS dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah panjang di baliknya. Di sisi lain, perlawanan dari blok ekonomi baru (BRICS) belakangan pun masih membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk bisa memutar roda hegemoni dari dollar AS tersebut.

Ekonom Bright Intitute Yanuar Rizky menjelaskan, kepercayaan dasar dunia terhadap mata uang sejatinya bersandar pada emas. Maka, dominasi dollar AS pun erat kaitannya dengan jumlah emas yang dimiliki AS hingga saat ini.

Jauh sebelum dollar AS mendapatkan takhtanya, Presiden AS Roosevelt merevaluasi harga emas melalui regulasi pada 1934. Kebijakan ini diambil demi menyehatkan neraca keuangan AS yang kala itu terancam gagal bayar utang.

Dollar tetap akan dipertahankan dengan dia (AS) membuat harga emas naik oleh pasar, bukan oleh undang-undang (sebagaimana pernah dilakukan pada 1934).

Kemudian, setelah Perang Dunia II, sebanyak 44 negara dalam perjanjian Bretton Woods pada 1944 sepakat untuk menjadikan dollar AS sebagai jangkar bagi mata uang global. Alasannya, jumlah dan rasio cadangan emas dalam neraca moneter AS saat itu tercatat paling besar.

”Sejak saat itu, dollar AS menjadi acuan utama dalam sistem perdagangan dan kliring internasional (SWIFT),” katanya saat dihubungi dari Jakarta pada Jumat (19/12/2025).

Di tengah bank-bank sentral global mulai menambah jumlah cadangan emas mereka, cadangan emas AS masih yang tertinggi. Dibandingkan dengan China yang baru 7 persen, pangsa volume cadangan emas AS mencapai 54 persen dari total cadangan emas bank sentral dunia.

Selain itu, AS tetap menjaga dominasi mata uangnya, antara lain melalui pendekatan neraca (balance sheet approach). Langkah ini dilakukan Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), dengan melepas surat utang pemerintah agar rasio cadangan emas mereka kembali pulih dan sehat.

Di sisi lain, manajer investasi terus membeli emas terhitung sejak 2022. Dengan kata lain, tren lonjakan harga emas global yang berlangsung selama tiga tahun terakhir pun tidak lepas dari upaya AS dalam menjaga dominasi mata uangnya.

”Artinya, dollar tetap akan dipertahankan dengan dia (AS) membuat harga emas naik oleh pasar, bukan oleh undang-undang (sebagaimana pernah dilakukan pada 1934),” ujar Yanuar.

Sementara itu, upaya untuk meninggalkan dollar AS alias dedolarisasi sebagaimana tengah digencarkan oleh BRICS bukanlah fenomena baru. Upaya serupa pernah dilakukan, antara lain, oleh Jerman pada 1930-an dan Jepang pada 1970-an.

Kedua negara itu sama-sama mencoba menantang dominasi dollar AS ketika Pemerintah AS tengah berada dalam posisi hampir gagal bayar utang. Hasilnya, dollar AS masih menjadi primadona hingga saat ini dan posisinya belum tergantikan oleh mata uang negara lain.

Kini, langkah tersebut kembali dilakoni oleh China dan Rusia melalui aliansi mereka, BRICS. Menurut Yanuar, inisiatif dari BRICS bukan perkara mudah. Bahkan, bukan tidak mungkin jika ujung dari perlawanan terhadap dollar AS itu akan melahirkan perang sebagaimana pernah dialami Jerman sebelumnya.

Mata uang lokal

Pada saat yang sama, Indonesia pun masih terus berupaya mengurangi tingkat ketergantungan pada dollar AS. Langkah ini antara lain ditempuh dengan menjalin kerja sama dengan mitra dagang terkait penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal (local currency settlement/LCS).

Bank Indonesia mencatat, total nilai transaksi melalui LCS selama periode Januari-November 2025 telah mencapai 22,13 miliar dollar AS. Angka ini meningkat 77,04 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 12,5 miliar dollar AS.

Transaksi tersebut terjalin dengan sejumlah negara, yakni Malaysia, Thailand, China, Jepang, dan terbaru dengan Korea Selatan serta Uni Emirat Arab. Adapun transaksi LCS itu didominasi oleh China dengan pangsa mencapai 64 persen, disusul Jepang sebesar 17,8 persen dari total transaksi.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menyampaikan, BI akan mengembangkan pasar uang valas dalam bentuk rupiah, renminbi China, dan yen Jepang sebagai respons atas pesatnya transaksi LCS Indonesia dengan China dan Jepang.

”Dengan diversifikasi penggunaan valas yang makin beragam, tentu ini juga secara gradual akan mengurangi ketergantungan atau tekanan dari mata uang dollar AS,” ujarnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Desember 2025, secara daring, Rabu (17/12/2025).

Ia menambahkan, perkembangan LCS dengan sejumlah negara terus menunjukkan tren positif. Ke depan terdapat beberapa negara yang tengah mengajukan kerja sama dengan Indonesia dalam bentuk LCS.

Belum lama ini, Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman dengan India dan Singapura terkait kerja sama LCS. Selain itu, BI juga tengah menjajaki kerja sama dengan Hong Kong mengingat transaksi perdagangan dan investasi dengan Hong Kong terbilang besar.

Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual berpendapat, LCS telah mengurangi tingkat ketergantungan dollar AS dalam pembayaran impor Indonesia. Ini tampak dari turunnya porsi pembayaran dollar AS, dari 88 persen pada 2022 menjadi 80,5 persen pada Oktober 2025.

”Ini menunjukkan efektivitas kebijakan LCS BI dalam mengurangi penggunaan dollar AS dalam perdagangan luar negeri Indonesia,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta pada Jumat (19/12/2025).

Dibandingkan dengan renminbi, capital controls yang diterapkan di China menjadi penghalang utama dalam meningkatkan penggunaan renminbi dalam perdagangan global.

Akan tetapi, porsi transaksi yang menggunakan mata uang rupiah dalam pembayaran impor cenderung masih stagnan, berkisar 3,3-3,4 persen dalam tiga tahun terakhir. Di sisi lain, pembayaran impor dalam renminbi justru meningkat signifikan.

Meski demikian, menurut David, posisi dollar AS dalam perdagangan global masih akan sulit digantikan. Alasannya, dollar AS didukung oleh pasar keuangan AS yang likuid, instrumen keuangan yang beragam, menjamin free movement of capital, dan infrastruktur finansial dan legal yang tepercaya.

”Dibandingkan dengan renminbi, capital controls yang diterapkan di China menjadi penghalang utama dalam meningkatkan penggunaan renminbi dalam perdagangan global,” ujarnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Penerbangan Jemaah Umrah Rute Jeddah-Jakarta Delay 2 Hari, Lion Air Minta Maaf
• 5 jam lalukumparan.com
thumb
Beragam Momen Perayaan Natal 2025
• 7 jam lalukumparan.com
thumb
Viral di Media Sosial, Kampung Heritage Kayutangan Jadi Favorit Wisatawan | SAPA PAGI
• 4 jam lalukompas.tv
thumb
Prediksi Tren Parenting di 2026, Apa yang Akan Berubah dalam Pola Asuh Anak?
• 3 jam lalukumparan.com
thumb
Optimalkan Penanganan, 11 Kabupaten/Kota di Aceh Perpanjang Status Tanggap Darurat Bencana
• 18 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.