Anomali Makan Bergizi Gratis di Indonesia

kompas.id
13 jam lalu
Cover Berita

Makan di sekolah di berbagai negara terbukti mengurangi kekurangan gizi, menurunkan angka kematian terkait diet, selain ramah lingkungan. Ada empat pilar yang harus dipenuhi agar makan di sekolah bisa menyehatkan serta berkelanjutan, tapi Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia masih jauh dari keempat hal tersebut.

Sebuah studi pemodelan baru yang dipimpin oleh Marco Springmann, ahli kesehatan masyarakat dari University College London (UCL), mengungkap tentang manfaat program maka siang di sekolah.

Studi ini merupakan bagian dari kumpulan makalah yang diterbitkan di The Lancet Planetary Health oleh anggota Research Consortium for School Health and Nutrition, sebuah inisiatif penelitian independen dari School Meals Coalition.

Makalah-makalah tersebut menemukan bahwa program makanan sekolah di berbagai negara yang dirancang dengan baik dapat menjadi investasi strategis untuk masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Dengan menggabungkan pemodelan, studi kasus, dan bukti dari berbagai disiplin ilmu, kumpulan enam makalah ini menunjukkan bagaimana program makanan sekolah yang ramah lingkungan dapat secara bersamaan meningkatkan gizi anak.

Selain itu, kumpulan sejumlah makalah tersebut menunjukkan, mengurangi prevalensi penyakit jangka panjang terkait diet, mengurangi tekanan iklim dan lingkungan, dan merangsang sistem pangan yang lebih tangguh dan agrobiodiversitas.

Serial Artikel

Makan ”Berbahaya” Gratis

Keberadaan makanan ultra-olahan dalam menu Makan Bergizi Gratis menunjukkan adanya berlapis masalah dalam program ini. 

Baca Artikel
Investasi makan di sekolah

Data menunjukkan, sistem pangan global saat ini bertanggung jawab atas sepertiga emisi gas rumah kaca yang disebabkan manusia sekaligus berkontribusi pada meningkatnya kekurangan gizi dan penyakit terkait diet. Pada saat yang sama, program makan siang sekolah secara global telah memberi makan 466 juta anak setiap hari.

Pemodelan kami menunjukkan makanan sekolah yang sehat dan berkelanjutan bisa menghasilkan keuntungan kesehatan dan lingkungan yang substansial di setiap wilayah di dunia.

Studi pemodelan yang dipimpin Springmann menemukan bahwa menyediakan makanan sehat dan berkelanjutan untuk tiap anak tahun 2030 bisa mengurangi kekurangan gizi global 24 persen, dengan dampak amat kuat di area rawan pangan. Hal itu berarti 120 juta orang di dunia lebih sedikit yang kekurangan vitamin, mineral, dan energi dari makanan.

Selain itu pemberian makan siang di sekolah bisa mencegah lebih dari 1 juta kematian tiap tahun akibat penyakit terkait diet seperti diabetes dan penyakit jantung koroner, dengan asumsi anak-anak sekolah saat ini mempertahankan sebagian preferensi pada makanan sehat hingga dewasa.

KOMPAS
Salah satu program yang memikat masyarakat dan sudah direalisasi pada 6 Januari 2025 adalah Makan Bergizi Gratis (MBG). Bagaimana MBG semestinya bisa menjadi salah satu mesin pendongkrak untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di tahun 2025?

Manfaat positif lainnya yakni mengurangi separuh dampak lingkungan terkait makanan, termasuk emisi dan penggunaan lahan, ketika makanan mengikuti pola diet sehat dan berkelanjutan, misalnya dengan meningkatkan proporsi sayuran dan mengurangi produk daging dan susu.

Pada akhirnya, makan siang di sekolah bisa menghasilkan penghematan kesehatan dan iklim yang besar, secara signifikan mengimbangi kebutuhan investasi.

"Pemodelan kami menunjukkan makanan sekolah yang sehat dan berkelanjutan bisa menghasilkan keuntungan kesehatan dan lingkungan yang substansial di setiap wilayah di dunia,” ujarnya.

” Yang penting, penghematan iklim dan kesehatan yang dihasilkan dari diet lebih sehat dan emisi lebih rendah dapat membantu mengimbangi biaya perluasan program makanan sekolah. Buktinya jelas: berinvestasi dalam makanan sekolah efektif dan ekonomis," kata Springmann.

Empat pilar makan di sekolah

Kumpulan artikel ilmiah di jurnal kesehatan ini telah menyajikan kerangka kerja konseptual mengenai bagaimana makan siang sekolah bisa mendorong transformasi sistem pangan secara sistemik berskala besar, yang terstruktur di sekitar empat pilar penting.

Pilar pertama, menu makan sekolah harus sehat, beragam, dan relevan dengan budaya lokal. Kedua, metode memasak yang bersih dan higienis. Ketiga, mengurangi susut dan sisa pangan. Keempat, diintegrasikan dengan pendidikan pangan holistik yang menghubungkan anak-anak, keluarga, dan masyarakat.

Bersama-sama, keempat pilar ini menawarkan jalan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesehatan anak dan literasi pangan, memperkuat keanekaragaman hayati pertanian, merangsang produksi ekologis lokal, dan membangun sistem pangan yang tahan terhadap perubahan iklim.

Yang terpenting, kerangka kerja ini menekankan, pilar-pilar ini harus diintegrasikan ke dalam aturan pengadaan publik, standar nutrisi, dan reformasi kebijakan untuk membuka potensi penuhnya dan menggeser permintaan ke arah sistem pangan lebih sehat dan berkelanjutan.

Silvia Pastorino, Kepala Bidang Diet & Kesehatan Planet untuk Konsorsium Penelitian yang berbasis di London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM), mengatakan, "Kerangka kerja ini menyoroti bagaimana makanan sekolah bukan hanya program nutrisi—tapi juga merupakan pengungkit yang ampuh untuk transformasi sistem pangan."

Hal ini berarti, program makan di sekolah tidak hanya memberikan makan bergizi ke siswa, namun menjadi alat untuk pendidikan gizi. "Ketika makanan sehat, berkelanjutan, dan terkait pendidikan pangan, makanan tersebut meningkatkan kesejahteraan anak-anak saat ini,” tuturnya.

Selain itu, makanan sehat dan berkelanjutan menumbuhkan kebiasaan berkelanjutan jangka panjang, sekaligus membantu negara-negara melindungi keanekaragaman hayati, mengurangi emisi, dan membangun komunitas yang tangguh.

Kerangka kerja ini dibangun berdasarkan wawasan yang pertama kali diterbitkan dalam ”Kertas Kebijakan Konsorsium Riset tahun 2023”, "Makanan Sekolah dan Sistem Pangan," yang didukung 164 peneliti dari 87 organisasi di seluruh dunia, yang juga dikoordinasikan Pastorino.

Dalam laporan sebelumnya oleh Mariana Mazzucato dan Sarah Doyle dari UCL Institute of Innovation and Public Purpose bekerja sama dengan Program Pangan Dunia PBB pada September 2025.

Para periset meneliti cara-cara pemerintah menggunakan pengadaan makanan sekolah untuk mendorong praktik pertanian lebih baik, meningkatkan akses ke makanan bergizi, dan meningkatkan pembangunan ekonomi lokal.

Dengan meneliti studi kasus Skotlandia, Swedia, dan Brasil, tim tersebut mengeksplorasi apa yang telah dilakukan untuk menggunakan makanan sekolah sebagai instrumen ekonomi, dan peluang apa yang ada.

Mereka menyimpulkan, makanan sekolah adalah salah satu jaring pengaman sosial paling luas di dunia, menjangkau 466 juta anak. Dengan pengeluaran 84 miliar dollar AS tiap tahun, makanan sekolah merupakan alat yang berpotensi ampuh bagi pemerintah membentuk ekonomi dan mendorong transformasi berkelanjutan pada sistem pangan.

Evaluasi MBG

Jika kita bandingkan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia masih menyimpang dari empat pilar yang disyaratkan oleh para ahli di The Lancet ini agar makan siang di sekolah menyehatkan dan ramah lingkungan. Misalnya, pada pilar pertama soal menu yang sehat, beragam, dan relevan dengan budaya lokal.

Hingga kini program MBG masih menyajikan menu nyaris seragam untuk berbagai wilayah Indonesia, yang memiliki keberagaman sumber pangan dan budaya pangan lokal. Beras menjadi karbohidrat utama, selain gandum yang 100 persen dari impor.

Apalagi belakangan ini, menjelang hari libur, menu MBG yang diberikan banyak menyajikan pakan ultra-olahan seperti roti gandum dan biskuit tinggi gula yang justru melanggar aspek kesehatan.

Terkait pilar pertama ini, kita bisa mencontoh program makan di sekolah Brasil, yang memiliki prinsip beri makan anak, perkuat petani, berdayakan masyarakat.

Regulasi di Brasil telah memandatkan agar anggaran makan siang di sekolah dialokasikan minimal 30 persen untuk membeli makan dari petani kecil, menyesuaikan menu dengan budaya lokal, dan melarang penggunaan makanan pabrikan dan ultra-olahan.

Pilar kedua soal metode memasak yang bersih dan higienis juga masih menjadi tantangan, seiring dengan tingginya kasus keracunan siswa dalam MBG. Pilar ketiga soal susut dan sisa pangan, ini justru menjadi masalah besar. Banyak laporan yang menyebutkan tentang MBG yang tak termakan sehingga dibuang.

Demikian halnya, pilar keempat soal pendidikan pangan holistik yang menghubungkan anak-anak, keluarga, dan masyarakat. Sejauh ini, MBG hanya memberikan makanan, tanpa ada edukasi pangan sehat. Ini amatt berbeda misalnya dengan Jepang yang mengintegrasikan program makan di sekolah dengan shokuiku alias literasi gizi dan pendidikan perilaku.

Di Jepang, makan siang di sekolah menjadi momen belajar, di mana siswa diajari mengenal bahan, asal makanan, dan nilai gizi lewat pengantar menu, kegiatan berkebun, atau pelajaran terkait makanan.

Bahkan, mereka mengajarkan perilaku disiplin antre hingga bertanggungjawab menghabiskan makanan dan membersihkan sendiri peralatan makan. Dampaknya, perilaku makan sehat terinternalisasi sejak dini yang menjadi kebiasaan bertahan seumur hidup.

Jadi, program MBG di Indonesia mengikuti model yang mana?


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pendukung BNP Padati Dhaka Sambut Kepulangan Tarique Rahman
• 23 jam laludetik.com
thumb
Bacaan Tahlil Singkat Lengkap: Arab, Latin, dan Doa Arwah
• 5 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Pasokan Aman, Ternyata Segini Beban Puncak Penggunaan Daya Listrik saat Malam Natal
• 16 jam laluviva.co.id
thumb
Pemprov Aceh Perpanjang Status Tanggap Darurat hingga 2 Pekan
• 13 jam lalugenpi.co
thumb
Warga Tapanuli Tengah khidmat rayakan Natal di pos pengungsian
• 18 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.