FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Akademisi Henri Subiakto punya pandangan pribadi soal kasus hangat terkait aktivis Laras Faizati Khairunnisa.
Adapun kasus yang menimpa Laras Faizati Khairunnisa berawal dari unggahan sosial media yang berbuntut panjang.
Ia diduga melakukan penghasutan dalam demonstrasi yang berujung kerusuhan pad akhir Agustus lalu.
Buntutnya, Laras kemudian dijatuhi hukuman kurungan penjaga.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Laras Faizati Khairunnisa binti Wahyu Kuncoro tersebut dengan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
Ia tetap mendapatkan hukuman meski Komisi Percepatan Reformasi Polri telah meminta para aktivis terkait peristiwa itu dibebaskan
Ini yang kemudian dapat berbagai respon keras salah satunya datang dari Henri Subiakto.
Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, ia bahkan menyuarakan agar Laras segera dibebaskan.
Berdasarkan pengamatan pribadinya soal kasus ini, ia menyebut ini sebagai contoh aktivis yang mendapatkan kriminalisasi.
“LARAS HARUS BEBAS!!
Secara pribadi saya terus mengamati dan mengikuti bagaimana para aktivis demokrasi dikriminalisasi. Salah satunya Laras Faizati Khairunnisa ditangkap pada 1 September 2025 dan mulai ditahan sejak 2 September 2025 di Rutan Bareskrim Polri (kemudian dipindah ke tahanan jaksa dan rutan lain selama proses persidangan),” tulisnya dikutip Jumat (26/12/2025).
“Penahanan berlangsung lama (sekitar 4 bulan hingga akhir Desember 2025). Ia ditahan dengan dakwaan pasal pasal yg sanksi pidananya rata rata di atas 5 tahun. Inilah kedzoliman dan ketidaktepatan penerapan pasal yang dipakai menjerat terdakwa. Pasal-pasal yang dituduhkan (dakwaan berlapis dari jaksa),” tambahnya.
Soal pasal yang dikenakan ke Laras yakni Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga dikritiknya.
Menurut Henri penggunaan pasal ini salah besar, karena kejadian yang terjadi bulan Agustus itu tidak ada hubungannya dengan provokasi jika mengacu dengan makna pasal tersebut.
Belum lagi pasal lain yang dikenakan, seperti Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) atau (2) UU ITE yang disebutnya salah.
“Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE (penyebaran informasi elektronik yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA atau kelompok tertentu). Penggunaan pasal ini salah besar krn kerusuhan Agustus itu gak ada hubungannya dengan provokasi dan peristiwa SARA. Pakai pasal 28 ayat (2) ini sudah ngawur,” jelasnya.
“Kemudian penggunaan Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) atau (2) UU ITE, perubahan, perusakan, atau penyembunyian informasi/dokumen elektronik secara melawan hukum) ini juga salah. Pasal ini ditujukan larangan pada para hacker, bukan aktivis demokrasi. Tidak ada perbuatan mengubah informasi elektronik yg dilindungi UU ITE oleh aktivis demokrasi seperti Laras ini. Logis kalau akhirnya UU ITE tdk bisa dipakai dalam dakwaan dan tuntutan jaksa. Kasihan sekali mereka dikriminalisasi dengan penggunaan pasal pasal yg salah penerapan seperti ini,” lanjutnya.
“Lalu ada lagi yang dipakai yaitu Pasal 160 KUHP (penghasutan secara lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan pidana atau melawan penguasa umum). Dan Pasal 161 ayat (1) KUHP (penyebaran tulisan/foto yang menghasut melakukan kekerasan atau perlawanan terhadap penguasa),” tuturnya.
“Tuduhan utama berasal dari unggahan Instagram Story Laras pada akhir Agustus 2025, saat demonstrasi berujung kerusuhan (termasuk kematian seorang ojol dilindas kendaraan polisi). Unggahan itu dianggap menghasut massa untuk membakar gedung Mabes Polri dan menyebarkan kebencian terhadap institusi Polri,” paparnya.
Menurutnya penyebab besar terjadi kerusuhan dari para demonstran di bulan Agustus itu besar pengaruhnya dari kematian Driver Ojol, Affan Kurniawan
Dan dari kasus ini, Henri menyebut aparat penegak hukum sering salah menggunakan pasal pidana yang mendekati.
“Ingat kerusuhan terjadi adalah setelah ada kematian Driver Ojol, Affan Kurniawan yg secara dramatis terlindas mobil rantis polisi. Jadi yg membuat marah demonstran itu ya kematian Affan ini. Artinya kerusuhan penyerangan kantor polisi itu dikarenakan adanya kematian driver ojol. Bukan karena provokasi konten dari aktivis,” ucapnya.
“Sementara pasal 161 KUHP itu adalah Delik Materiel, Jaksa harus membuktikan kebenaran bahwa munculnya kerusuhan itu benar2 dikarenakan tulisan atau ujaran terdakwa. Ini yang tidak masuk pasal yang didakwakan tersebut,” terangnya.
“Cuma aparat sering asal pakai pasal pidana yang mendekati, walau sebenarnya norma larangannya tidak memenuhi unsur. Karena itu sudah sepantasnya hakim membebaskan Laras Faizati dan terdakwa lain yang kasusnya juga adanya kriminalisasi yang hampir sama, dengan penggunaan pasal pasal yg tidak tepat,” pungkasnya.
(Erfyansyah/fajar)





