EtIndonesia. Presiden Volodymyr Zelenskyy secara resmi mengumumkan bahwa Ukraina akan segera menjatuhkan sanksi terhadap individu-individu asal Tiongkok yang terlibat langsung dalam kerja sama dengan kompleks industri militer Rusia.
Pengumuman tersebut disampaikan Zelenskyy melalui akun resmi Telegram miliknya pada 22 Desember, dan langsung menarik perhatian komunitas internasional karena menandai perubahan signifikan dalam kebijakan sanksi Ukraina.
Dalam pernyataannya, Zelenskyy menegaskan bahwa setidaknya satu paket sanksi telah disiapkan secara khusus untuk menargetkan individu yang bekerja sama dengan industri pertahanan Rusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Sanksi ini tidak hanya menyasar warga negara Rusia, tetapi juga mencakup warga negara Tiongkok yang membantu mesin perang Rusia,” tegas Zelenskyy.
Dari Perusahaan ke Individu: Eskalasi Baru Kebijakan Sanksi Ukraina
Sebelumnya, Ukraina telah lebih dahulu menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah perusahaan asal Tiongkok, dengan tuduhan memasok komponen drone, suku cadang militer, dan teknologi pendukung kepada Rusia.
Namun, kebijakan terbaru ini menandai eskalasi penting, karena untuk pertama kalinya sanksi diperluas dari level korporasi ke level individu.
Para pengamat menilai langkah ini sebagai:
- sinyal keras kepada Beijing,
- upaya mempersempit jalur dukungan non-Barat terhadap Rusia,
- serta bentuk tekanan diplomatik terhadap aktor-aktor asing yang selama ini beroperasi di “zona abu-abu” konflik.
Zelenskyy juga menambahkan bahwa sebelum akhir tahun 2025, Ukraina berencana mengumumkan paket sanksi tambahan terhadap:
- entitas yang berafiliasi dengan Rusia,
- individu yang membantu agresi militer Rusia,
- serta pihak-pihak yang menyebarkan pembenaran perang melalui media massa.
Respons Beijing: Kecaman Keras dan Ancaman Balasan
Menanggapi rencana sanksi yang dijadwalkan mulai diberlakukan pada 23 Desember, Lin Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, mengeluarkan pernyataan keras.
Dalam konferensi pers resminya, Lin Jian:
- mengecam langkah Ukraina sebagai pelanggaran hukum internasional,
- menuntut Kyiv segera “memperbaiki kesalahan”,
- serta menegaskan bahwa Beijing akan “melindungi kepentingan perusahaan dan warga negara Tiongkok dengan tegas.”
Sebuah media berbahasa Inggris di Ukraina bahkan menggambarkan pernyataan tersebut sebagai janji Beijing untuk melindungi warga yang membantu mesin perang Rusia, sebuah framing yang langsung memicu perdebatan luas di media internasional.
Dugaan “Perang Non-Militer”: Strategi Jebakan Seksual PKT Terungkap
Di tengah ketegangan geopolitik tersebut, perhatian publik kembali tertuju pada metode non-militer yang diduga digunakan Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk memperluas pengaruhnya.
Pada 24 Desember, dosen madya Universitas York University, Kanada, Shen Rongqin, mengungkap kesaksian mengejutkan melalui unggahan Facebook pribadinya.
Dia mengungkap pengalaman mantan penasihat delegasi Jepang di PBB, Hirofumi Ono, yang mengaku pernah menjadi target langsung “strategi wanita cantik” PKT.
Menurut Shen, Ono menceritakan bahwa saat kunjungan ke Tiongkok:
- dia kembali ke kamar hotel dan mendapati seorang wanita muda sudah menunggunya di atas tempat tidur,
- wanita tersebut sangat cantik, mirip aktris Tiongkok yang sedang dia kagumi,
- fasih berbahasa Jepang,
- dan jelas menunjukkan bahwa seluruh skenario telah dirancang dengan sangat matang.
Shinzo Abe hingga Umpan “Pria Tampan”
Lebih jauh, Shen mengungkap bahwa pengalaman serupa pernah dialami mendiang Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe.
Karena Abe berulang kali menolak pendekatan seksual, pihak Tiongkok bahkan sempat:
- salah menilai bahwa Abe “tidak tertarik pada wanita”,
- lalu mencoba mengganti pendekatan dengan mengirim pria tampan sebagai umpan.
Shen menekankan bahwa:
- mereka yang berani mengungkap metode semacam ini biasanya adalah pihak yang menolak godaan,
- sementara mereka yang menerima justru akan terjerat, menjadi sandera kepentingan, dan memilih bungkam.
Taiwan, Spionase, dan Implikasi yang Mengkhawatirkan
Shen kemudian mengajukan pertanyaan yang sangat sensitif namun menggelitik:
- politisi Taiwan jauh lebih sering berkunjung ke Tiongkok dibanding politisi Jepang,
- dana “front persatuan” PKT untuk Taiwan juga jauh lebih besar,
- namun justru pejabat Jepang yang lebih dulu membuka tabir ini.
Dia mempertanyakan: “Apakah para politisi Taiwan benar-benar kebal terhadap godaan seksual?”
Pertanyaan tersebut semakin mengerikan ketika Shen mengungkap bahwa sebagian besar kasus spionase PKT yang terungkap di Taiwan dalam beberapa tahun terakhir terkonsentrasi di lingkungan militer.
Sebagai contoh:
- dua bulan lalu, seorang agen wanita PKT menggunakan rayuan seksual untuk mendekati seorang sersan di Satuan Hai Feng Angkatan Laut Taiwan,
- dan berhasil memperoleh manual operasi rudal Hsiung Feng III.
Agen PKT Berkedok Jurnalis BBC di Eropa
Selain itu, pada bulan lalu, terungkap pula kasus lain yang mengejutkan:
- seseorang yang selama bertahun-tahun beroperasi dengan identitas sebagai jurnalis BBC,
- ternyata adalah agen intelijen PKT,
- dan bahkan sempat mencoba menggoda pejabat senior sebuah organisasi internasional di Brussel, Belgia.
Kesimpulan: Realitas Pahit Dunia Intelijen Barat
Shen Rongqin menutup analisanya dengan kesimpulan tajam:
- meskipun Inggris mengklaim menghadapi hingga 500 ribu agen intelijen PKT,
- kemampuan respons negara-negara Barat dalam menghadapi perang intelijen semacam ini jauh dari gambaran heroik film James Bond.
Seorang warganet bahkan menyindir dengan pedas: “PKT adalah perusahaan asuransi tenaga kerja terbesar di dunia.”
Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran global bahwa konflik modern tidak lagi hanya berlangsung di medan perang, tetapi juga di ranah diplomasi, intelijen, ekonomi, dan manipulasi psikologis—wilayah yang kerap luput dari sorotan publik.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5455772/original/091987100_1766732071-Screenshot_2025-12-26_134740.png)
