Pelajaran Tsunami Aceh: Smong dan Komunikasi Risiko yang Menyelamatkan Nyawa

kompas.tv
5 jam lalu
Cover Berita
Seorang wanita lanjut usia Aceh duduk di reruntuhan rumahnya dekat kota Meulaboh, Provinsi Aceh, Rabu, 5 Januari 2005. Gempa bumi dan tsunami melanda provinsi tersebut pada 26 Desember 2004, menyebabkan lebih dari 94.000 orang tewas di negara itu. (Sumber: Foto AP/Dita Alangkara)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Gempa besar yang mengguncang Samudra Hindia pada 26 Desember 2004 menjadi pengingat pahit tentang rapuhnya manusia di hadapan bencana alam. 

Gempa bermagnitudo 9,1 dengan kedalaman sekitar 10 kilometer itu terjadi pukul 07.59 waktu setempat dan berlangsung hampir 10 menit. Getaran kuat menyebabkan air laut surut secara tiba-tiba. 

Di sejumlah pesisir Aceh, warga justru mendekat ke pantai untuk melihat kondisi laut dan mengumpulkan ikan, tanpa menyadari bahwa sekitar 30 menit kemudian gelombang tsunami setinggi hingga 30 meter akan datang menerjang.

Baca Juga: Tsunami Aceh 26 Desember 2004: Tragedi Megathrust yang Mengubah Mitigasi Bencana Indonesia

Tanpa sistem peringatan dini yang memadai, minimnya pengetahuan masyarakat, serta manajemen bencana yang belum siap, gelombang tsunami menghantam wilayah pesisir Aceh dan sekitarnya dengan kecepatan sangat tinggi. 

Dampaknya meluas hingga ke sejumlah negara lain di kawasan Samudra Hindia. Di Indonesia, tercatat 166.080 orang meninggal dunia dan 6.245 orang dinyatakan hilang, menjadikan jumlah korban Indonesia sebagai yang tertinggi. 

Kerugian ekonomi akibat bencana ini diperkirakan mencapai Rp49 triliun, sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutnya sebagai bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern.

Namun, dari tragedi tersebut lahir pelajaran penting: bencana bukan hanya soal kekuatan alam, tetapi juga soal komunikasi risiko—bagaimana informasi dipahami dan direspons oleh masyarakat dalam waktu yang sangat terbatas.

Komunikasi Risiko sebagai Fondasi Ketangguhan

Kajian kebencanaan pascatsunami Aceh menunjukkan bahwa kegagalan komunikasi risiko berkontribusi besar terhadap tingginya jumlah korban. 

Risiko tidak berhenti pada ancaman fisik, melainkan juga menyangkut cara pesan bahaya disampaikan, dipercaya, dan ditindaklanjuti. 

Sejak 1980-an, komunikasi risiko berkembang sebagai strategi utama pengurangan dampak bencana, seiring meningkatnya kompleksitas risiko dan perkembangan teknologi informasi.

Pengalaman tsunami Aceh kemudian mendorong komitmen global terhadap pengurangan risiko bencana yang dirumuskan dalam Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015–2030. 

Salah satu penekanannya adalah pentingnya komunikasi risiko dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat agar mampu merespons secara cepat dan efektif. 

Baca Juga: Cerita SBY Soal Tsunami Aceh, GAM hingga Misi Rahasia Penyelamatan di Laut Somalia

Ketika masyarakat mampu mengenali tanda bahaya, mengambil keputusan tepat, serta pulih bersama, di situlah ketangguhan bencana terbentuk.

Smong: Kearifan Lokal Penyelamat Nyawa

Di tengah besarnya korban tsunami Aceh, terdapat kisah kontras dari Pulau Simeulue. Masyarakat Simeulue memiliki kearifan lokal bernama Smong, sebuah pengetahuan turun-temurun tentang tsunami yang berakar dari pengalaman gempa dan tsunami pada 1907. 

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Desy-Afrianti

1
2
Show All

Sumber : Kompas TV

Tag
  • Smong
  • Smong Simeulue
  • tsunami Aceh
  • tsunami Aceh 2004
  • kearifan lokal Smong
  • komunikasi risiko bencana
Selengkapnya


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Hindari Keramaian, Warga Pilih ke Ragunan di Hari Biasa
• 1 jam laludisway.id
thumb
Al Azhar Memorial Garden Jamin Area Makam Bebas Longsor dan Banjir
• 2 menit lalujpnn.com
thumb
Maruarar Minta Hunian Tetap Korban Bencana Aceh-Sumatera Aman dari Banjir
• 23 jam laludetik.com
thumb
Di Balik Siaga Energi Nataru, Ada Kepedulian yang Bekerja
• 20 jam lalurepublika.co.id
thumb
Momen Haru Saat TNI AU Kirim Bantuan ke Gayo Lues, Warga Hadiahi Personel Durian
• 21 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.