Sentil Slogan Presiden Prabowo, Agus Wahid: Omon-omon

fajar.co.id
5 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Analis Politik, Agus Wahid, mengkritik kebijakan Presiden Prabowo Subianto dalam penanganan krisis pascabencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Ia menegaskan slogan kerja demi rakyat yang kerap disampaikan Presiden Prabowo tidak lebih dari sekadar retorika tanpa keberpihakan nyata di lapangan.

Dikatakan Agus, masalah dugaan politik udang di balik batu dari penolakan bantuan asing masih bisa diperdebatkan.

Namun, yang justru harus digarisbawahi adalah krisis pangan dan kemanusiaan yang sangat serius pascabencana mereda.

“Masalahnya, dugaan politik udang di balik batu itu masih bisa diperdebatkan. Yang harus kita garis-bawahi sebagai hal kedua di depan mata terdapat krisis pangan dan kemanusiaan yang sangat serius pasca bencana mereda,” ujar Agus kepada fajar.co.id, Jumat (26/12/2025).

Ia menuturkan bahwa jenis krisis tersebut tidak mengenal kompromi dan mencerminkan kegagalan serius rezim saat ini dalam memandang persoalan hak hidup umat manusia.

“Jenis krisis ini jelaslah tak kenal kompromi. Inilah kegagalan serius rezim saat ini dalam memandang pesoalan hak hidup umat manusia,” katanya.

Agus menyebut, demi mempertahankan harga diri, kebijakan pemerintah justru mengorbankan hak hidup rakyat yang berada dalam kondisi sangat mendesak.

“Demi mempertahankan harga diri, tapi sejatinya membantai hak hidup umat manusia sebagai rakyat. Kondisinya sangat urgent untuk ditolong,” ucapnya.

Ia kemudian mempertanyakan realisasi slogan Presiden Prabowo.

“Di mana sloganmu demi rakyat, apapun akan diperjuangkan. Omon-omon,” tegas Agus.

Ia menilai kondisi darurat yang dihadapi korban bencana seolah dipandang remeh oleh pengambil kebijakan.

“Tapi, kondisi yang sangat mendesak itu tampaknya dipandang nyanyain sayup-sayup, bahkan tiada,” lanjutnya.

Merasa prihatin, Agus melontarkan pertanyaan moral kepada para pemimpin.

“Innaa lillaahi. Di manakah mata, telinga dan hati nurani sang pengambil kebijakan itu? Tidak tersayatkah ketika menyaksikan dan mendengarkan jeritan umat manusia karena kelaparan, bahkan gatal-gatal akibat air bahnya telah terkontiminasi zat kimia pertambangan?,” katanya.

Ia merujuk pada pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf terkait kondisi korban bencana.

“Menurut catatan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, sebagian korban bencana alam yang masih hidup diperhadapkan krisis kelaparan yang luar biasa,” ucap Agus.

Ia menegaskan bahwa jumlah korban terdampak bukan lagi ratusan.

“Jumlahnya bukan lagi ratusan jiwa, tapi ribuan orang. Tak sedikit di antara mereka harus menjumpai ajal karena terlambat bantuan pangan,” imbuhnya.

Agus bahkan menyebut kebijakan penolakan bantuan sebagai tindakan yang sangat kejam.

“Betapa sadisnya model kebijakan anti bantuan itu, padahal terjadi pembantaian umat manusia secara sistematis,” Agus menuturkan.

“Jika kita gunakan kacamata al-Qur`an, seberapa besar dosa pembantaian yang disengaja itu, tak terbayangkan kualitas dosa sang pemimpin selaku pengambil kebijakan,” tambahnya.

“Yang jelas Allah sangat marah terhadap siapapun yang membunuh sesame muslim dengan sengaja. Balasanya pun jelas: neraka Jahannam (Q.S. an-Nisa: 93),” lanjut Agus.

Ia lalu mempertanyakan apakah kematian akibat kebijakan bisa dikategorikan sebagai kesengajaan.

“Lalu, apakah kematian karena kebijakan bisa dikategorikan sebagai kesengajaan? Memang, kebijakan itu tidak merancang pembantaian umat manusia,” jelasnya.

Agus juga menganggap rezim saat ini gagal memahami kondisi darurat dan terlalu mengulur waktu dalam menetapkan status bencana nasional.

“Dalam kaitan itu sebagai hal ketiga rezim now bisa dinilai gagal memahami kondisi darurat. Bahkan, terlalu mengulur waktu (takes time) saat menentukan status bencana nasional,” bebernya.

“Sekali lagi, sulit diperacaya oleh siapapun yang berakal sehat, seorang prajurit yang telah terbentuk cara berfikir dan bertindak cepat, tapi demikian lambat dalam menghadapi krisis bencana yang menerpa Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat,” katanya.

Ia menyebut sebagian publik mulai mempertanyakan kewarasan pemimpin.

“Dengan nyinyir, sebagian publik mempertanyakan, masih waraskah pemimpin kita? Juga, apakah jajaran elitis lainnya di sekitar lingkaran kekuasaan juga masih waras atau lebih menggunakan hak diamnya sembari menjilat daripada mengambil inisitif proaktif?,” timpalnya.

“Lalu, di manakah kalian wahai wakil rakyat sebagai counter-part lembaga eksekutif? Hanyakah membeo? Alaa maak,” lanjutnya.

Ia kembali menyinggung pernyataan Prabowo soal kata “kami masih mampu”.

Agus Wahid kemudian memaparkan data kerusakan berbasis Artificial Intelligence (AI), mulai dari 157.800 unit rumah rusak, ribuan kilometer jalan rusak, ratusan jembatan ambruk, ratusan fasilitas pendidikan dan kesehatan rusak, hingga dampak psikologis dan pencemaran lingkungan.

Ia juga mengkritik rasionalitas anggaran recovery sebesar Rp 51,82 triliun yang dialokasikan untuk 52 daerah terdampak.

“Sebuah pertanyaan mendasar, rasionalkah anggaran recovery itu?,” kuncinya.

Agus Wahid merinci perhitungan kebutuhan anggaran per sektor, mulai dari jalan nasional, perumahan, jembatan, fasilitas pendidikan, hingga fasilitas kesehatan, yang menurutnya menunjukkan bahwa dampak bencana jauh lebih luas dari sekadar kerusakan fisik.

Ia menegaskan bahwa kerugian total pascabencana, menurut data AI, mencapai Rp 68,67 triliun.

(Muhsin/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
12 Fakta Yakutsk yang Menjadi Kota Berpenghuni Paling Dingin di Dunia
• 4 jam lalubeautynesia.id
thumb
Jadwal Boxing Day Manchester United Vs Newcastle United, Tayang di Mana dan Jam Berapa?
• 4 jam lalumedcom.id
thumb
Rumah Tangganya dengan Insanul Fahmi Diuji, Wardatina Mawa Tulis Refleksi Akhir Tahun 2025, Singgung soal Keikhlasan
• 4 jam lalugrid.id
thumb
Nelayan Hilang di Sulbar, Perahunya Ditemukan di Perairan Sulteng
• 18 menit lalukompas.id
thumb
Liburan Malah Bikin Anak Stres? Hadapi dengan Cara Ini!
• 8 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.