Kasus terbaru yang dapat dilihat adalah kasus Bupati Kabupaten Bekasi yang hanya mengulang drama lama: jual beli paket proyek pemerintah, balas jasa pada penyandang dana kampanye, dan biaya jabatan yang dibungkus istilah penataan birokrasi.
Sejak sebelum hadirnya KPK hingga kini ratusan kepala daerah ditindak, pola yang kita saksikan sesungguhnya tidak pernah berubah. Yang berubah hanya nama pelaku, lokasi kejadian, dan angka nominalnya.
Kita tahu akar masalahnya: politik yang mahal melahirkan kekuasaan yang haus balik modal. Pilkada langsung dalam banyak kasus bukan lagi soal visi, gagasan, atau integritas, melainkan kompetisi siapa yang paling kuat logistiknya. Ongkos saksi, baliho, konsultan politik, mobilisasi massa—bahkan tak usah munafik uang untuk membeli suara—membuat seorang kandidat nyaris mustahil bertarung tanpa sokongan pemodal besar.
Saat menang, relasi kuasa sudah cacat sejak awal; kepala daerah tidak hanya mewakili rakyat, tetapi juga terikat pada kepentingan para investor politik yang menuntut pengembalian.
Di titik itulah pemerintahan daerah berubah menjadi pasar. APBD diseret menjadi bank pengembali utang politik. Paket pengadaan barang dan jasa diperdagangkan, proyek infrastruktur diarahkan pada kroni tertentu, bahkan jabatan struktural pun dibuka sebagai “lahan investasi”.
Kickback dianggap keniscayaan, seolah-olah hal tersebut menjadi bagian dari mekanisme bisnis kekuasaan. Maka jangan heran, korupsi kepala daerah tidak pernah putus. Jika hulu pembiayaan politik tetap keruh, mustahil hilir pemerintahan menjadi bersih.
Namun di tengah keputusasaan itu, muncul wacana baru yang sesungguhnya bukan solusi: menghapus Pilkada langsung dan mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dalihnya, sistem lama dianggap lebih murah. Padahal, hal itu semata nostalgia terhadap masa lalu yang tidak lebih bersih. Kita masih ingat bagaimana era pemilihan lewat DPRD juga sarat transaksi politik tertutup.
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia—dalam pidatonya di Makassar—mencium adanya wacana berganti model pemilihan dari pilkada langsung oleh rakyat ke pilkada lewat DPRD di setiap daerah.
Bedanya, jika Pilkada langsung korupsinya terjadi di ruang terbuka, pemilihan lewat DPRD memindahkan transaksi ke ruang yang lebih gelap, lebih elitis, dan semakin jauh dari kontrol publik. Mengganti mekanisme tanpa menyelesaikan akar masalah pembiayaan politik hanya memindahkan penyakit, bukan menyembuhkan.
Jadi apa yang harus dibenahi? Pertama, regulasi pembiayaan kampanye harus jauh lebih keras, transparan, dan realistis. Negara tidak bisa sekadar menyuruh kandidat jujur, sementara biaya yang dibutuhkan tak pernah rasional. Skema pendanaan negara yang proporsional, audit keuangan kampanye yang transparan, dan pelaporan real time donasi akan memotong ketergantungan kandidat pada cukong.
Di negara-negara dengan demokrasi mapan, pembiayaan politik diawasi sedemikian ketat, sehingga pelanggaran bukan hanya aib, melainkan juga risiko hukuman berat. Kita belum sampai ke sana.
Kedua, reformasi pengadaan barang dan jasa tidak boleh berhenti pada sistem digital semata. E-procurement memang menutup sebagian celah, tetapi bukan berarti menutup budaya kongkalikong.
Masalah sesungguhnya bukan hanya pada prosedur, melainkan juga pada mentalitas dan impunitas. Integritas pejabat pengadaan harus dilindungi, pengawasan masyarakat sipil perlu diperkuat, dan hukuman bagi intervensi kepala daerah dalam tender harus tegas serta konsisten.
Ketiga, tata kelola birokrasi daerah perlu dikunci dengan meritokrasi yang lebih kuat. Selama jabatan bisa dibeli, selama loyalitas politik lebih penting ketimbang kompetensi, selama rotasi pejabat dijadikan sumber rente, korupsi hanya soal waktu. Birokrasi yang independen dan profesional adalah benteng pertama melawan keserakahan politik.
Keempat, pendidikan politik publik tak boleh dianggap sepele. Money politics bertahan karena diterima sebagai “tradisi wajar”. Selama pemilih masih memandang demokrasi sebagai “momen panen” amplop, politisi akan terus merasa sah membelanjakan uang untuk suara dan kelak menagih kembali lewat proyek negara.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pemilih yang sadar, bukan pemilih yang lapar sesaat.
Pada akhirnya, pertanyaan “sampai kapan?” memiliki jawaban yang tidak nyaman: sampai kita berani memangkas biaya politik dan memperbaiki ekosistem demokrasi lokal secara serius. KPK bisa menangkap satu per satu, tetapi tanpa pembenahan sistem, yang jatuh hanya individu, bukan budaya.
Kita tidak butuh mundur ke masa lalu dengan pemilihan oleh DPRD. Kita butuh melangkah maju dengan demokrasi langsung yang lebih beradab, lebih murah, lebih transparan, dan lebih adil.
Karena kalau tidak, kita akan terus menyaksikan babak berikutnya dari drama yang sama: kepala daerah dilantik dengan janji perubahan, berkuasa dengan jebakan utang politik, lalu berakhir dengan rompi oranye.
Demokrasi yang mahal hanya akan melahirkan moral yang murah. Dan selama itu dibiarkan, korupsi kepala daerah bukanlah anomali, melainkan konsekuensi yang telah lama kita toleransi.



