CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Umat Kristen di Jalur Gaza akhirnya kembali berkumpul untuk melaksanakan Misa Natal secara berjamaah setelah dua tahun terhenti akibat perang.
Ibadah ini menjadi momen langka sekaligus penuh haru bagi komunitas kecil Kristen di Gaza yang selama ini hanya bisa berdoa secara pribadi di tengah konflik berkepanjangan.
Misa Natal kali ini berlangsung dalam suasana yang sangat sederhana. Tidak ada lampu, musik, maupun dekorasi yang biasanya mewarnai perayaan Natal. Gereja-gereja di Gaza dipenuhi keheningan, sementara doa-doa dipanjatkan untuk mengenang mereka yang tewas selama perang.
Selama dua tahun terakhir, umat Kristen Gaza terpaksa membatasi praktik keagamaan mereka. Banyak jemaat hanya bisa berdoa di tempat perlindungan atau di gereja-gereja yang mengalami kerusakan akibat serangan.
Kembalinya ibadah berjamaah di hari Natal setelah adanya perjanjian gencatan senjata baru-baru ini serta penarikan sebagian pasukan Israel dari kawasan bersejarah kota Gaza.
"Sebelum perang, kami biasa berdoa bersama, menghias pohon Natal di rumah, dan berbagi kudapan manis," kata Edward Antoine (37), dikutip dari Antara, Kamis (25/12).
Ibu dan saudara perempuan Edward tewas dalam perang.
"Tahun ini, saya menghadiri Misa sendirian, tetapi doa memberi saya kekuatan," ungkapnya.
Komunitas Kristen di Gaza yang sebelum perang berjumlah sekitar 1.000 orang kini menyusut dan mengalami kehilangan besar.
Banyak keluarga kehilangan orang-orang terdekat mereka selama konflik berlangsung.
Direktur Operasi Patriarkat Latin di Gaza, George Anton, menyebut sedikitnya 53 anggota komunitas Kristen tewas, baik akibat serangan langsung maupun karena kurangnya akses terhadap perawatan medis saat berlindung di kompleks gereja.
Perang di Gaza pecah pada 7 Oktober 2023, setelah militan Hamas melancarkan serangan ke wilayah selatan Israel. Serangan balasan Israel kemudian menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza, termasuk kawasan permukiman dan fasilitas umum.
Sejumlah gereja yang selama perang berfungsi sebagai tempat berlindung bagi umat Kristen dan Muslim turut menjadi sasaran serangan. Hingga kini, dampak kehancuran masih dirasakan warga, meskipun gencatan senjata telah diberlakukan.
"Kami terkadang masih mendengar ledakan. Kami merasa cukup dengan doa hari ini. Kami berusaha bertahan hidup dan berharap kematian di Gaza segera berakhir," kata Hilda Ayad (29).
Pihak gereja menegaskan bahwa Misa Natal tahun ini hanya bersifat ritual keagamaan. Tidak ada perayaan publik maupun festival musik yang digelar sebagai bentuk penghormatan kepada ribuan warga Palestina yang tewas di seluruh wilayah Gaza.
"Tidak akan ada kebahagiaan sejati selama Gaza hancur. Kehilangan kami adalah bagian dari penderitaan semua orang di sini," kata Faten al-Salafiti (67), yang kehilangan suami dan putranya dalam serangan terhadap sebuah gereja.
Sumber: Antara




