Agus Wahid: Ada Komplotan Bandit di Pemerintahan Prabowo

fajar.co.id
2 jam lalu
Cover Berita

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Analis Politik, Agus Wahid, kembali menyentil Presiden Prabowo Subianto terkait penanganan bencana alam di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Ia bahkan blak-blakan menyebut adanya komplotan bandit di balik kebijakan negara yang dinilainya membebani rakyat.

“Sebagai komponen rakyat tak habis berpikir. Kebijakan anggaran untuk kondisi darurat dan rehabilitas-rekosntruksi jelaslah dari APBN. Ini berarti, beban rakyat,” ujar Agus kepada fajar.co.id, Jumat (26/12/2025).

Dikatakan Agus, negara semestinya tidak serta-merta menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung dampak bencana yang, dalam pandangannya, merupakan akibat langsung dari ulah korporasi perusak lingkungan.

“Lalu mengapa negara tidak mengejar para bandit dari anasir korporat? Pengejarannya sungguh proporsional,” tegasnya.

Agus membeberkan data penguasaan lahan oleh sejumlah korporasi besar sebagai contoh.

Ia menyebut Sinar Mas (Wijaya Family) menguasai sekitar 4,4 juta hektare lahan di Sumatera, sementara Asia Pulp and Paper (APP) menguasai 2,6 juta hektare.

Selain itu, SMART dan GAR disebut telah melakukan deforestasi seluas 536 ribu hektare, serta Royal Golden Eagle yang menguasai 2,6 juta hektare lahan.

“Dan hal ini terkonfirmasi pada luapan gelondongan di Tapanuli Selatan beberapa hari lalu. Belum lagi, pembalakan untuk pertambangan oleh PT Toba Sejahtera,” ungkapnya.

Ia menegaskan, seluruh elemen bangsa seharusnya paham bahwa bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat merupakan akibat dari kerusakan lingkungan yang sistematis.

“Kita perlu mencatat, semua elemen tahu persis, bencana alam di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat akibat ulah para bandit lingkungan itu,” katanya.

Agus menekankan, korporasi telah melakukan konversi hutan lindung menjadi perkebunan sawit dan kawasan pertambangan tanpa diimbangi upaya reboisasi yang masif dan berkelanjutan.

“Mereka sengaja mengkonversi hutan lindung menjadi perkebunan sawit. Dan sebagian lagi untuk pertambangan,” imbuhnya.

Karena itu, ia menekankan bahwa secara logika bisnis, para korporasi harus menanggung risiko dari bencana yang ditimbulkan.

“Dengan fakta bencana itu akibat keserakahan para pebisnis itu, maka tak selayaknya negara menggunakan uang rakyat (APBN). Cara berfikirnya harus diubah, negara bukanlah penanggung akibat bencana, tapi korporat itu justru menjadi penanggung utama,” kata Agus.

Ia juga mengingatkan bahwa ketentuan hukum terkait lingkungan hidup sudah sangat jelas. Agus menyebut UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 88 tentang prinsip strict liability, serta Pasal 87 mengenai kewajiban pemulihan lingkungan dan ganti rugi ekologis.

Selain itu, UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dan UU Nomor 18 Tahun 2013 juga mengatur sanksi tegas bagi korporasi beserta pengurusnya.

“Jadi, ketentuan UU terkait lingkungan demikian jelas. Para perusak lingkungan bukan hanya wajib dikenakan pidana, tapi juga mengganti rugi,” tegasnya.

Bahkan, Agus mendorong penerapan hukuman sangat berat bagi para pelaku.

“Besarannya? Haruslah setara dengan risiko material bencana yang kini dihadapi masyarakat Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Karena itu, ketentuan pidananya haruslah super berat. Sungguh ideal jika arahnya hukuman mati, at least seumur hidup,” terangnya.

Ia juga mengusulkan perampasan seluruh aset korporasi yang terbukti bersalah.

“Dimiskinkan total, persis seperti mereka memiskinkan anak bangsa melalui bencana alam. Jadi, bukan sekedar dicabut izin HPH-nya,” ucap Agus.

Lebih jauh, Agus menilai pemerintah saat ini diuji dari sisi kecerdasan emosional, integritas kerakyatan, dan patriotisme kebangsaan.

“Mendera dengan hukuman super berat kepada para bandit lingkungan sungguh ditunggu. Agar tidak terjadi keterulangan yang sama,” bebernya.

Tidak berhenti di situ, Agus juga menyentil sikap pemerintah yang terkesan arogan dan enggan menerima bantuan kemanusiaan internasional.

“Atas nama kemanusiaan dan cinta rakyat, tak selayaknya rezim now merasa mampu dan mempertahankan harga diri yang penuh arogan, lalu menolak uluran kemanusiaan dari berbagai belahan dunia,” tandasnya.

Ia mengingatkan, sikap tersebut hanya akan memperparah penderitaan rakyat dan memicu gejolak sosial.

“Jika benar NKRI harga mati, maka redamlah potensi separatisme yang berpotensi muncul akibat ketidaksigapan menangani problem bencana alam ini. Dan suara separatisme itu kini sudah mulai berkumandang, setidaknya di wilayah Aceh,” kuncinya. (Muhsin/fajar)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kisah Korban Bencana Sumatera dan Rumah Baru untuk Mereka
• 22 jam lalukumparan.com
thumb
PBNU Gelar Doa untuk Negeri, Doakan Korban Bencana di Aceh hingga Sumatera Barat
• 23 jam laluliputan6.com
thumb
Jokowi Apresiasi Transparansi Polisi dalam Gelar Perkara Ijazah Palsu
• 19 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Resmi! Ini Jadwal Operasional dan Libur BEI saat Nataru 2025/2026
• 11 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Pemerintah Aceh kembali perpanjang masa tanggap darurat bencana
• 19 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.