Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR RI Dini Rahmania meminta kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi potensi bencana susulan, khususnya di wilayah Aceh dan Sumatera Barat, serta sejumlah daerah lain yang juga sedang menghadapi ancaman bencana hidrometeorologi.
Berdasarkan peringatan BMKG, menurut dia, potensi cuaca ekstrem dan fenomena hidrometeorologi seperti hujan lebat serta banjir rob di wilayah pesisir masih mungkin terjadi, sebagaimana peringatan yang telah disampaikan pada awal Desember lalu.
“Sistem peringatan dini harus diperkuat, informasi harus sampai ke masyarakat lebih awal, dan edukasi kesiapsiagaan, terutama di desa-desa rawan harus menjadi prioritas,” kata Dini di Jakarta, Jumat.
Ia menekankan bahwa masyarakat tidak boleh hanya menerima bantuan setelah korban berjatuhan, melainkan harus dilindungi sejak sebelum bencana terjadi. Di balik setiap angka, menurut dia, ada warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan orang-orang tercinta.
"Pemerintah harus hadir dengan langkah mitigasi yang cepat, taktis, dan penuh empati,” kata dia.
Selain itu, dia menegaskan bahwa negara tidak boleh membeda-bedakan wilayah dalam penanganan kebencanaan. Untuk kasus banjir di Bali, pemerintah pusat dan daerah telah menyalurkan bantuan logistik, kebutuhan dasar, serta santunan kepada para korban, termasuk keluarga yang kehilangan anggota keluarganya.
Baca juga: Ultimatum Prabowo untuk mafia hutan
Pemerintah daerah, kata dia, juga perlu terus melakukan langkah kesiapsiagaan menghadapi musim hujan berikutnya, antara lain melalui perbaikan sistem drainase dan penataan ruang yang mempertimbangkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan dukungan BMKG dan pemerintah kabupaten/kota.
Sementara di Jawa Tengah, BNPB bersama BPBD terus memantau dan memperbarui data kejadian banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah, seperti Cilacap dan Semarang.
Dia pun mendorong langkah konkret seperti perluasan kolam retensi, pembangunan infrastruktur penahan air di titik-titik banjir kronis, serta penguatan kesiapsiagaan masyarakat pesisir dan bantaran sungai melalui pelatihan dan simulasi evakuasi.
“Tidak ada satu daerah pun yang dibiarkan sendirian. Penanganan bencana harus dilakukan secara terintegrasi, mulai dari evakuasi cepat, penyaluran bantuan kebutuhan dasar, hingga layanan kesehatan pasca-bencana di pengungsian," katanya.
Menurut dia, Komisi VIII DPR RI tengah mendorong revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Revisi ini dinilai mendesak untuk memperkuat kewenangan BNPB agar mampu memimpin koordinasi secara efektif di seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Ia menjelaskan, dalam praktik di lapangan, kewenangan yang masih tersebar antara pemerintah pusat dan daerah kerap menimbulkan jeda respon dan tumpang tindih penanganan. Oleh karena itu, Komisi VIII mendorong agar revisi UU Kebencanaan dapat masuk dalam agenda Prolegnas 2026.
"Revisi UU Kebencanaan tidak berhenti pada penyusunan pasal demi pasal. Ini adalah ikhtiar negara untuk memastikan setiap keluarga terdampak memiliki perlindungan hukum yang kuat, respons yang cepat, dan koordinasi yang jelas," katanya.
Berdasarkan peringatan BMKG, menurut dia, potensi cuaca ekstrem dan fenomena hidrometeorologi seperti hujan lebat serta banjir rob di wilayah pesisir masih mungkin terjadi, sebagaimana peringatan yang telah disampaikan pada awal Desember lalu.
“Sistem peringatan dini harus diperkuat, informasi harus sampai ke masyarakat lebih awal, dan edukasi kesiapsiagaan, terutama di desa-desa rawan harus menjadi prioritas,” kata Dini di Jakarta, Jumat.
Ia menekankan bahwa masyarakat tidak boleh hanya menerima bantuan setelah korban berjatuhan, melainkan harus dilindungi sejak sebelum bencana terjadi. Di balik setiap angka, menurut dia, ada warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan orang-orang tercinta.
"Pemerintah harus hadir dengan langkah mitigasi yang cepat, taktis, dan penuh empati,” kata dia.
Selain itu, dia menegaskan bahwa negara tidak boleh membeda-bedakan wilayah dalam penanganan kebencanaan. Untuk kasus banjir di Bali, pemerintah pusat dan daerah telah menyalurkan bantuan logistik, kebutuhan dasar, serta santunan kepada para korban, termasuk keluarga yang kehilangan anggota keluarganya.
Baca juga: Ultimatum Prabowo untuk mafia hutan
Pemerintah daerah, kata dia, juga perlu terus melakukan langkah kesiapsiagaan menghadapi musim hujan berikutnya, antara lain melalui perbaikan sistem drainase dan penataan ruang yang mempertimbangkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan dukungan BMKG dan pemerintah kabupaten/kota.
Sementara di Jawa Tengah, BNPB bersama BPBD terus memantau dan memperbarui data kejadian banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah, seperti Cilacap dan Semarang.
Dia pun mendorong langkah konkret seperti perluasan kolam retensi, pembangunan infrastruktur penahan air di titik-titik banjir kronis, serta penguatan kesiapsiagaan masyarakat pesisir dan bantaran sungai melalui pelatihan dan simulasi evakuasi.
“Tidak ada satu daerah pun yang dibiarkan sendirian. Penanganan bencana harus dilakukan secara terintegrasi, mulai dari evakuasi cepat, penyaluran bantuan kebutuhan dasar, hingga layanan kesehatan pasca-bencana di pengungsian," katanya.
Menurut dia, Komisi VIII DPR RI tengah mendorong revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Revisi ini dinilai mendesak untuk memperkuat kewenangan BNPB agar mampu memimpin koordinasi secara efektif di seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Ia menjelaskan, dalam praktik di lapangan, kewenangan yang masih tersebar antara pemerintah pusat dan daerah kerap menimbulkan jeda respon dan tumpang tindih penanganan. Oleh karena itu, Komisi VIII mendorong agar revisi UU Kebencanaan dapat masuk dalam agenda Prolegnas 2026.
"Revisi UU Kebencanaan tidak berhenti pada penyusunan pasal demi pasal. Ini adalah ikhtiar negara untuk memastikan setiap keluarga terdampak memiliki perlindungan hukum yang kuat, respons yang cepat, dan koordinasi yang jelas," katanya.




