FAJAR, JAKARTA — Pemerintah bersiap melakukan langkah besar di sektor pendidikan tinggi. Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) memastikan akan merekrut sekitar 47 ribu dosen berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dalam rentang waktu 2026 hingga 2030. Kebijakan ini menjadi sinyal kuat bahwa negara mulai serius menjawab persoalan klasik: kekurangan dosen, ketimpangan kualitas pendidikan tinggi, dan ketidakjelasan jalur karier akademik.
Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliaro, mengungkapkan bahwa rencana tersebut merupakan tindak lanjut dari permintaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB). Kemdiktisaintek diminta menyusun peta kebutuhan dosen PNS untuk lima tahun ke depan, sejalan dengan arah kebijakan nasional pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Sesuai arah kebijakan Bapak Presiden, rekrutmen ASN selama lima tahun ke depan difokuskan pada PNS,” ujar Brian saat diwawancarai seperti yang dikutip Fajar dari JPNN, Jumat (26/12).
Data yang dihimpun Kemdiktisaintek menunjukkan kebutuhan mendesak terhadap dosen PNS di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN). Dalam periode 2026–2030, Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 47 ribu dosen baru dengan kualifikasi pendidikan minimal magister (S2) hingga doktor (S3). Angka ini bukan sekadar proyeksi, melainkan refleksi dari kondisi riil di lapangan: banyak dosen memasuki batas usia pensiun (BUP), sementara regenerasi berjalan lambat.
Selama beberapa tahun terakhir, persoalan status kepegawaian dosen menjadi isu sensitif. Skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sempat menjadi solusi cepat untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik. Namun, Brian menegaskan bahwa dosen tidak ideal diangkat melalui jalur PPPK.
“Dosen itu tidak cocok diangkat sebagai PPPK,” tegasnya.
Menurut Brian, tugas dosen tidak berhenti pada aktivitas mengajar di ruang kelas. Dosen juga memikul tanggung jawab besar dalam penelitian, publikasi ilmiah, pengabdian kepada masyarakat, serta pengembangan keilmuan. Seluruh tugas tersebut membutuhkan kepastian jenjang karier akademik—sesuatu yang hanya dimiliki oleh status PNS.
“Dosen harus memiliki jenjang karier yang jelas, mulai dari asisten ahli hingga profesor. Sistem itu tidak ada dalam skema PPPK,” jelasnya.
Pernyataan ini sekaligus menjadi koreksi terhadap praktik kebijakan sebelumnya yang dinilai kurang berpihak pada keberlanjutan profesi dosen. Tanpa sistem karier, dosen PPPK kerap berada dalam ketidakpastian, baik dari sisi pengembangan akademik maupun kesejahteraan jangka panjang.
Tak berhenti pada rekrutmen dosen baru, Kemdiktisaintek juga tengah menyiapkan terobosan lain: mengkaryakan dosen PNS yang telah memasuki masa pensiun. Skema ini dirancang agar para dosen senior tetap dapat berkontribusi, khususnya di perguruan tinggi swasta (PTS) yang selama ini kekurangan tenaga pengajar berkualifikasi tinggi.
Kebijakan ini dinilai strategis. Di satu sisi, pengalaman dan keahlian dosen senior tidak terbuang sia-sia. Di sisi lain, PTS mendapat akses terhadap sumber daya manusia berkualitas tanpa harus menanggung beban pembinaan sejak awal.
Langkah tersebut juga mencerminkan perubahan paradigma pemerintah dalam memandang ekosistem pendidikan tinggi sebagai satu kesatuan, bukan sekadar dikotomi antara negeri dan swasta. Dengan distribusi dosen yang lebih merata, diharapkan kualitas pendidikan tinggi nasional dapat meningkat secara lebih berkeadilan.
Namun, tantangan besar tetap membayangi. Rekrutmen 47 ribu dosen CPNS bukan perkara sederhana. Selain kesiapan anggaran, pemerintah juga dituntut memastikan proses seleksi berjalan transparan dan berbasis kualitas. Kualifikasi akademik tinggi harus diimbangi dengan integritas, kapasitas riset, dan komitmen membangun institusi pendidikan.
Di sisi lain, kebijakan ini membuka harapan besar bagi lulusan magister dan doktor yang selama ini terkatung-katung dalam ketidakpastian karier akademik. Bagi mereka, sinyal pembukaan CPNS dosen menjadi angin segar setelah bertahun-tahun menghadapi moratorium atau pembatasan rekrutmen.
Jika direalisasikan secara konsisten, kebijakan ini berpotensi menjadi tonggak penting reformasi pendidikan tinggi. Negara tidak hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjamin keberlanjutan profesi dosen—sebuah profesi kunci yang menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Rekrutmen 47 ribu dosen CPNS bukan sekadar angka. Ia adalah taruhan besar atas masa depan riset, inovasi, dan daya saing bangsa.



