PENGHENTIAN penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang nikel di Konawe Utara dengan potensi kerugian negara Rp 2,7 triliun menimbulkan tanda tanya besar.
Bukan semata karena nilai kerugiannya yang fantastis, melainkan karena perkara ini telah berstatus tersangka sejak 2017 dan kini justru dihentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan tidak cukup bukti.
Keputusan tersebut patut dibaca lebih dari sekadar prosedur hukum, sebab menyangkut konsistensi, akuntabilitas, dan arah pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penghentian ini adalah alarm keras tentang rapuhnya komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama di sektor ekstraktif yang selama ini dikenal sebagai ladang korupsi sistemik.
Bagaimana mungkin perkara dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 2,7 triliun berakhir tanpa satu pun pertanggungjawaban pidana?
Lebih janggal lagi, tersangka dalam kasus ini, mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman, yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2017. Delapan tahun berselang, KPK justru menyatakan “tidak ditemukan kecukupan bukti”.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Konawe Utara, Aswad Sulaiman, Tambang Nikel&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yNy8wNjUwMDAxMS9iZW5kZXJhLXB1dGloLWtway1rYXN1cy1pemluLXRhbWJhbmcta29uYXdlLXV0YXJh&q=Bendera Putih KPK Kasus Izin Tambang Konawe Utara§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Jujur saja, sebagai Penyuluh Antikorupsi yang disertifikasi oleh Lembaga Resmi KPK, saya merasa sangat janggal dengan keputusan penghentian ini.
Baca juga: Alasan KPK Setop Penyidikan Izin Tambang Konawe Utara: Tak Cukup Bukti
Keputusan ini tampaknya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip transparansi dan keadilan yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
KPK tanpa sadar angkat tangan dan mengibarkan bendera putih, seolah memperlihatkan ketidakberdayaannya dalam memberantas korupsi kelas kakap.
Sulit memang untuk menerima logika di balik keputusan ini, terutama ketika mempertimbangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkannya terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sekilas kasus tambang nikel di Konawe UtaraPada Oktober 2017, KPK dengan tegas menetapkan Aswad Sulaiman seorang mantan Penjabat Bupati Konawe Utara (2007–2009) sekaligus Bupati definitif (2011–2016) sebagai tersangka.
Tuduhannya berat: menyalahgunakan wewenang dalam pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi, eksploitasi, hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi kepada puluhan perusahaan antara 2007–2014.
KPK menduga, perizinan yang melawan hukum itu menyebabkan kerugian negara fantastis, minimal Rp 2,7 triliun, berasal dari penjualan nikel yang seharusnya tidak boleh dieksploitasi secara bebas.
Tak hanya itu, Aswad juga diduga menerima suap hingga Rp 13 miliar dari perusahaan-perusahaan haus izin selama masa jabatannya sebagai penjabat bupati.
Kasus ini sempat memanas. Pada 18 November 2021, KPK sempat memeriksa Andi Amran Sulaiman (sekarang Menteri Pertanian) selaku Direktur PT Tiran Indonesia sebagai saksi di kasus tersebut. Amran diperiksa KPK mengenai kepemilikan tambang nikel di Konawe Utara.
Puncak dramanya terjadi pada 14 September 2023. KPK berencana menahan Aswad untuk mempercepat proses.
Namun, seperti adegan film klise, rencana itu batal. Aswad tiba-tiba sakit usai diperiksa dan dilarikan ke rumah sakit. Penahanan pun akhirnya ditunda, dan kasus kembali menguap dalam ketidakpastian.
Kemudian ironisnya, pada 26 Desember 2025, KPK mengumumkan penghentian penyidikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).





