DI MALUKU, hari-hari besar keagamaan tidak pernah sepenuhnya menjadi urusan privat antara manusia dan Tuhan.
Ia selalu hadir sebagai peristiwa sosial, bahkan kultural, yang menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang siapa kita dan bagaimana seharusnya hidup bersama.
Natal dan Idul Fitri, misalnya, bukan sekadar momentum ibadah bagi umat Kristiani dan Muslim, tetapi juga ruang perjumpaan lintas iman yang sarat makna.
Keunikan itu tumbuh dan bertahan karena satu fondasi kuat: adat dan budaya pela-gandong yang telah mengikat orang Maluku jauh sebelum konsep toleransi modern diperkenalkan.
Secara sosiologis, apa yang terjadi di Maluku, dapat dibaca melalui kacamata solidaritas sosial Émile Durkheim. Dalam masyarakat tradisional, Durkheim menyebut adanya solidaritas mekanik—ikatan yang terbangun dari kesamaan nilai, keyakinan, dan pengalaman hidup.
Namun Maluku, terutama dalam konteks ini di Ambon, Lease, Seram dan sekitarnya menawarkan bentuk yang lebih kompleks: solidaritas yang melampaui perbedaan agama dan identitas formal.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Maluku Utara, Pela-Gandong&post-url=aHR0cHM6Ly9yZWdpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yNy8wODA1MDA0MS9tZXJheWFrYW4taW1hbi1kYWxhbS1wZXJzYXVkYXJhYW4tLW5hdGFsLWRhbi1sZWJhcmFuLWRpLXRhbmFoLXBlbGEtZ2FuZG9uZw==&q=Merayakan Iman dalam Persaudaraan: Natal dan Lebaran di Tanah Pela-Gandong§ion=Regional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Pela-gandong bekerja sebagai “lem sosial” yang menautkan komunitas Muslim dan Kristen dalam satu kesadaran bersama sebagai orang basudara.
Kesadaran inilah yang membuat perayaan Natal seperti yang saat ini berlangsung dan Lebaran selalu terasa sebagai milik bersama, bukan milik satu kelompok semata.
Baca juga: Natal di Tengah Dunia yang Rapuh
Dalam praktik keseharian, solidaritas itu tampak nyata. Di Ambon dan umumnya di Maluku, sudah menjadi pemandangan lazim ketika pemuda-pemuda Muslim kerap ikut menjaga keamanan gereja saat malam Natal.
Mereka berdiri di depan rumah ibadah bukan karena perintah aparat, melainkan karena panggilan adat, seruan hati dan rasa persaudaraan.
Sebaliknya, saat takbir menggema dan Idul Fitri tiba, saudara-saudara Kristen mengambil peran serupa di masjid-masjid, memastikan ibadah berlangsung khusyuk dan aman.
Banyak keluarga lintas iman yang saling bertukar makanan khas hari raya—kue natal, ketupat, atau sagu/papeda—sebagai simbol kasih dan persaudaraan yang hidup.
Fenomena ini juga dapat dipahami melalui konsep modal sosial yang diperkenalkan oleh Robert Putnam. Modal sosial merujuk pada jejaring, kepercayaan, dan norma yang memungkinkan masyarakat bekerja sama secara efektif.
Pela-gandong adalah bentuk modal sosial yang kuat dan khas Maluku. Ia menciptakan bonding social capital (ikatan kuat di dalam komunitas) sekaligus bridging social capital (jembatan antar komunitas berbeda).
Pada hari-hari besar keagamaan, modal sosial ini bekerja optimal: kepercayaan mengalir, prasangka ditekan, dan kerja sama tumbuh secara alamiah.



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5456028/original/029781900_1766771443-Kota_Tua.jpeg)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5455943/original/086130400_1766746215-GT_Ciawi.jpeg)