FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Tragedi banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi yakni Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh menjadi salah satu bencana paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir.
Lebih dari 900 orang telah dilaporkan meninggal, dan angka tersebut diperkirakan dapat terus bertambah karena banyaknya wilayanh tertimbun material longsor.
Ari Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menjelaskan bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah sekadar bencana alam. Menurutnya, apa yang disebut sebagai banjir bandang dan longsor ini adalah akumulasi dari kerusakan lingkungan yang berlangsung lama.
Ari Rompas menegaskan bahwa penyebab utamanya adalah aktivitas manusia, terutama deforestasi dan pembukaan lahan untuk investasi berbasis konsesi.
“Ini bukan bencana alam. Ini bencana yang diakibatkan oleh manusia sehingga tinggal cari siapa manusia yang paling banyak merusak,” ujarnya dalam podcast Bocor Alus Politik, dikutip pada Sabtu (27/12).
Ari menjelaskan bahwa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah memberikan peringatan dini lima hari sebelum badai siklon tropis memasuki wilayah Indonesia.
Namun, pemerintah tidak memiliki sistem respons mitigasi yang efektif untuk menindaklanjuti early warning tersebut. Ketiadaan prosedur ini membuat masyarakat di wilayah rawan tidak sempat dievakuasi, dan pemerintah pusat maupun daerah gagal memberikan langkah antisipatif.
“Pemerintah itu enggak punya sistem atau prosedur bagaimana menanggapi early warning ini,” ungkapnya.
Masalah paling krusial terletak pada kondisi ekologis Sumatera yang sudah rusak parah. Ari memaparkan bahwa daya dukung dan daya tampung daerah aliran sungai di banyak wilayah sudah kehilangan kemampuan alaminya untuk menyerap air karena hutan telah habis ditebang untuk berbagai kepentingan ekonomi. P
Pulau Sumatera, katanya, sudah mengalami deforestasi besar-besaran sejak masa Orde Baru, dan kini hanya menyisakan tutupan hutan minimal di beberapa bagian Bukit Barisan.
Ia menyebutkan pula bahwa di tiga provinsi terdampak terdapat lebih dari 1.300 izin perusahaan, mulai dari sawit, tambang, hingga hutan tanaman industri, yang semuanya berkontribusi terhadap rusaknya DAS.
“Daya dukung dan daya tampung itu sudah rusak sehingga ketika curah hujan besar masuk, sungai sudah tidak mampu lagi,” jelasnya.
Dalam pembahasan tersebut, Ari juga mengungkap adanya dugaan perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam perusakan hutan, termasuk yang terkait dengan tokoh politik ternama.
Ia menyebutkan bahwa salah satu pemilik konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Aceh adalah Presiden Prabowo. Dengan data dan pengamatan yang dimiliki Greenpeace, Ari menjelaskan bahwa banyak perusahaan menikmati impunitas meski sudah berulang kali merusak lingkungan.
Ari Rompas mengangkat isu ini karena menurutnya, tanpa evaluasi menyeluruh terhadap investasi berbasis lahan dan tanpa penghentian praktik deforestasi, Indonesia akan terus berada di siklus bencana serupa.
Ia ingin masyarakat memahami bahwa banjir bukanlah tragedi acak, melainkan akibat dari struktur kebijakan yang selama ini membiarkan perusakan hutan demi keuntungan ekonomi jangka pendek.
Ia menjelaskan bahwa perubahan iklim yang memperparah badai tidak dapat dipisahkan dari deforestasi yang dilakukan bertahun-tahun.
“Ini adalah soal pendekatan struktural. Karena pendekatan struktural itu merubah sistem,” ucap dia.
Ia menekankan bahwa Indonesia harus segera melakukan reformasi kebijakan, memperkuat perlindungan lingkungan, dan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang menjadi penyebab utama kerusakan hutan.
Perlu diketahui, lahan konsesi hutan tanaman industri (HTI) milik Prabowo Subianto seluas 90 ribu hektar di Takengon, Aceh, telah diserahkan untuk dijadikan kawasan perlindungan gajah.
“Suatu saat saya didatangi oleh utusan dari kelompok konservasi alam, WWF. Mereka tahu bahwa dulu saya ini pengusaha yang mengelola konsesi HTI di Aceh, cukup besar, sekitar 98.000 hektar,” ujar Prabowo.
WWF mengajukan permintaan pemanfaatan 10 ribu hektar lahan untuk dijadikan kawasan perlindungan gajah. Namun, Prabowo justru menawarkan jumlah yang lebih besar.
“Saya tidak setuju 10.000 hektar. Saya akan kasih 20.000 hektar,” tegasnya.
Prabowo menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan komitmennya dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan dan perlindungan satwa, khususnya gajah yang populasinya terus menurun akibat berkurangnya habitat alami.
(Pram/fajar)




