Memahami spektakel penyelamatan uang negara

antaranews.com
5 jam lalu
Cover Berita
Jakarta (ANTARA) - Selama 2025 ini, terdapat momen ketika publik dipertontonkan uang sitaan hasil tindak pidana korupsi dan kejahatan keuangan oleh Kejaksaan Agung di hadapan Presiden Prabowo Subianto. Ini menandai pergeseran penting dalam cara negara mengomunikasikan penegakan hukum.

Tumpukan uang bernilai Rp6,625 triliun yang ditampilkan ke publik, sebelumnya Rp13,255 triliun dari perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO), membuat total uang negara yang pernah dipertontonkan di ruang publik mendekati Rp20 triliun.

Angka tersebut tidak hanya hadir sebagai statistik, tetapi menjadi simbol visual yang kuat tentang klaim keberhasilan negara merebut kembali uang rakyat yang sebelumnya dirampas melalui praktik melawan hukum.

Dalam masyarakat yang selama ini hanya mengenal kerugian negara melalui angka abstrak dalam laporan audit atau putusan pengadilan, visualisasi uang sitaan menghadirkan sesuatu yang konkret, khususnya transparansi atas penyelamatan uang negara yang telah dilakukan melalui aksi nyata koordinasi aparat penegak hukum dengan pihak terkait.

Visualisasi uang sitaan itu mengingatkan pada
konsep spektakel yang dijelaskan Guy Debord dalam "The Society of the Spectacle" (1967) sebagai mekanisme kekuasaan modern yang bekerja melalui citra dan representasi visual. Negara berbicara, bukan hanya lewat hukum, tetapi juga lewat apa yang diperlihatkan. Murray Edelman (1964; 1988) menyebut praktik ini sebagai politik simbolik, yang bertujuan membangun rasa keadilan dan ketertiban di benak publik.

Hanya saja, spektakel selalu berjalan di batas tipis antara transparansi dan pertunjukan. Transparansi menuntut kejelasan proses hukum, status aset, dan mekanisme pengembalian ke kas negara, sementara pertunjukan lebih menekankan dampak visual dan emosional.

Donald Moynihan (2008) dalam "The Dynamics of Performance Management" menegaskan bahwa simbol kinerja yang tidak diikuti perbaikan sistemik justru berisiko menciptakan kekecewaan publik. Spektakel, dengan demikian, adalah strategi berisiko tinggi: efektif membangun persepsi jangka pendek, tetapi menuntut pembuktian kebijakan jangka panjang.


Bahasa kekuasaan

Dalam perspektif sosiologi politik, kekuasaan tidak hanya bekerja melalui instrumen koersif, seperti hukum dan sanksi, tetapi juga melalui simbol, narasi, dan ritual publik. Max Weber dalam "Economy and Society" (1922) menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan bertumpu pada penerimaan sosial, bukan semata-mata pada legalitas formal.

Ketika negara menampilkan uang sitaan dalam jumlah besar di hadapan kepala negara dan publik, tindakan tersebut menjadi bagian dari ritual legitimasi, yang menyampaikan pesan bahwa kekuasaan negara masih efektif, berdaulat, dan mampu mengoreksi penyimpangan yang merugikan kepentingan publik.

Baca juga: Kejagung serahkan uang Rp13,2 triliun dari kasus CPO ke negara

Dengan demikian, spektakel penyelamatan uang negara dapat dibaca sebagai bahasa kekuasaan yang menekankan ketegasan, disiplin, dan kontrol negara atas sumber daya publik. Bahasa visual ini sejalan dengan narasi kepemimpinan yang ingin menampilkan negara sebagai aktor kuat dan tidak permisif terhadap pelanggaran hukum.

Hal yang perlu diperhatikan adalah ketika spektakel hanya bersifat pada pertunjukan saja akan berisiko menjadi simbol pemberantasan hukum yang bersifat hanya formalitas. Untuk itu, spektakel harus menjadi pengungkit untuk dilanjutkan dengan tindakan berkelanjutan yang terukur dan sinergis dalam konteks penyelamatan uang negara secara komprehensif.


Legitimasi Negara

Praktik spektakel yang dilakukan Pemerintah Indonesia juga dijumpai di berbagai negara.

Di Amerika Serikat, otoritas penegak hukum kerap menampilkan uang dan aset sitaan untuk menunjukkan keberhasilan penindakan (Levi & Reuter, 2006). Di China, spektakel antikorupsi digunakan sebagai alat konsolidasi legitimasi negara (Ang, 2020).

Italia bahkan melangkah lebih jauh, dengan mengalihfungsikan aset sitaan mafia menjadi fasilitas publik (Varese, 2011). OECD (2018) dan World Bank–StAR Initiative (2014) menegaskan bahwa publikasi pemulihan aset efektif bila disertai transparansi dan akuntabilitas.

Selanjutnya, riset Van de Walle dan Bouckaert (2003) menunjukkan bahwa simbol keberhasilan kebijakan mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi negara, terutama ketika publik tidak hanya mendengar janji, tetapi melihat hasil konkret dari penegakan hukum.

Hanya saja, bahasa kekuasaan yang terlalu bertumpu pada simbol juga mengandung risiko serius. Donald Moynihan dalam "The Dynamics of Performance Management" (2008) mengingatkan bahwa simbol kinerja yang tidak diikuti perbaikan sistemik berpotensi menciptakan ilusi keberhasilan.

Ketika publik tidak melihat transparansi pengelolaan aset, kepastian hukum atas status uang sitaan, serta konsistensi penindakan terhadap kasus-kasus serupa, spektakel dapat kehilangan daya persuasi dan justru melahirkan skeptisisme terhadap komitmen negara itu sendiri.

Di titik inilah tantangan sesungguhnya berada. Hampir Rp20 triliun uang negara yang telah dipertontonkan merupakan capaian yang signifikan, tetapi, sekaligus pengingat bahwa kerugian negara akibat korupsi bersifat sistemik dan jauh lebih besar.

Lagitimasi negara pada akhirnya tidak diukur dari seberapa besar uang yang dapat diperlihatkan kepada publik, melainkan dari seberapa konsisten uang tersebut dikembalikan, dikelola secara transparan, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika itu yang terjadi, maka spektakel tidak berhenti sebagai tontonan, melainkan menjadi fondasi kepercayaan dan keadilan yang nyata.

Baca juga: Kejagung: Uang sitaan Rp11 triliun dari Wilmar bukan uang jaminan

Membangun kepercayaan

Spektakel penyelamatan uang negara tidak dapat dibaca semata-mata sebagai peristiwa seremonial atau komunikasi visual belaka. Ia adalah simpul dari berbagai lapisan makna yang saling bertaut: upaya pemulihan keuangan negara, strategi membangun legitimasi kekuasaan, serta cara negara berbicara kepada publik dalam lanskap politik modern.

Ketika uang sitaan ditampilkan di ruang publik, negara tidak hanya menyampaikan pesan tentang keberhasilan penegakan hukum, tetapi juga sedang membentuk narasi mengenai kehadiran dan otoritasnya atas uang rakyat yang selama ini hilang akibat praktik korupsi dan kejahatan ekonomi.

Dari perspektif teori, spektakel bekerja sebagai bahasa kekuasaan yang sah dalam masyarakat kontemporer, sebagaimana dijelaskan oleh Debord, Weber, dan Edelman. Kemudian, riset administrasi publik dan tata kelola mengingatkan bahwa kekuatan simbolik hanya akan bertahan jika ditopang oleh substansi kebijakan.

Spektakel dapat membangun kepercayaan, tetapi juga dapat dengan cepat runtuh, ketika publik tidak melihat konsistensi penindakan, transparansi pengelolaan aset, dan kepastian bahwa uang negara benar-benar kembali ke kas publik dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Dalam perspektif fiskal, hampir Rp20 triliun uang negara yang telah dipertontonkan menunjukkan potensi besar pemulihan keuangan negara. Saat bersamaan, angka tersebut juga menjadi pengingat bahwa kerugian negara akibat korupsi jauh lebih besar dan bersifat sistemik. Tanpa penguatan pengawasan, tata kelola anggaran, dan pencegahan korupsi, spektakel akan terus berulang sebagai peristiwa visual, tanpa mengurangi akar masalah.

Pada titik inilah makna spektakel diuji. Ia bisa menjadi pintu masuk untuk membangun kembali kepercayaan publik, jika diikuti konsistensi kebijakan dan keberanian reformasi.

Sebaliknya, jika berhenti sebagai tontonan, spektakel justru berisiko menjadi simbol kosong. Negara pada akhirnya tidak diukur dari seberapa besar uang yang bisa dipertontonkan, melainkan dari seberapa jauh uang rakyat itu benar-benar kembali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama.

Baca juga: Kejagung sita uang Rp6,8 triliun terkait kasus Duta Palma

Baca juga: Kejagung: Uang pengganti Suparta kemungkinan dibebankan ke ahli waris



*) Dr M Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Ditjen Pajak Kemenkeu






Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Angin Puting Beliung dan Banjir Landa Pati, Genangan Rendam Jalur Alternatif Pati – Kudus
• 6 jam laludisway.id
thumb
Unggahan Anrez Adelio jadi Sorotan Usai Dikabarkan Menghamili Friceilda Prillea
• 2 jam lalucumicumi.com
thumb
Akhirnya Thailand-Kamboja Sepakat Hentikan Konflik Perbatasan
• 2 jam laluidntimes.com
thumb
Polri Pulangkan 9 WNI Korban TPPO di Kamboja, Dipekerjakan Jadi Admin Judol dan Scammer
• 17 jam lalubisnis.com
thumb
Kenaikan Harga Emas Antam: Apa yang Perlu Diketahui Investor?
• 5 jam lalurepublika.co.id
Berhasil disimpan.