Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat tingkat okupansi hotel selama libur Natal 2025 tidak merata di berbagai daerah.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan okupansi hotel di Sulawesi Selatan tercatat menurun, sedangkan Sumatera Selatan justru mengalami peningkatan di periode Natal ini.
“Di beberapa daerah seperti Yogja dan Sleman, itu meningkat tapi daerah lainnya belum tentu. Kira-kira Jawa Tengah juga naik begitu, ada yang sampai angka 71 persen,” kata Yusran kepada wartawan, Sabtu (27/12).
Secara umum, Yusran menilai pergerakan okupansi hotel di Pulau Jawa relatif lebih baik dibandingkan wilayah di luar Jawa. Menurutnya, kondisi di luar Jawa masih menunjukkan fluktuasi dengan tren yang belum sepenuhnya stabil.
Yusran mengungkapkan hingga kini PHRI belum mengantongi data lengkap untuk membandingkan okupansi natal tahun ini dengan periode yang sama tahun lalu. Sebab, masih ada sejumlah daerah yang melaporkan penurunan cukup dalam.
“Di luar Pulau Jawa itu bervariatif ada yang naik dan ada yang turun. Nanti kita lihat (datanya), karena ada daerah yang mengklaim bahwa jauh lebih rendah dibandingkan periode yang lalu,” ungkap Yusran.
Sementara untuk wilayah Jakarta, Yusran mencatat tingkat okupansi hotel pada 24-25 Desember berada di kisaran 60 hingga 64 persen. Angka tersebut masih berada di bawah target ideal PHRI yang berada di level 80 persen.
“Jakarta pun harusnya bisa banyak terisi karena kan libur tahun baru itu banyak menikmati berbagai agenda, event. Kita lihat nanti di pergantian tahun seperti apa,” ujar Yusran.
Okupansi Hotel Diharapkan Naik Jadi 80 Persen pada Tahun BaruYusran berharap tingkat okupansi hotel meningkat saat libur Tahun Baru 2026 dibandingkan periode Natal 2025. Meski begitu, ia menekankan proyeksi tersebut masih bersifat sementara dan baru dapat dipastikan setelah seluruh periode libur berakhir.
“Seperti contoh di Jawa Barat, saya kasih contoh tanggal 24-25 (Desember) itu ya cuma okupansinya cuma 65 persen dan itu turun 15 persen. Nah sementara kan di pemberitaan itu seolah-olah (okupansi) meningkat kan rame, penuh,” tutur Yusran.
Yusran menegaskan penilaian terhadap okupansi hotel tidak bisa hanya didasarkan pada satu atau dua properti, melainkan harus melihat rata-rata tingkat hunian secara provinsi. Menurutnya, target ideal selama periode libur Nataru adalah okupansi hotel bisa mencapai sekitar 80 persen setidaknya selama empat hari.
“Ya kita harapkannya seperti itu, karena kan pemerintah juga sudah mendorong adanya beberapa bagai stimulus untuk mengerakkan itu,” lanjut Yusran.
Yusran menuturkan kinerja sektor perhotelan sangat bergantung pada pergerakan wisatawan lintas daerah. Hal ini berbeda dengan pusat perbelanjaan yang dapat tetap ramai oleh masyarakat lokal tanpa perlu adanya perjalanan atau aktivitas menginap.
“Dia (wisatawan) menginap (di hotel) jadi peningkatan yang ada di mal dengan hotel itu pasti berbeda juga indikatornya. Gak bisa disamain,” jelas Yusran.
Selain itu, Yusran mengingatkan sejumlah faktor yang turut memengaruhi mobilitas wisatawan selama libur Nataru, antara lain cuaca ekstrem yang berpotensi menghambat perjalanan, daya beli masyarakat yang masih menjadi pertimbangan utama, serta keterbatasan pilihan moda transportasi di luar Pulau Jawa.
Menurut Yusran, di wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua, pergerakan wisatawan masih bergantung pada transportasi udara. Kondisi ini berbeda dengan Pulau Jawa yang memiliki lebih banyak alternatif moda transportasi.
“Jadi ini yang bisa membuat suatu ketimpangan terhadap pertumbuhan pergerakan (okupansi hotel) di libur Nataru, setiap libur pergerakan orangnya itu pasti akan berbeda-beda,” tutur Yusran.





/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F26%2Fe3713e20c784e2cd34f1c4a1cb168e27-IMG_0008.jpeg)