Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan mengenakan bea keluar terhadap ekspor batu bara mulai 2026. Pungutan baru terhadap komoditas 'emas hitam' itu diharapkan bisa menyetorkan sekitar Rp25 triliun ke APBN dalam satu tahun.
Apabila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor batu bara Indonesia sepanjang Januari sampai dengan Oktober 2025 sebesar 320,47 juta ton. Volume tersebut turun 4,10% secara tahunan (year-on-year/YoY), dari 334,19 juta ton pada 2024.
Sejalan dengan hal tersebut, nilai ekspor batu bara Januari–Oktober 2025 tercatat US$20,09 miliar atau turun 20,25% YoY yakni dari US$25,19 miliar.
Sementara itu, dari kurun waktu 2020–2024, volume ekspor batu bara terus meningkat. Pada 2020, volume ekspor batu bara tercatat sebesar 341,5 juta ton atau anjlok dari 2019 yakni sebelum terjadi pandemi Covid-19, yaitu 374,9 juta ton.
Volumenya kemudian terus merangkak naik ke 345,4 juta ton (2021), 360,1 juta ton (2022), 379,7 juta ton (2023) dan terakhir sebesar 405,7 juta ton (2024).
Secara nilai, ekspor batu bara juga merangkak naik dari 2020 senilai US$14,5 miliar, kemudian ke US$26,5 miliar (2021) dan US$46,7 miliar (2022).
Baca Juga
- Kompensasi Restitusi, Eksportir Batu Bara Ditarget Setor Bea Keluar Rp25 Triliun
- Kemenkeu Finalisasi Aturan Bea Keluar Batu Bara, Rampung Bulan Ini
- Bea Keluar Batu Bara Berlaku saat Harga Tinggi, Formulasi Masih Disusun
Akan tetapi, mulai 2023 nilainya turun ke US$34,5 miliar dan pada 2024 senilai US$30,4 miliar.
Implementasi Bea Keluar Mulai 2026Adapun Kemenkeu mengestimasi penerimaan negara melalui pengenaan bea keluar terhadap batu bara mulai Januari 2026 sekitar Rp25 triliun. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu pada konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025, Kamis (18/12/2025).
Febrio mengatakan pihaknya menargetkan secepatnya akan menerbitkan aturan pengenaan tarif ekspor kepada komoditas emas hitam itu.
"Kami estimasi bisa mencapai Rp24 triliun-Rp25 triliun satu tahun penerimaan dari bea keluar batu bara," terangnya, dikutip Minggu (21/12/2025).
Eselon I Kemenkeu itu menjelaskan, landasan filosofis pengenaan bea keluar batu bara mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pada dasarnya, kekayaan alam di Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pungutan bea keluar batu bara diharapkan berlaku bersamaan dengan bea keluar emas. Bedanya, pengenaan bea keluar untuk emas sudah lebih siap berlaku mulai awal tahun depan sejalan dengan sudah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.80/2025 yang mulai berlaku 23 Desember 2025.
Pada aturan tersebut, ekspor empat produk emas yakni dore, granules, casted bars dan minted bars akan dikenai tarif kisaran 7,5% sampai dengan 15%.
Pengenaan bea keluar emas diharapkan bisa mendorong ketersediaan pasokan emas dalam negeri untuk di antaranya kebutuhan bullion bank. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyebut pihaknya menargetkan penerimaan dari bea keluar emas senilai Rp3 triliun.
Sementara itu, untuk pengenaan bea keluar batu bara, Purbaya menyampaikan bahwa pungutan itu ditujukan agar tidak memberikan subsidi kepada industri batu bara.
Sebagaimana diketahui, batu bara selama ini seakan 'disubsidi' oleh pemerintah karena mayoritas produknya diekspor dan dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN).
"Jadi kami balik ke status yang awal tadi. Jangan sampai kami memang subsidi industri batu bara," tuturnya.
Rencana pengenaan bea keluar batu bara tidak lepas dari tingginya restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) batu bara akibat diterapkannya Undang-Undang (UU) tentang Cipta Kerja. Sebab, dalam omnibus law tersebut, batu bara masuk ke kategori barang kena pajak (BKP).
Dengan status BKP, maka wajib pajak atau pengusaha kena pajak (PHK) berhak untuk mengkreditkan pajak masukan yang terkait dengan eksportasi batu bara.
Untuk itu, mereka bisa memeroleh restitusi atau pengembalian pendahuluan yang kini mekanismenya telah dipercepat, jika status pajak masukannya lebih besar dari pajak pengeluaran (penjualan).
Namun karena tarif yang berlaku 0%, sedangkan PKP tetap membayar PPN selama produksi maupun proses eksportasi, maka otomatis akan terjadi lebih bayar karena pajak masukan lebih besar dibandingkan pajak keluaran.
Hal ini berarti pengusaha dan para taipan batu bara secara otomatis berhak untuk memeroleh restitusi atau pengembalian pendahuluan.
Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu pun mencatat bahwa restitusi PPN sektor batu bara sejak 2021 sampai 2025 terus meningkat. Pada 2021, restitusi PPN batu bara tercatat sebesar Rp5,7 triliun.
Kemudian, nilainya meningkat ke Rp11,3 triliun (2022), Rp20,2 triliun (2023) dan Rp25,2 triliun (2024).
"Sementara itu, hingga November 2025, nilai restitusi PPN sektor batu bara telah mencapai Rp42,9 triliun," terang Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli kepada Bisnis, Rabu (24/12/2025).





