Di Balik Omelan Lansia: Ada Takut yang Tak Terucap

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Bayangkan sebuah pagi yang seharusnya tenang, tiba-tiba pecah oleh rentetan keluhan. Ayah yang berusia 70 tahun marah hanya karena sendok tak diletakkan di tempat biasa. Ibu mengomel panjang soal masakan yang terasa “kurang enak”, padahal resepnya tak pernah berubah. Bagi generasi yang lebih muda, situasi semacam ini kerap memicu kelelahan emosional: kesal, jengkel, lalu diam-diam memberi label—lansia rewel, orang tua makin sulit dihadapi.

Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: benarkah ini sekadar soal sifat yang memburuk karena usia, atau ada sesuatu yang jauh lebih dalam yang sedang mereka alami?

Di balik omelan yang melelahkan itu, sering tersembunyi ketakutan yang tak pernah terucap. Tantangan terbesar dalam pengasuhan lansia di Indonesia hari ini bukan hanya penurunan fisik, melainkan kegagalan komunikasi antar-generasi dalam memahami emosi. Perilaku emosional lansia bukan serangan personal kepada kita, melainkan manifestasi kecemasan: takut kehilangan kendali, takut sakit, dan yang paling sunyi—takut menjadi tidak berguna.

Membaca Lansia dengan Kacamata “Detektif”, Bukan Hakim

Memahami lansia menuntut empati yang lebih dalam. Dalam dunia medis geriatri, dikenal istilah atypical presentation: kondisi ketika penyakit atau gangguan fisik tidak muncul dalam bentuk keluhan nyeri yang jelas, melainkan lewat perubahan perilaku.

Infeksi ringan, nyeri kronis akibat pengapuran tulang, atau gangguan tidur sering kali muncul sebagai iritabilitas dan kemarahan. Ketika seorang kakek membentak cucunya, bisa jadi ia sedang menahan nyeri yang tak kunjung reda—namun tidak tahu bagaimana mengungkapkannya tanpa merasa lemah atau merepotkan.

Selain faktor fisik, ada luka psikologis yang tak kalah besar: hilangnya kemandirian. Bayangkan seseorang yang puluhan tahun menjadi pengambil keputusan utama, kini harus bergantung pada orang lain bahkan untuk hal-hal kecil. Rasa kehilangan kontrol ini memicu kecemasan yang mendalam. Omelan, dalam konteks ini, adalah upaya terakhir untuk mempertahankan martabat dan memastikan bahwa suara mereka masih diperhitungkan.

Validasi Emosi: Jalan Pendek Menuju Ketentraman

Banyak keluarga terjebak pada kesalahan yang sama: melawan emosi lansia dengan logika. Padahal, seiring bertambahnya usia, fleksibilitas kognitif ikut menurun. Membantah keluhan mereka dengan data dan fakta sering kali justru dibaca sebagai penolakan atau ketidakpedulian.

Di sinilah pentingnya validasi emosi. Saat ibu berkata, “Kamu tidak pernah punya waktu untuk Ibu,” jawaban berupa daftar kunjungan justru memperkeruh suasana. Respons yang lebih menenangkan adalah mengakui perasaannya: “Ibu merasa kesepian ya kalau aku sibuk. Aku mengerti.”

Validasi bukan berarti mengiyakan semua keluhan, melainkan memberi rasa aman. Ketika seseorang merasa didengar, sistem pertahanan emosinya perlahan menurun. Relasi pun bergeser dari arena debat menjadi ruang aman.

Memberi Kontrol Kecil, Mengurangi Gejolak Besar

Psikolog geriatri banyak merekomendasikan strategi pemberian pilihan terbatas. Cara ini membantu lansia mendapatkan kembali rasa kendali tanpa menciptakan konflik.

Alih-alih memerintah, ajukan pilihan sederhana: “Ibu mau mandi sebelum atau sesudah minum teh?” Pilihan kecil ini berdampak besar bagi harga diri yang sering terkikis di usia senja.

Teknik pengalihan juga efektif ketika emosi mulai memuncak. Mengajak melihat album foto lama atau mendengarkan lagu dari masa muda dapat membangkitkan memori positif. Musik, khususnya, terbukti mampu menenangkan sistem saraf dan memicu perasaan aman melalui ingatan yang familiar.

Merawat Diri: Batas Sehat bagi Sang Perawat

Pengasuhan lansia juga memiliki sisi gelap yang jarang dibicarakan: caregiver burnout. Merawat orang tua yang emosional tanpa jeda empati pada diri sendiri hanya akan melahirkan kelelahan dan rasa bersalah yang menumpuk.

Merasa jengkel bukan berarti tidak berbakti—itu manusiawi. Rutinitas yang stabil membantu lansia merasa aman, sekaligus menjaga kesehatan mental perawat. Namun, jika perilaku lansia sudah mengarah pada agresi atau depresi berat, bantuan profesional tidak boleh ditunda. Mencintai orang tua tidak berarti menanggung semuanya sendirian hingga hancur.

Merangkul Sunyi di Usia Senja

Mengubah cara kita memandang omelan lansia adalah langkah penting menuju keluarga yang lebih sehat. Di balik suara keras itu, ada manusia yang sedang cemas menghadapi masa depan yang semakin sempit.

Sudah waktunya kita berhenti menjadi lawan debat dan mulai menjadi pendengar aktif. Saat omelan muncul, tarik napas. Ingatlah: ini bukan tentang kita, melainkan tentang ketakutan yang sedang mereka hadapi.

Masa depan kita adalah cerminan dari cara kita memperlakukan lansia hari ini. Jika kelak kita ingin diperlakukan dengan empati saat rambut memutih, maka benihnya harus ditanam sekarang.

Mari rawat martabat mereka. Karena di balik kemarahan itu, mereka hanya ingin diyakinkan bahwa mereka tetap berharga—hingga napas terakhir.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BNPB: 1.137 Orang Tewas akibat Banjir Bandang dan Longsor di Sumatra
• 14 jam lalumerahputih.com
thumb
Mudik Natal 2025, Arus Lalu Lintas di Jalan Sudirman Ramai Lancar
• 7 jam laluidxchannel.com
thumb
Sukses Rampok Emas 960 Kg di RI, Terbongkar Gara-gara Ulah Istri
• 15 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Sayangkan Narasi Represif, Ini Penjelasan TNI soal Larangan Pengibaran Bulan Bintang di Aceh
• 14 jam lalurctiplus.com
thumb
Gedung Sate: Peninggalan Bersejarah yang Ceritanya Selalu Memukau
• 11 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.