Di pedesaan Jepang, fenomena Akiya bukan lagi cerita fiksi. Jutaan rumah kosong dibagikan gratis karena tidak ada lagi manusia yang menghuninya. Bagi banyak orang kita yang didoktrin "tanah tak pernah turun harganya," ini terdengar mustahil. Namun, kenyataannya pahit: Jepang adalah mesin waktu yang menunjukkan masa depan properti Indonesia.
Jika Anda masih berencana menimbun tanah untuk masa tua hanya berdasarkan asumsi masa lalu, Anda mungkin sedang terjebak dalam "Jebakan Pertumbuhan" (Growth Trap) yang akan meledak dalam dua dekade ke depan.
Rezeki Memang Diatur, Tetapi Strategi Adalah Bagian dari IkhtiarSeringkali muncul argumen: "Jangan takut investasi properti, rezeki anak-cucu sudah ada yang mengatur." Kalimat ini benar secara spiritual, namun secara logika investasi, kita diperintahkan untuk menggunakan akal. Seperti kisah Rasulullah SAW yang menegur seorang Badui yang tidak mengikat untanya karena "bertawakal," beliau bersabda: "Ikatlah untamu, baru bertawakal."
Membaca tren demografi adalah cara kita "mengikat unta." Menimbun aset properti di lokasi yang kemungkinan besar akan sepi di masa depan bukanlah bentuk tawakal, melainkan pengabaian terhadap realitas ekonomi yang sudah Allah hamparkan di depan mata melalui data.
Mitos "Banyak Anak" dan Realitas TFR 2,1Mungkin banyak yang skeptis: "Indonesia kan punya budaya keluarga besar yang kuat." Secara statistik, anggapan ini mulai meleset. Data BPS menunjukkan Total Fertility Rate (TFR) Indonesia turun tajam dari 5,6 pada tahun 1970-an menjadi sekitar 2,1 saat ini. Ini adalah angka "Replacement Level"—titik di mana populasi hanya sekadar bertahan, bukan lagi meledak.
Keluarga urban kini lebih mengedepankan kualitas pendidikan dan kehidupan daripada kuantitas. Artinya, jumlah "pembeli potensial" untuk properti di masa depan sedang menyusut secara perlahan tapi pasti. Mengharap harga tanah naik selamanya di tengah populasi yang mulai mendatar adalah anomali matematika.
Jebakan "Angka Penduduk" vs "Daya Beli"Kita tidak bisa menyamakan pertumbuhan penduduk di daerah pelosok dengan permintaan properti di pusat ekonomi. Pertanyaannya: siapa yang akan membeli rumah cluster mewah dari tangan Anda 30 tahun lagi jika mayoritas pertumbuhan penduduk terkonsentrasi di segmen ekonomi yang tidak memiliki akses ke perbankan?
Aset properti tanpa pembeli yang mampu bayar hanyalah sebidang tanah yang tidak likuid. Meninggalkan warisan berupa tanah yang tidak bisa dijual dan hanya membebani ahli waris dengan pajak serta biaya perawatan tentu bukan bentuk "warisan terbaik" yang kita inginkan bagi anak cucu.
Fenomena 'Ghost Towers' dan Pergeseran Gaya HidupSaat ini, kota besar sudah dipenuhi "Ghost Towers"—apartemen yang terjual habis secara unit, namun gelap gulita di malam hari. Ini adalah bukti nyata ketimpangan (mismatch) pasokan. Generasi muda saat ini, yang terjebak dalam dilema Sandwich Generation, lebih memilih fleksibilitas menyewa daripada mengikat diri pada KPR 20 tahun.
Properti tanpa penghuni adalah beban: biaya iuran (IPL), pajak, dan perawatan akan menguras tabungan Anda tanpa memberikan imbal hasil. Di masa depan, rumah yang kosong bisa jadi bukan lagi "harta karun," tapi "harta yang merepotkan."
Bali: Jebakan Investasi Berbasis Tren WisataBanyak orang Indonesia berlomba-lomba membeli villa atau tanah di Bali karena tergiur gaya hidup dan potensi sewa harian. Namun, ini adalah investasi yang sangat berisiko. Properti wisata di Bali sangat bergantung pada sentimen global dan kelestarian lingkungan.
Investasi di lokasi wisata bukanlah investasi hunian, melainkan spekulasi bisnis. Jika terjadi krisis ekonomi global, perubahan tren wisata, atau kerusakan lingkungan (seperti krisis air dan kemacetan parah), nilai properti tersebut akan jatuh seketika. Bagi pemilik Hak Milik sekalipun, aset ini akan sulit dicairkan jika tidak ada lagi turis atau investor yang tertarik. Anda akan terjebak dengan aset mahal di pulau yang semakin padat, tanpa ada pembeli lokal yang sanggup membayar harga setinggi itu.
Kesimpulan: Harta yang Berkah Adalah Harta yang BermanfaatHarta yang berkah adalah harta yang produktif dan memberikan ketenangan, bukan yang mengendap mati dalam bentuk aset fisik yang tak laku dijual. Di masa depan yang penduduknya menyusut atau daya belinya stagnan, Likuiditas Adalah Raja.
Aset likuid seperti saham, SBN, atau emas tidak hanya membuat Anda tetap fleksibel, tapi juga jauh lebih mudah dikonversi menjadi 'investasi' yang nyata manfaatnya—baik untuk bekal pendidikan anak maupun dana sosial yang mengalirkan manfaat bagi orang banyak.
Berhentilah FOMO pada pameran properti hanya karena tradisi lama. Pahami bahwa warisan terbaik bagi generasi mendatang bukanlah tumpukan bata dan semen yang menua di ghost town, melainkan kemandirian finansial dan ilmu yang bermanfaat yang bisa mereka gunakan untuk bertahan di zaman yang baru.





