Dewasa ini, sering kali muncul pertanyaan dalam pikiran kita tentang apakah dunia ini benar-benar adil dan berpihak kepada kita. Padahal sejatinya Allah sedang menguji hamba-Nya, karena Dia Maha Mendengar doa dan sangat mencintai hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya. Namun dalam kenyataannya, manusia kerap membandingkan dirinya dengan seseorang yang menyepelekan ibadah, tetapi justru tampak lancar rezekinya dan doanya seolah lebih cepat terkabul.
Peristiwa tersebut dalam islam tidak selalu berarti Allah meridhainya. Bisa saja hal itu merupakan istidraj, yaitu keadaan ketika Allah memberikan kenikmatan duniawi kepada seorang hamba yang lalai sebagai bentuk ujian. Banyak orang terjerumus dalam istidraj karena mengira kenikmatan yang mereka peroleh merupakan tanda kemuliaan dan kasih sayang Allah. Padahal, istidraj justru dapat menipu manusia dengan mengalihkan perhatian mereka dari kebenaran serta menutup kesadaran terhadap bahaya yang tersembunyi di balik kenikmatan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, istidraj dapat terlihat ketika seseorang meninggalkan salat, namun merasa hidupnya tetap berjalan baik-baik saja tanpa hambatan. Kondisi semacam ini bisa menjadi bentuk ujian dari Allah SWT, hingga pada akhirnya seluruh kenikmatan itu dicabut dan hanya menyisakan penyesalan yang datang terlambat.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S Al-An'am ayat 44:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ
Artinya: "Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa."
Ayat ini menjelaskan bahwa kelapangan rezeki dan terkabulnya keinginan tidak selalu menjadi tanda keridhaan Allah, melainkan dapat menjadi ujian (istidraj) agar manusia tidak lalai dan tetap ingat kepada-Nya.
Di tengah pembahasan ini, pendapat manusia pun beragam. Sebagian merasa bingung dan mempertanyakan keadilan Allah ketika melihat orang yang menyepelakn ibadah justru hidupnya tampak lebih mudah dan rezekinya lancar. Dari rasa heran tersebut, tidak jarang muncul perasaan iri dan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.
Tidak sedikit pula yang merasa lelah secara batin karena telah berusaha taat beribadah, namun belum melihat hasil seperti yang diharapkan. Di sisi lain, sebagian orang mencoba memahami peristiwa ini sebagai ujian iman, dengan keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap hamba-Nya.
Dalam Islam, setiap manusia memiliki ujian, waktu, dan takaran hidup yang berbeda-beda. Membandingkan keadaan orang lain sebagai tolak ukur keadilan Allah justru dapat menyesatkan cara pandang kita, sebab Allah Maha Mengetahui kebutuhan dan kemampuan setiap hamba-Nya.
Oleh karena itu, sebagai manusia sekaligus makhluk ciptaan Allah, kita harus senantiasa bersabar, berikhtiar, dan ikhlas. Barangkali Allah sudah menyiapkan yang terbaik di waktu yang tepat dan dengan cara yang tak terduga. Maka, berpikirlah positif, karena roda kehidupan pasti berputar seiring berjalannya waktu. Tidak semua keinginan harus segera dikabulkan, sebab jika semuanya terpenuhi, manusia bisa lupa cara bersyukur dan berdoa.
Zamzamil Karimah mahasiswa Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5456030/original/059927900_1766774622-TPPO.jpeg)


