Cabai dan Bawang Merah, Buah Tangan Petani dari Pulau Karang di Selatan Indonesia

kompas.id
11 jam lalu
Cover Berita

Matahari menikam tajam membuat tanah berkapur yang baru saja diguyur hujan seketika mengering. Di tengah hamparan lahan, Ferdinan Tasi (57) menyapu pandangan, melihat ribuan tanaman bawang merah yang tumbuh subur di antara celah batu karang. 

Lebih dari separuh daun bawang merah itu menguning, layu, dan sebagian mulai rebah ke tanah. Batangnya mengempis, mengecil, dan mengering.  Umbinya menekan ke permukaan tanah di pangkal batang dan mulai tampak merah keunguan. Aromanya pun menguar. 

Ia lalu mencabut perlahan agar umbinya tidak rusak. Tanah yang menempel pada umbi dibersihkan. Umbi dibiarkan mengering di bawah matahari, sebelum dibersihkan dan dikeringkan lagi, lalu dijual.

”Saat sekarang biasanya gagal panen, tetapi kali ini cukup baik. Akhir tahun yang menggembirakan,” kata Ferdinan dari kebun bawang miliknya di Desa Edalode, Kecamatan Pantai Baru, Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (27/12/2025). 

Setelah berumur dua bulan, bawang merah sudah bisa dipanen. Dari beberapa umbi yang sudah dicabut, diperkirakan 1 meter persegi bisa menghasilkan hingga 3,4 kilogram bawang merah kering. Ini hasil maksimal di tengah iklim tak menentu. Kadang hujan berlebihan, juga panas berkepanjangan.

Saat ideal budidaya bawang merah di Rote memang sudah lewat. Biasanya April hingga Mei, hasilnya jauh lebih baik. Saat itu, panas berkepanjangan dan sesekali diimbangi hujan. Selebihnya disiram secara manual dengan takaran air terukur. Seminggu cukup satu kali disiram.

Lebih dari tiga dekade mengolah berbagai jenis tanaman hortikultura, bawang merah termasuk memerlukan perlakuan khusus. Harus telaten. Terlebih di tanah tandus berkapur yang boros air. Belum lagi ancaman jamur yang bisa menyebabkan gagal panen.

Namun, jika tak banyak hambatan, produktivitas bisa mencapai 10 ton per hektar. Dengan harga jual Rp 20.000 per kilogram, penghasilan diraup sebesar Rp 200 juta. Dikurangi biaya produksi 20-25 persen, keuntungan diperoleh cukup besar.

Baca JugaPertanian di Pulau Rote, Wilayah Paling Selatan Indonesia

Di sudut lain Pulau Rote, tepatnya di Desa Helebeik, Kecamatan Lobalain, Aren Alekson Zacharias (47) membudidayakan cabai rawit. Hujan berlebihan pada awal Desember lalu menantang petani cabai. 

Berbeda dengan bawang merah, di daerah tandus seperti Rote, petani menyiram cabai secara rutin pagi dan sore hari. Oleh karena itu, butuh banyak air. Cabai sudah bisa dipanen setelah tiga bulan.

Lebih dari 30 tahun bertani, Aren mengalami jatuh bangun dalam pengairan, mulai dari air dibawa menggunakan anyaman daun lontar hingga wadah ember plastik. Dulu ia menimba air di sumur, kini ia  menggunakan mesin penyedot.

Bagi Aren, bertani hortikultura, terutama cabai, sangat menjanjikan. Permintaan pasar selalu tinggi. Produktivitas 1 hektar bisa mencapai 7 ton. Jika harga jual Rp 40.000 per kilogram, penghasilan kotor Rp 280 juta. Dengan biaya produksi sekitar 25 persen, laba bersih masih di atas Rp 200 juta.

Baca JugaHarapan Petani Rote Ndao Pupuk Subsidi Menjangkau Ujung Negeri

Ferdinan dan Aren sama-sama sepakat, dengan kondisi tanah kapur dan berbatuan, faktor pemupukan menjadi kunci penentu produktivitas. Setelah bedeng disiapkan, mereka menyebar pupuk kandang berupa kotoran sapi. Di daerah itu banyak sapi berkeliaran, kotorannya pun bertebaran.

Tahap berikutnya adalah pemberian pupuk bersubsidi dari negara yang disalurkan PT Pupuk Indonesia. Ada urea Rp 1.800 per kg an NPK Phonska Rp 1.840 per kg. Kehadiran pupuk subsidi membantu mengurangi biaya. Produktivitas pun meningkat.

Kendati demikian, kata Ferdinan, distribusi masih sering terkendala. Pengangkutan ke Pulau Rote terhambat gelombang tinggi. Akibatnya, distribusi ke petani  terlambat. ”Kadang, harga di petani lebih tinggi dari harga subsidi,” ujarnya.

Serial Artikel

Bertaruh Nyawa Mengemudi Kapal ke Pulau Paling Selatan Indonesia 

Selat Rote adalah salah satu rute yang cukup menantang. Sering terjadi kecelakaan kapal. Jika tinggi gelombang hingga 4 meter, kapal miring 40 derajat. 

Baca Artikel
Redam inflasi 

Rote merupakan pulau terluar. Letaknya paling selatan Indonesia. Dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT, Rote dijangkau dengan pelayaran kapal feri selama empat jam. Jalur pelayaran itu termasuk cukup ekstrem. Gelombang tinggi dari Samudera Indonesia menerjang hampir setiap waktu.

Setiap kali pelayaran dari Rote selalu saja mengangkut hasil pertanian hortikultura untuk dipasarkan di Kota Kupang. Truk dan mobil bak terbuka penuh dengan bawang merah, bawang putih, cabai rawit, semangka, dan lainnya.

Hasil pertanian Rote membanjiri sejumlah pasar, seperti Pasar Kasih Kota Kupang. Bawang merah yang masuk pada Minggu (28/12/2025) dini hari, langsung meredam inflasi yang terjadi menjelang Natal 25 Desember. Harga bawang merah turun dari Rp 50.000 per kg menjadi Rp 40.000 per kg.

"Kalau bawang merah dan cabai rawit dari Rote sudah masuk, harga di sini bisa netral lagi ke harga normal," kata Marni (55), pedagang yang sejak usia belasan tahun sudah berjualan di Pasar Kasih Kupang.

Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan NTT Joaz Umbu Wanda mengatakan, pasokan bawang merah dan cabai rawit dari Rote menguasai sekitar 30 persen pasar di Kota Kupang. Bahkan, ke sejumlah kabupaten/kota lain di NTT. 

"Pasokan dari Rote sering kali merendam gejolak inflasi," ucapnya. Pada November 2025, NTT mencatat inflasi sebesar 2,40 persen. Bawang merah menyumbang 0,05 persen sedangkan cabai rawit 0,02 persen.

Oleh karena itu, kata Joaz, berbagai kebijakan diarahkan untuk menjadikan Rote sebagai lumbung pertanian hortikultura di NTT. Distribusi benih dan pupuk dikontrol langsung pemerintah untuk mencegah permainan harga di tingkat petani.

Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Tuti Lawalu, mendorong kerja keras berbagai pihak untuk mewujudkan swasembada hortikultura di NTT. Selain  produksi pertanian, rantai pasok dan distribusi diatur agar harga menguntungkan petani namun tidak memberatkan konsumen.

"Supaya petani juga semangat produksi dan konsumen di NTT juga tidak mencari dari daerah luar yang mungkin harganya lebih murah. Sebab, sejauh ini kebutuhan di NTT masih bergantung dari luar," kata Tuti.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) Perwakilan NTT, tahun 2024, nilai barang yang dipasok dari luar mencapai Rp 40,49 triliun sedangkan yang dikirim ke luar hanya Rp 5,88 triliun. Artinya, NTT mengalami defisit neraca perdagangan Rp 34,61 triliun. Barang yang dipasok dari luar kebanyakan untuk kebutuhan harian termasuk hasil pertanian.

Di tengah defisit neraca perdagangan NTT yang sangat lebar, ada secercah harapan bahwa sebagian kebutuhan bisa dihasilkan di daerah itu. Seperti bawang merah dan cabai rawit, buah tangan petani yang mengolah lahan berbatu karang di Rote, pulau terselatan Indonesia.

Serial Artikel

Harapan Petani Rote Ndao Pupuk Subsidi Menjangkau Ujung Negeri

Pupuk bersubsidi sangat membantu petani seperti di Pulau Rote. Pupuk memegang peran besar dalam ketahanan pangan.

Baca Artikel


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kian Banyak Negara Tolak Pengakuan Israel Atas Somailand
• 1 menit laludetik.com
thumb
IMI: Rehabilitasi pascabencana di Sumatera harus dimulai dari hulu
• 15 jam laluantaranews.com
thumb
Menkomdigi & Ekosistem Digital Hadir Pulihkan Warga Terdampak di Aceh
• 6 jam laludetik.com
thumb
Tol Cikampek Arah Jakarta Padat, Contraflow Diberlakukan Mulai KM 65-47
• 5 jam lalukumparan.com
thumb
Viral! Ormas Madas Usir Paksa Nenek Elina, Walkot Surabaya Buka Suara
• 6 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.