MerahPutih.com - Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan kekecewaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
MAKI menilai, penghentian perkara tersebut janggal karena KPK sebelumnya telah mengumumkan penetapan tersangka.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menyebutkan, pihaknya akan mengirimkan surat resmi kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) agar mengambil alih penanganan perkara tersebut dan memulai proses hukum dari awal.
“Saya menyesalkan penghentian itu karena sudah diumumkan tersangkanya dan bahkan diduga menerima suap,” ujar Boyamin kepada wartawan, Minggu (28/12).
Baca juga:
KPK Geledah Kantor Bupati Bekasi, Sita 49 Dokumen dan 5 Barang Bukti Elektronik
Boyamin menegaskan, langkah menyurati Kejagung dilakukan agar kasus dugaan korupsi yang disebut merugikan negara hingga triliunan rupiah itu tetap dapat diproses secara hukum.
Menurutnya, Kejagung memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan baru.
“Saya sudah berkirim surat ke Kejaksaan Agung untuk menangani perkara ini, untuk memulai penyidikan baru atau penanganan baru,” katanya.
Selain itu, MAKI juga berencana mengajukan gugatan praperadilan guna meminta hakim membatalkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan KPK.
Baca juga:
KPK Lakukan 11 OTT, Tetapkan 118 Tersangka, dan Pulihkan Aset Negara Rp 1,53 Triliun Sepanjang 2025, Tertinggi dalam 5 Tahun Terakhir
Namun, Boyamin mengaku masih mempertimbangkan langkah tersebut apabila Kejagung bergerak cepat.
“Saya juga akan menempuh upaya praperadilan untuk membatalkan SP3 itu, tapi kalau Kejaksaan Agung sangat cepat menangani, saya otomatis masih menunda praperadilannya,” ujarnya.
Seperti diketahui, KPK resmi menerbitkan SP3 atas kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara yang disebut merugikan keuangan negara hingga Rp 2,7 triliun.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan, perkara tersebut terjadi pada 2009 dan penyidik tidak menemukan kecukupan alat bukti meski tersangka telah diumumkan sejak 2017.
Baca juga:
Kejagung Pecat Kajari Huku Sungai Utara dan 3 Anak Buahnya Setelah Terjaring OTT KPK
“Bahwa tempus perkaranya adalah 2009 dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” ujar Budi.
Menurut Budi, penerbitan SP3 dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Meski demikian, KPK menyatakan tetap terbuka apabila masyarakat memiliki informasi atau bukti baru terkait perkara tersebut.
Sebagai informasi, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan baru dimungkinkan setelah revisi Undang-Undang KPK pada 2019, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019.
Kasus ini pertama kali diumumkan KPK pada 3 Oktober 2017 dengan menetapkan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman sebagai tersangka.
Saat itu, KPK menyebut dugaan kerugian negara mencapai Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel melalui proses perizinan yang diduga melawan hukum. (Pon)




